Aamiin Paling Serius (Bag 2)

Pertanyaan lebaran yang paling mengena di hati untuk orang yang dianggap telah dewasa adalah;


“Kapan menikah?”


Jujur, untukku sendiri pertanyaan ini tidak terlalu sering dilontarkan orang-orang kepadaku. Hanya beberapa teman di sekolah sebagai bahan candaan. Berhubung yang sendiri (jomblo) masih banyak, aku kadang malah menimpali candaan kapan menikah ini. Supaya tidak senyap saja obrolan kami. Tidak ada yang tersinggung, karena usia kami hanya selisih satu atau dua tahun saja. Sama-sama belum dipertemukan jodohnya.


Lain halnya, jika diantara kami sudah menikah satu per satu, maka ungkapan kapan menikah harus bisa diucapkan sesuai waktu dan kondisinya. Karena tidak semua orang bisa berlapang dada saat ditanya kapan menikah. Pertanyaan kapan menikah juga area privasi seseorang yang tidak boleh sembarang diutarakan.

Ada sebuah nasihat yang kuambil dari buku Menjadi Manusia Menjadi Hamba yang ditulis Fahruddin Faiz,

Marriage is not a destination, it is a journey.

Pernikahan itu bukan tujuan atau sebuah tempat pemberhentian, tapi ia adalah sebuah perjalanan. Yups. Menikah adalah perjalanan yang dilakukan dua manusia untuk mencapai visi dan misinya berdua. Makanya, salah satu alasan seseorang bisa menikah, karena telah menemukan kecocokan satu sama lain. Jiaah. Ungkapanku ini benar atau salah sih? (Sok bijak, padahal belum menikah. Hehehe.)

Aku merasa sangat bahagia saat mengetahui seorang teman akan menikah. Berarti dia telah menemukan separuh hidupnya. Laki-laki atau perempuan yang telah didekatkan Tuhan. Makanya, aku masih semangat sekali menghadiri kondangan teman selain ingin menikmati makanannya di prasmanan. Hihihih. Plus kalau pergi kondangan ada teman. Belum pernah coba datang ke pernikahan teman seorang diri. Dah, kelihatan sekali jomblonya. Wkwkw.

Hem, usiaku sekarang sudah menginjak 24 tahun. Sayangnya, belum bisa melanjutkan kuliah lagi. Tapi, bukan masalah, jalani saja usia ini dengan belajar membentuk kebiasaan baik setiap hari. Semoga bisa dan istiqomah. Di manapun tempat adalah sekolah. Setiap orang yang memberi ilmu kebaikan adalah guru. Kita sekolah alam setiap hari. Siang dan malam sepanjang waktu.

Dulu, aku pernah membuat planning usia 25 tahun adalah waktu untuk menikah. Tapi, kembali lagi kepada rencana Tuhan. Kembali juga dengan kesiapan diri lahir dan batin. Bukankah, hukum pernikahan secara fiqih bermacam-macam? Mulai dari wajib, sunnah, makruh, hingga haram. Untuk penjelasaannya bisa di searching via google (cara instan wkwk). Jangan tanya aku ada di level yang mana ya. Terlepas empat hukum secara fiqih/agama tersebut, menikah atau tidaknya seseorang adalah pilihan hidup yang bebas ditentukan oleh dirinya sendiri.

Aku memilih dan memiliki keinginan untuk menikah. Menjalin hubungan dengan kesalingan (mubaadalah). Saling cinta, saling terbuka, saling mendukung satu sama lain dalam bahtera bernama rumah tangga.

Sampai hari ini aku tidak dekat dengan seorang laki-laki sama sekali. Memang, dari dulu, punya prinsip untuk tidak menjalin hubungan yang penuh dengan keterikatan kepada laki-laki selain pernikahan. Tidak pacaran. Hanya ingin berteman saja. Kecuali, kalau memang berniat untuk serius ingin menikah dengan jeda perkenalan tidak terlalu lama atau bertahun-tahun. Eits, tunggu, itu jika sejak pandang pertama memiliki kecocokan satu sama lain. Baru berlanjut. 

Ah, aku omdong alias omong doang. Karena secara kenyataan memang tidak ada laki-laki yang mengajak serius sih. Wkwkw. Paling-paling hanya berteman.

Saat kuliah, hanya fokus belajar dan mengembangkan diri saja. Tidak kepikiran untuk menjalin hubungan. Bahkan chattingan teman laki-laki yang sudah agak aneh-aneh (gombal atau bertanya yang tidak jelas seperti “lagi ngapain”) saja aku sudah ilfeel sungguhan. Besoknya sudah jarang kubalas chat-nya lagi. Ini laki-laki lagi gabut tidak punya teman chattingan atau lagi cari perhatian? Wkwkw.

Itu dulu. Lalu, sekarang? Sedang mengayuh doa. Aku yakin setiap orang akan menikah tepat pada waktunya. Tuhan tahu waktu terbaik kapan kita akan menikah. Bukan pasrah kepada takdir Tuhan, tapi aku juga sedang berusaha mengayuh doa di setiap melakukan ibadah.

“Semoga jodoh datang tepat waktunya. Didekatkan dengan laki-laki yang baik agamanya, baik akhlak, dan baik pekerjaan.”

(Sebuah doa)

Aamiin paling serius.

Bagiku, baik agamanya berarti dia menjalankan perintah Tuhan. Baik dalam hal ibadah maupun sosialnya kepada manusia. Lalu, dia baik akhlaknya, tahu mana perkara yang baik atau tidak baik dari ukuran agama dan masyarakat pada umumnya. Tidak memukul, tidak berkata kasar, tidak berbohong, atau tidak selingkuh dan poligami.

Di bagian sana, banyak yang baik agamanya, tapi minus akhlak. Sudah diberitahu Kartini, berapa banyak laki-laki berpoligami mengatasnamakan agama? Berapa banyak suami memukul istri hanya karena membaca dalil Al Qur’an dengan tafsir patriarki?


Boleh juga meniru prinsip Nietzsche,

“the best friend will probably acquire the best wife, because a good marriage is founded in the talent for friendship.”


Menikahlah, saat telah bertemu dengan orang yang nyaman diajak ngobrol seperti sahabat sendiri. Jadi, menjalin pernikahannya bisa menggunakan konsep persahabatan. Selain, dengan setumpuk cinta yang menggunung di dalam hati.

Jangan menikah karena terburu-buru. Menikah saat memang hati sudah digerakkan dan memiliki visi dan misi yang sama untuk mengarungi kehidupan rumah tangga. Menjadi sufi bisa dimulai dengan menikah. Mengikuti sunnah Nabi. Biar waktu yang menjawab kapan waktu menikah akan tiba.[]

Nikmati masa sendiri. Kuat memapah hidup di kaki sendiri.

=================πππ===================