[Review Buku] Wanita yang Merindukan Surga




Heeem, apa kabar? Sudah malas baca buku dan nulis ringkasannya (reviewe) ya? Sudah mau habis tahun 2022, tapi mageran masih juga belum punah. Astaghfirullah.

Akhirnya, buku yang bacanya nyicil-nyicil tidak beraturan selesai dibaca sampai halaman terakhir. Buku epik untuk setiap wanita yang ingin memulai hijrah, atau sedang dalam tahap memperbaiki diri karena Allah.

Wanita yang Merindukan Surga adalah sebuah buku yang ditulis oleh Esty Dyah Imaniar. Sebuah buku panduan berisi lima jalan hijrah yang tak perlu ‘kau’ takutkan, Ukhti. Hihihih. Hijrah itu sulit loh, juga kadang terselip hal ‘menakutkan’nya. Tapi, kali ini buku yang saya baca menampilkan warna dan sudut pandang berbeda. Open minded tapi masih searah untuk memperbaiki diri dengan kaca mata luas.

Btw, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan hijrah?

Hijrah jika dikaitkan dengan kisah Rasulullah adalah perpindahan Nabi Muhammad bersama para sahabat dari Makkah ke Madinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy. Sedangkan pengertian di luar konteks itu ialah berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya). (Hlm. Xvi)

Di buku ini, penulis berbagi perjalanan hijrahnya ke dalam lima aspek. Pertama, hijrah penampilan. Di sini penulis menyampaikan pandangannya bahwa tidak ada hubungannya perubahan penampilan dengan perubahan identitas seseorang. Tapi, dalam keseharian hal ini berbanding terbalik. Because you are what you wear. (Hlm. 3)

Disaat semua orang sibuk hijrah penampilan, tidak sedikit yang lupa untuk mengembangkan potensi diri. Banyak orang yang memulai hijrah hanya didoktrin untuk ‘memperbaiki bungkus tapi tidak dengan mutu isi kepala.” (Hlm. 22)

Bagaimana bisa naik kelas ngomongin hijrah dan peradaban kalau diajak berprestasi setelah hijrah saja banyak alasan?

Kedua, hijrah pergaulan. Tema ini menyampaikan bahwa ketika ada seorang teman yang hijrah, kita tidak bisa memaksanya untuk nyaman bersama kita dalam proses hijrahnya. Bisa jadi ia nyaman hijrah dengan teman hijrahnya yang lain. Seperti para seleb yang hijrah lalu membuat kelompok hijrah bersama-sama. Sebagaimana perasaan, persaudaraan juga tidak bisa dipaksakan. (Hlm. 32)

Meskipun sudah hijrah, kita harus tetap melakukan kebaikan yang tidak hanya bersama kelompok hijrah saja. Kalau sudah hijrah, perbanyak senyum dan sapa. Tapi, yang disapa jangan hanya teman hijrahnya. Kalau sudah hijrah, perbanyak sedekah. Tapi, yang disedekahi jangan hanya teman hijrahnya. (Hlm.53)

Ketiga, hijrah perasaan. Menurut Esty, saat melakukan proses hijrah, jangan langsung kebelet nikah dengan dalih agar punya teman hijrah atau dalih nikah adalah ibadah. Karena banyak hal yang perlu dipelajari sebelum akhirnya masuk ke tahap nikah.

Ketika seseorang sudah berhijrah, sudah mengaji, orientasi pernikahannya mestinya lebih dari sekadar “menghindari zina”. Sebab visi misi pernikahan Islam adalah membangun peradaban. (Hlm. 77)

Keempat, hijrah pekerjaan. Selama kita belum benar-benar yakin akan pekerjaan kita sudah seratus persen bersih dan suci, kita hanya bisa berharap ikhtiar pencarian nafkah kita diridhai Allah sebagai ibadah, apa pun itu. (Hlm. 128)

Kelima, hijrah pengajian. Atmosfer lain dari pengajian yang menggelisahkan adalah ketika para guru mulai menjelek-jelekkan jemaah lain, menyebutnya sesat dan kafir, hanya demi bisa melabeli pengajian sendiri satu-satunya yang benar dan diridhai Allah untuk masuk surga. (Hlm. 138).

Perbedaan penafsiran syari’at dalam Islam itu banyak sekali. Terlalu energy consuming kalau semua harus ditanggapi dengan urat tegang. (Hlm. 42).

Akhir kata, hijrah adalah sebuah proses bertahap, step by step. Perjalanan hijrah setiap orang berbeda-beda. Tidak perlu merasa paling benar dalam berhijrah. Menyampaikan boleh, memaksakan jangan. Berperilaku tawadhu’, ketika kita berjumla dengan seseorang dan menganggapnya lebih utama dari kita. (Hlm. 177).

Sepertinya buku ini harus dibaca lebih dari satu kali. Agar bisa lebih dipahami untuk daya paham yang masih rendah seperti saya. Heheh. Ingat, review atau tepatnya ringkaaan ini ditulis seringkas mungkin. Bisa jadi ada bagian penting yang terpotong lalu jadi gagal fokus. Tapi, lepas dari itu, buku dengan tebal 182 halaman ini akan membuka perspektif baru kita sebagai umat Islam. []