(Refleksi 2023) Bersyukur dengan Sadar

Dari sekian banyak alur 2023 yang sudah dijalani, tidak ada alasan untuk tidak bersyukur atas segala yang terjadi. Kadang, ada semacam alur berantai.

“Kalau tidak karena itu. Mungkin tidak akan terjadi seperti ini.”

Meskipun konotasi kalimat ini, bisa tentang hal baik atau hal yang dirasa tidak baik.

Misalnya,

“Kalau kita tidak dipertemukan waktu itu. Mungkin saya tidak merasakan patah hati yang sakitnya belum pulih hingga hari ini.”

Hiks.

Saya merasa 2023 ada beberapa cerita yang bermula dari alur berantai. Dari masa lalu, atau masa sekarang yang membuat kita bisa menggapai sesuatu.

Awal Mei 2023, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke Jawa (Solo dan Yogyakarta). Serta untuk pertama kalinya menaiki pesawat. Hihihi. Ada pekerjaan di sekolah yang telah saya lakukan dan qodarullaah salah satu murid yang mengikuti program sekolah yang saya ketuai itu berhasil menerima prestasi di bidang literasi. Hingga, akhirnya saya diajak oleh kepala sekolah untuk pergi ke Solo menghadiri Festival Literasi dari Nyalanesia.

Tahun 2022, saya punya satu impian, saya ingin ke Jakarta atau Yogyakarta. Tapi, tidak dengan uang sendiri. Saya rasa dengan gaji saya yang biasa-biasa saja, tidak cukup untuk membiayai perjalanan itu. Kecuali, menabung dengan niat yang kuat berbulan-bulan.

Tapi, ternyata, setelah berhasil melalui satu masalah terbesar dalam hidup saya, –di 2023– Allah mengantarkan saya untuk sejenak melihat dunia luar. Saya pikir, Allah sedang memberi hadiah terbaiknya selepas apa yang sudah saya lalui. Alhamdulillaah.

Dari momen perjalanan bersama kepala sekolah, saya semakin mengagumi beliau secara personal. Keshalihannya, kebaikannya, beberapa ujian dalam memimpin, dan masih banyak lagi. Tapi, saya punya prinsip, teman secara personal dan teman kerja itu berbeda. Saya lebih menyukai teman secara personal yang tidak menyangkut-pautkan dengan pekerjaan. Hihihi.

Sepanjang di perjalanan itu, saya benar-benar menikmatinya. Sesekali mencoba menghafal alur check in di bandara dan cara melihat nomor kursi pesawat. Momen ini saya benar-benar tidak tahu. Pengalaman berharga sih. Dalam hati saya bergumam,

“Hem, nanti kalau entah dari mana takdirnya, kalau pergi sendirian harus sudah tahu cara-caranya. Supaya tidak ndeso banget.”

Hehehe.

Tapi, kepala sekolah berkata,

“Yunita, jangan pergi sendirian. Kalau bisa ada temannya.”

“Suami.”

Sejak dahulu, saya ingin sekali ke Jawa. Bagaimana rasa dan suasananya. Ada satu impian, ingin sekali bisa kuliah lagi di Jawa. Tapi, sampai hari ini, mimpi itu belum bisa digapai.

Namun, saya bersyukur, Allah telah menghantarkan saya untuk melihat rumah-rumah penduduk yang mayoritas menggunakan genteng itu. Beda dengan kampung saya di Curup, Bengkulu. Mayoritas atap rumah menggunakan seng.

Cerita selanjutnya, akhir September, di mana saya benar-benar terpuruk karena patah hati. Berulangkali saya berkata dengan diri sendiri.

“Jangan hancur ya. Harus kuat. Meskipun sulit sekali untuk melapangkan hati.”

Secara tidak sengaja saya melihat satu postingan ajakan mengikuti Kelas Salaam Summit di instagram dan di hari terakhir saya mencoba untuk mendaftarkan diri dengan mengisi essay dengan berbagai pertanyaan tentang keberagaman dan toleransi.

Dengan niat terbesar untuk menyibukkan diri. Agar saya tidak terlalu terpuruk dibayang-bayangi kenangan. Serta hal yang tidak bisa digapai bersama seseorang yang telah terlanjur disayang dengan dalam.

Yang paling speechless adalah batas usia pendaftaran maksimal berusia 25 tahun. Usia saya telah mentok di sana. Ternyata, saya masuk menjadi 100 peserta yang akan mengikuti kelas zoom selama 2 minggu (5 pertemuan). Ada satu hari, saya izin tidak masuk kerja. Demi mengikuti Kelas Salaam Summit ini. Sebab, ada satu penilaian kehadiran, keaktifan, dll yang akan menjadi pertimbangan untuk menjadi 30 peserta yang akan diberangkatkan ke Yogyakarta mengikuti kelas Offline. Saya tergiur dan merasa tertantang dengan prinsip,

“Coba aja dulu. Pake maksimal.”

Kelas online dimulai, saya benar-benar insecure dengan peserta yang masih muda dan masih aktif kuliah. Lengkap dengan public speaking dan pengetahuan yang luar biasa. Ada rasa tidak percaya diri. Pun peserta yang seramai itu pasti kesempatan untuk bertanya sangat sedikit sekali. Karena masing-masing dari mereka saling menunjukkan keaktifan tersendiri. Saya punya akal, akhirnya saya aktif dan sibuk nimbrung di kolom chat zoom. Hihih.

