(Review Film) Jejak Langkah 2 Ulama

NU dan Muhammadiyah adalah organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia. Memang, dalam urusan khilafiyah terdapat perbedaan. Tapi, perbedaan dari keduanya bukan untuk saling melempar permusuhan atau saling gagah-gagahan loh. Mereka dengan kompak selalu mendukung gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Buktinya, NU dan Muhammadiyah merilis sebuah film berjudul Jejak Langkah 2 Ulama yang disutradai oleh Sigit Ariansyah.

Ditengah menguatnya politik identitas yang mewarnai negeri kita sekarang, yang juga rawan sekali menimbulkan perpecahan, film ini hadir untuk memberikan perspektif baru dalam membaca perbedaan dari dua organisasi ini. Mengajak masyarakat untuk memahami perbedaan dan menjunjung tinggi persamaan. Sekaligus memperkuat diri untuk mencintai organisasi yang kita pilih. NU atau Muhammadiyah.

Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari adalah pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan KH. Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah. Sebelumnya, kisah kedua tokoh ini sudah difilmkan dengan judul film Sang Kiai dan Sang Pencerah. Isi dari film Jejak Langkah 2 Ulama tidak jauh berbeda dari kedua film ini. Dua kisah digabungkan menjadi satu film. perbedaannya tentu ada, film sebelumnya dimainkan oleh aktor dan artis ibukota. Sedangkan film ini dimainkan langsung oleh kader-kader NU dan Muhammadiyah. Film ini diproduksi pada tahun 2019 dan diputar secara door to door atas pesan dari Gus Sholah bersama Pak Haedar Nasir agar pesan dakwahnya sampai hingga ke pelosok desa.


Kemarin, 23 Maret 2021 film ini diputar di sekolah Aisyiyah tempat saya mengajar. Dan hati saya tergerak ingin menuliskannya di sini. Jadi sewaktu menonton, saya niatkan sepulang dari sini harus ada hasil reviewnya meski ala kadar. Karena nyimak sambil nulis coretan, jadi banyak kutipan pesan yang langsung nyes di hati, dan jadi pembangkit semangat untuk giat memperbaiki “hablumminallah wa hablumminannas” saya yang selama ini memang jauh sekali dari kata baik.


Film Jejak Langkah 2 Ulama lebih mengisahkan perjalanan hidup masing-masing tokoh. Dari perjalanan mereka kita akan mengetahui titik persamaannya. Mereka berdua tumbuh dari perjalanan menuntut ilmu dan berguru pada guru yang sama yaitu Kiai Kholil Bangkalan Madura. Saling memberi kabar meski berjauhan jarak dan menjaga hubungan persahabatan hingga akhir hayat.


Saat KH Ahmad Dahlan pulang dari Mekkah, beliau mengamati arah kiblat masjid yang tidak sesuai dengan tuntunan. Sehingga beliau bersama beberapa muridnya merubah arah kiblat ke arah barat dan sedikit ke utara. KH Ahmad Dahlan sudah merubah tatanan hingga mengajak anak perempuan untuk belajar dan bernyanyi. Hal ini tentu memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Banyak juga yang kontra lalu mengatakan KH Ahmad Dahlan adalah kiai kafir. Salah satu muridnya rela melakukan perjalanan jauh untuk menemui KH Hasyim Asy’Ari di Cukir Tebu Ireng untuk meminta fatwa atas tindakan yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan yang menurutnya tidak sesuai dengan budaya saat itu.

Dari sinilah, kita mengetahui keterhubungan kedua ulama ini. KH Hasyim Asy’ari hanya tersenyum simpul kemudian menjawab,

“beliau adalah seorang yang alim. Tidak mungkin beliau melakukan hal yang sembrono. Beliau tahu apa yang harus dilakukannya. Pulang dan bantulah KH. Ahmad Dahlan.”

Hingga kemudian hari murid ini menyampaikan kepada KH Ahmad Dahlan bahwa ia baru pulang dari Tebu Ireng untuk meminta fatwa kepada KH Hasyim Asy’ari. Setelah mendengar penuturan muridnya, KH Ahmad Dahlan merangkul murid tersebut.


Ada banyak scene yang menggambarkan pesan moral yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari merupakan sosok yang sangat cinta ilmu dan memuliakan gurunya. Saat KH Hasyim mondok di Bangkalan Madura, beliau hanya ditugasi oleh Kiai Kholil untuk memelihara dan menjaga ternak kuda. Memberi makan, minum, mengambil air dari sumur dan membersihkan kandangnya agar kuda dapat tidur dengan nyaman karena sudah bekerja keras untuk manusia. Sungguh, tidak ada waktu untuk belajar dan mengaji. Hingga pada suatu hari, Kiai Kholil memanggil KH Hasyim Asy’ari seraya berkata,

“ilmumu sudah cukup. Semoga menjadi barokah dan bermanfaat untuk diri dan umat. Sudah waktunya kamu menimba ilmu dengan alim ulama yang lain. Sekarang kamu harus siap-siap untuk pergi.”

Hebatnya, meski diliputi pertanyaan besar, KH Hasyim tanpa tendeng aling langsung bergegas pergi dan diantar oleh Kiai Kholil ke pinggir laut. Di sanalah Kiai Kholil menyampaikan pesan terakhirnya,

“kamu akan menemukan takdirmu untuk berangkat haji ke Mekkah Al Mukarromah.”


Dari yang saya simak saat menonton film ini, kita juga akan membaca alur berdirinya organisasi NU dan Muhammadiyah secara tidak langsung. Karena sebesar apa pun langkah yang sudah kita jejaki, dalam urusan dakwah atau pendidikan, kita perlu sebuah organisasi untuk memayunginya. Organisasilah yang akan membuat sistem regenerasi yang akan menumbuhkan bibit-bibit baru untuk meneruskan perjuangan tersebut. Seperti pesan Mas Raji kepada KH Ahmad dahlan. Sehingga terbentuklah Muhammadiyah, pengikuti Nabi Muhammad. Mengamalkan ajaran al Qur’an dan Sunnah Nabi dengan ilmu dan akal sehat. Dan organisasi Nahdlatul Ulama, yang artinya kebangkitan para Ulama.


Apa pun perbedaan yang hadir, tidak menjadikan dua organisasi bahkan dua orang secara khusus untuk bertentangan dan memutuskan tali persaudaraan. Banyak sekali keterhubungan yang dikisahkan dalam film ini. Hingga KH Ahmad Dahlan meninggal, ada utusan yang pergi ke pesantren KH Hasyim Asy’ari untuk memberi kabar duka. Dan KH Hasyim Asy’ari bersama para muridnya mendoakan KH Ahmad Dahlan sambil menceritakan perjalanan mereka dulu sewaktu menuntut ilmu. Salah satu kunci persamaan yang harus dijunjung tinggi adalah, keduanya memiliki sanad ilmu yang sama-sama terhubung kepada Syekh Saleh Darat, Kiai Kholil Bangkalan, hingga Syekh Khatib al Minangkabawi.

Mari merefresh bacaan lagi. Ada banyak bagian hidup yang harus diperbaiki. Melalui film ini, kita diajarkan untuk meyeimbangkan urusan akhirat dan dunia. Ibadah sekaligus melakukan hal baik yang bermanfaat untuk manusia lain.

***