Langit Ramadhan

Poto Pribadi

“Menabur Banyak Permintaan di Langit Ramadhan”

Malam ini adalah malam ketiga bulan Ramadhan. Masjid yang baru dibangun tidak jauh dari rumah  sudah bisa dipergunakan untuk sholat tarawih berjamaah. Hanya beberapa meter, menyeberangi jalan, lalu melangkah sebentar. Maka sudah tiba di Masjid yang tidak terlalu luas ini. Tapi, cukuplah untuk menampung orang-orang sekitar dusun 5 dan 6. Cukup halaman untuk anak-anak datang dan meramaikan.

Ramadhan tahun ini, Ramadhan di usia 24 tahun. Usia yang tidak lagi remaja atau pun anak-anak. Usia dewasa yang harus banyak memperbaiki diri. Menyesali setiap perilaku lalai dihadapan-Nya. Ibadah yang masih compang camping. Khusyuk hati yang masih sulit dilatih. Semoga Ramadhan tahun ini, Allah banyak memberi jalan kemudahan. Terbentang hidayah dan taufiq-Nya untuk terus menghamba. Tidak hanya di bulan Ramadhan, tapi di bulan-bulan yang akan datang.

Saya percaya, Allah selalu mendengar setiap rintih yang kita ucapkan. Baik saat berdoa atau  sekejapan hati ketika hendak tidur. Di bulan suci ini, semoga segala rintihan dan keinginan dipertimbangkan. Mana yang layak untuk Tuhan kabulkan.

Langit Ramadhan akan membuka jalan untuk setiap pengharapan yang tulus disenandungkan. Siang dan malam. Saat sahur atau pun berbuka. Pengampunan dosa, pengabulan urusan dunia, dan kemudahan jalan pulang dengan banyak amal kebaikan.

Lalu, adakah permintaan khusus di bulan Ramadhan kali ini? Khusus dari hati dan ingin segera dikabulkan?

November

Poto Pribadi

Tujuh hari di bulan November ini, hampir setiap harinya selalu pulang kerja kehujanan. Masih bersyukur jika hujannya datang sore hari, karena tidak terlalu menghambat pergerakan. Tapi, kalau hujan turun saat hendak pergi kerja -di pagi hari- saya harus menyiapkan beberapa perlengkapan cadangan. Seperti rok panjang dan kaos kaki. Mewanti-wanti jika rok dan kaos kaki yang saya gunakan basah saat di perjalanan. Semangat. Semangat mengendarai Honda Beat yang angsurannya dimulai bulan depan. (Hihihih).

November Rain, juga adalah bulan flashback untuk mengingat segala yang terjadi setahun lepas. Beberapa momen dan poto sudah diingatkan instagram tadi. 09 November saya ada di Padang untuk mengambil selembar ijazah dan segenap kenangan tanpa sisa. Hingga saya bergumam, “jika suatu hari nanti saya kembali lagi ke Padang. Alasan apa yang membawa saya ke sana?”

Dua hari di sana, tidak ada satu pun pertemuan dengan teman-teman kuliah. Waktu begitu singkat, dan juga sebagian besar mereka tengah berada di kampung halaman. Saya hanya menghabiskan waktu berdua dengan Ica, teman sekampung yang baik hati sekali. Menemani saya menyusuri kota Padang untuk terakhir kalinya di tahun 2020.

Nyesek.

Lalu, segera pulang. Tapi, sebelumnya saya  mengunjungi makam nenek di Bangko Jambi. Dengan sekelumit perasaan sedih tidak terkira. Beberapa konflik keluarga yang belum selesai, dan segala ketidaknyamanan perasaan saya di rumah bibi selama dua hari. Sungguh menyiksa beban mental saya di sana. Perasaan yang satu belum pulih, lalu ditimbun dengan sedih yang lain bertubi-tubi. Begitulah, November. Selain hujan dari langit, ada juga hujan dari hati yang sakit.

Sekarang di 2021?

Alhamdulillah, seperti tulisan kemarin. Semua pasti indah tepat waktunya. Jalan cerita kita selalu seimbang dan sepasang. Sedih bahagia. Kurang dan lapang. November kali ini, sudah lebih baik. Sudah bekerja, sudah lebih kuat, dan lebih menyayangi diri. Nyaman ke mana-mana sendiri. Makan mie ayam sendirian sambil melepas penat, sering kali. Hihihihi. Ya Allah.

***

Tidak Menjadi Apa-apa Dulu

Poto pribadi

Sudah sejauh ini melalui bulan demi bulan tanpa duduk di bangku perkuliahan lagi. Tidak lagi duduk bersama perempuan-perempuan penggerak lingkungan. Tidak lagi bercengkerama, ngopi bersama, memadu kehangatan membicarakan berbagai hal seperti dulu. Semua sudah berbeda.