Namun, di tengah jalan, saya kembali down. Di sela saya mengikuti zoom, tiba-tiba ada sesuatu yang nyes di dalam hati. Saya kembali teringat atas sesuatu yang telah patah. Saya tidak bisa konsentrasi. Huhuhu, saya benar-benar merasa menjadi perempuan bodoh karena itu. Gagal mengendalikan diri. Gagal melapangkan hati. Dihujam masa lalu setiap hari.

Menangis.

Tapi, jika saya berhenti mengikuti zoom, saya telah mengorbankan satu hari saya untuk tidak pergi bekerja. Juga hanya 2 hari lagi kelas zoom berakhir. Sayang kalau harus berhenti sampai di sini.

“Bisa yuk. Kuat yuk. Siapa tahu Allah akan menghantarkan Yunita ke Jogja lagi sebagai obat patah hati. Hihihi, lumayan kan, dua kali patah hati, dua kali ke Jogja gratis.”

Konyol.

Kelas Salam Summit via online berakhir juga. Saya lalui dengan tertatih-tatih. Semangat belajar dengan suasana diri lagi terpuruk itu nano-nano sekali rasanya. Sedang mendengarkan narasumber berbicara, tiba-tiba pikiran melayang-layang ke masa lalu. Begitu seterusnya. Sungguh, ini cobaan dua puluh lima tahun. Pertama kalinya seperti ini. Hihihi. Semoga 2024 pulih seperti sedia kala.

Kelas Salaam Summit via online ini dibagi menjadi beberapa kelompok dengan dibimbing oleh satu kakak fasilitator. Saya bersyukur dipertemukan dengan kakak fasil yang sangat menginspirasi. Setiap saya membaca postingannya di instagram, seperti ada semangat baru untuk diri saya. Namanya, Kak Santi.

Satu minggu kemudian masuk satu email dari Indika Foundation. Saya buka email ini di sekolah setelah mengawas anak-anak shalat dhuha. Masyaa Allaah. Saya menerawang jauh ke belakang. Dahulu, saat masih kuliah di semester 6 atau 7, saya pernah mencoba ikut kegiatan ini yang tepatnya di Jakarta. Namun, saya gagal. Lalu, empat tahun kemudian, kegiatan yang hampir serupa datang menghampiri saya.

Sesungguhnya, tiap-tiap kita selalu ada waktunya.

Akhirnya, saya ke Jogja kembali. Tiga hari tidak masuk kerja. Tapi, kesempatan seperti ini belum tentu datang untuk kedua kalinya. Saya bersyukur di usia 25 tahun ini, Allah masih memberikan ruang untuk bertemu teman baru. Belajar lagi yang materinya masih terkait dengan kegiatan selama kuliah dulu. Pun saya bersyukur untuk diri saya yang tiga tahun terakhir stagnan di kampung sendiri. Namun, masih memiliki pekerjaan untuk menghidupi diri.

Banyak hal yang sudah saya peroleh di sana. Ilmu baru, bertemu tokoh-tokoh hebat, dan teman baru. Terimakasih banyak Kelas Salaam Summit. Pengalaman berharga di 2023. Tidak pernah ada bayangan bahwa akan ke Jogja dua kali di tahun yang sama untuk ukuran saya yang biasa-biasa saja ini.

Ketemu Mbak Kalis dan Pak Lukman Hakim
Bersama Kak Santi
Sebelah kiri, Azizah dari Riau. Sebelah kanan Mbak Nadia dari Jawa (lupa jawa mana)

Di akhir acara, masing-masing peserta membuat surat kecil untuk dikirim ke peserta lainnya. Ada satu surat yang kalimatnya membuat saya terharu. Pun, ternyata, saya juga mengirim surat untuk beliau. Hihihi.

Surat dari Kak Misbah
Surat dari Kak Santi

Surat dari Kak Santi, langsung jlep di dalam hati. Semangat menjalani semua mimpi dan kebaikan yang kamu percaya. Kalimat ini semacam alarm untuk diri saya.

“Yunita, hatimu boleh patah karena seseorang. Karena dalam hidup ini, kita tidak bisa mengendalikan sikap seseorang atas kita. Tapi, di bagian lain, masih ada yang bisa kita kendalikan. Semua mimpi dan kebaikan yang kita percaya.”

“Kalau masih dibayang-bayangi masa lalu, bersabarlah. Insyaa Allaah, waktu akan menyembuhkan dengan cara sendirinya. Biar alam bekerja. Mungkin saat ini Allah masih ingin melihat sejauh mana Yunita bertahan. Sakit, bangkit. Begitu seterusnya.”

Kalau memang begitu ceritanya, jadikanlah rasa sakit itu sebagai penggugur dosa. Sebab, hidup ini hanya tempat singgah sementara. Patah hati, ada surga di pelupuk mata. Hihihi.

Banyak hal yang harus disyukuri secara sadar. Hal-hal kecil hingga hal terbesar. Selalu ada kemudahan dibalik kesulitan. Selalu ada hikmah di setiap yang patah. Meski, ada satu yang belum bertemu hikmahnya, semoga di 2024 hikmah dan jawaban itu tertera dengan jelas.

Tidak semua hal sulit yang datang, langsung disegerakan kemudahannya. Tidak semua pertanyaan, selalu bisa dijawab saat itu juga.

Semangat, Yunita.

[]

2 pemikiran pada “(Refleksi 2023) Bersyukur dengan Sadar

Tinggalkan komentar