[Catatan Singkat] 03

Satu tahun sudah, enam bulan pertama paling menyenangkan. Bertemu orang-orang hebat, tempat diskusi, dan membenamkan lelah. Salah satunya, bertemu Mbak Betty.

Enam bulan kedua, hal yang paling “menantang.” 12 jam di luar, sejak matahari masih malu-malu keluar hingga beranjak tenggelam. Kadang hujan badai, gemuruh petir di jalan. Sambil mengkhayal masa depan. Sudah besar mau jadi apa?

Apa yang membuat hari ini bisa bertahan? Karena, banyak hal yang membuat kita tetap bisa survive dan mencintai diri. Melihat perempuan tangguh di dekat kita akan lebih menguatkan. Ibu, Mbak Betty, dan perempuan-perempuan lainnya di sekitar.

***

Rena

Saban hari, jika tidak ada halangan, Rena datang ke rumah. Membawa perlengkapan belajar dan tidak lupa sebuah Iqra yang sampulnya sudah sobek. Sama-sama belajar, bercerita, dan hal bahagia lainnya. Rena mengisi waktu pagi saya dengan secangkir ketentraman. Sebab bagi saya, anak adalah permata dari Tuhan yang paling berharga. Setiap lakunya selalu terpancar hal baik.

Rena anak perempuan berusia lima tahun yang super aktif. Punya semangat belajar kadar tinggi. Kadang, pukul 06.30 dia sudah berdiri di depan pintu. Mengucapkan salam lalu memanggil saya, “ante!” Kita duduk lesehan di ruang tamu. Membuka buku satu per satu. Menuntun Rena membaca al Fatihah, surat-surat pendek, dan akhirnya membaca a ba ta.

Suatu hari, Rena pernah protes kenapa baca Iqranya mentok di halaman yang sama terus. Diulang-ulang. Kenapa Iqra dua susah sekali. Tulisannya bersambung tidak pisah-pisah seperti Iqra pertama. Lalu, saya jelaskan pelan-pelan. Pakai nada paling lembut yang saya miliki. Kadang diselingi gelak tawa dan contoh-contoh sederhana. Rena mengangguk dan mengajak saya untuk belajar lagi. Jika sudah selesai, maka ia meminta saya untuk memberi tanda bintang di sudut kiri paling atas halaman Iqra yang dibaca. Saya pun mengajari Rena menulis huruf Hijaiyah. Menyuruh Rena menulisnya berulang-ulang hingga bisa berbentuk dan bisa dibaca. Terutama bisa dibaca oleh dirinya sendiri.

Rena pun selalu meminta saya untuk mengajarinya berhitung. Ia paling suka bagian ini. Suka belajar Matematika ketimbang ngaji Iqra’. Tapi, bagi saya bukan masalah. Terpenting, ada sepuluh menit membuka Iqra. Kemudian sisanya terserah mau belajar apa.

Hal yang paling romantis bagi saya, saat Rena meminta saya untuk membacakan kisah kura-kura dan kelinci. Ia diam mendengarkan saya. Sehabis saya membaca, saya akan mengajukan pertanyaan ringan. Melihat seberapa jauh Rena bisa menangkap isi cerita dalam buku tersebut. Walhasil, Rena bisa menjawabnya satu per satu. Besok saya tanya lagi, ia pun masih ingat. Meminta lagi untuk dibacakan. Saya masih punya hutang dengannya, untuk memberikan satu buku cerita Cinderella. Tapi, saya belum punya “jadwal” untuk pergi ke toko buku.

Ganti sementaranya, Rena memaksa saya untuk memutar film singkat tentang Cinderella. Sebenarnya, saya sedikit keberatan. Saya tidak ingin memainkan HP di depannya lalu menyuruhnya untuk melihat film itu di Youtobe. Candu, itu yang paling ditakutkan. Tapi, apa boleh buat, cukup sekali ini saja.

Minggu kemarin, Rena datang dengan mata sembab. Lipatan kelopak matanya bengkak. Kelihatan sekali kalau ia habis menangis. Saya coba bertanya, ia jawab tidak terlalu jelas. Ia menangis karena habis diganggu omnya yang masih duduk di kelas tiga itu. Lalu, saya dapat informasi dari ibu, Rena menangis sesenggukan karena omnya menakut-nakuti dirinya yang bakal tidak disayang bunda lagi. Karena bunda sedang mengandung adik. Setelah adik lahir, bunda akan lebih sayang dengan adik kecil. Kurang lebih begitulah. Tentu, Rena anak kecil yang masih polos ini percaya begitu saja. Ia menangis dan mengadu kepada bundanya. Apa yang disampaikan oleh omnya disanggah bunda. Rena dikasih pengertian dan meyakinkan kalau selamanya bunda akan tetap sayang dirinya.

Dulu, saya paling kikuk kalau berhadapan dengan anak kecil. Saya suka tapi bingung harus melakukan apa. Tapi, akhir-akhir ini, semua mengalir menuruti naluri saja. Entah benar atau tidak, seorang teman pernah berkata, “seiring pertambahan usia seorang perempuan, naluri keibuannya pelan-pelan terpancar.”

Wah, apakah saya sudah pantas menjadi ibu? (Jawabnya nanti. Hihihi.)

“Rena, ante bahagia sekali bisa ditemani setiap pagi. Di masa-masa rumit yang ante hadapi sekarang, belajar bersama Rena adalah kebahagiaan yang dikasih Allah. Terus tumbuh dan sehat selalu, ya Nak.”

(Bukit Kaba, 21 Desember 2020)