Jika menghitung banyak kesempatan yang hilang, sungguh pelik mengatur perasaan. Apa pun mimpi indah di masa kuliah, semua sudah terbentur oleh realita. Jauh rasa manis yang pernah dibayangkan. Tapi, hidup adalah proses belajar memilih arah jalan. Saya sudah memilih itu dengan sadar. Akhir Desember 2021 saya memutuskan untuk bekerja. Atau lebih tepatnya belajar untuk bekerja. Menghidupi diri seperti salah satu list impian setelah kuliah.

Disela menikmati rutinitas yang stagnan, pergi pagi pulang hampir petang itu, terkadang terselip rasa rindu. Datang begitu saja di tengah kesibukan. Ingatan masa kuliah, tumbuh dengan orang-orang yang membuka pikiran, serta tentang Padang dan segala kenangan.

Tidak mudah berdamai dengan diri sendiri. Menguatkan diri bahwa hari ini masih samar-samar akan masa depan. Belum terbuka mimpi untuk melanjutkan sekolah. (Salah satu list mimpi yang paling atas.)

Lalu, apakah harus melihat ke belakang? Tidak. Jangan setiap saat. Mungkin hal yang paling baik hari ini adalah untuk tidak menjadi apa-apa dulu. Biarlah segala mimpi diendapkan. Jika sudah datang waktunya, semoga mimpi-mimpi itu kembali hangat. Yang sudah terbentang sekarang pun harus disyukuri. Bisa menghirup udara dingin Kota Curup dengan iringan deru nafas pagi. Masih bisa melepas penat di langit-langit kamar bercat biru ini. Juga menikmati sebagian upah keringat (yang masih di bawah UMR), membantu menghangatkan dapur meski tidak banyak, dan masih banyak lagi. Atau setidaknya, bisa membeli kopi, buku, dan membeli makanan yang dibawa oleh bapak-bapak di pinggir jalan.

Alhamdulillah. Syukur, syukur, syukur sebanyak mungkin.

Tentunya, Sepuluh bulan ini, adalah dunia baru. Dunia kerja. Dengan selipan kisah-kisah yang tiap bulannya  berbeda-beda. Tapi tidak pernah jauh-jauh dari; jodoh, uang, teman, dan karir. Hih, jodoh? Kapan-kapan saya akan bercerita. 🤭

***

Sabtu Malam, Malam Minggu

Poto pribadi

Apa kabar ruang bercerita? Sudah lama tidak jumpa dan ngobrol bareng di sini. Kangen. Tahu-tahu sudah beberapa bulan tidak diisi. Diam-diam jadi sunyi dan sepi. Baik, malam ini saya datang menghampiri. Semoga ke depannya rajin menulis seperti dulu. (Mari diaminkan. Hihihihi).

Bulan sudah berganti. Oktober baru saja dua hari. Malam ini, malam minggu. Eh, Sabtu malam. Pukul 22.10 (waktu mengetik) bagian Curup, Bengkulu. Waktu ini cukup sakral untuk menulis catatan harian, bermuhasabah, menghitung banyak waktu yang hilang terbuang, atau sekedar duduk di tepi jendela menyeruput secangkir kopi yang tidak lebih pahit dari hidup ini. (Wah, mendramatisir).

Terpenting, me time untuk berdialog dengan diri sendiri. Ruang privasi, hanya hati ini dan Allah saja yang mengetahui. Atas segala resah atau pun bahagia yang sudah dilalui selama sepekan. Seperti malam ini.

Jangan lupa tidur, jangan sampai bergadang. Bangunlah Shubuh tepat waktu. Lihatlah ronah Fajar yang lamat-lamat hilang. Perputaran gelap menuju terang.

***

Untuk Sekarang

Poto Pribadi

Untuk sekarang, mencoba jalani apa yang sudah terbentang. Mensyukuri waktu sebab telah banyak diberi kenikmatan. Nikmat sehat, nikmat penglihatan,nikmat mendengar, bertemu teman lama atau pun baru, dan nikmat menyelesaikan permasalahan.

Untuk sekarang, mencoba mengenal diri lebih dalam lagi. Meraba hati kemana ingin pergi. Mencintai diri setulus dan sekuatnya. Memeluk erat, meyakini betapa berharganya diri. Tanpa perlu validasi dari manusia lain. Tanpa perlu puji-pujian dan pembuktian.

Untuk sekarang, tetaplah tegak. Sebesar apa pun beban di pundak. Teruslah kuat memacu semangat. Sejak fajar datang hingga senja tenggelam. Bahkan sampai mata mulai terbenam di paruh malam.

Untuk sekarang, yakini apa yang ingin diyakini. Jagalah apa yang ingin dijaga. Dari tubuh, hati, dan mungkin prinsip hidup yang pernah digali. Luruslah berjalan. Tataplah masa depan. Jalan kita masih panjang. Dan harapan akan selalu terbentang luas. Dalam dada, dalam dekapan doa.

Untuk Aku, 25 Juli.