Menghimpun Cerita Sederhana

Tidak banyak poto estetik untuk diunggah di momen #30haribercerita. Juga tidak banyak cerita indah yang bisa dibagi untuk dibaca. Hanya ada beberapa poto kenangan yang sudah blur. Dan beberapa cerita dengan ingatan yang sudah buram di kepala.

Tapi, menyimpannya dalam arsip instagram dan menceritakannya lagi siapa tahu bisa memaknai setiap potret yang sudah dilalui. π‘΄π’†π’π’„π’‚π’“π’Š π’”π’šπ’–π’Œπ’–π’“ 𝒂𝒕𝒂𝒔 π’”π’†π’•π’Šπ’‚π’‘ π’‘π’†π’“π’•π’†π’Žπ’–π’‚π’ 𝒅𝒂𝒏 π’Œπ’†π’”π’†π’Žπ’‘π’‚π’•π’‚π’. Meski bukan dengan banyak tempat dijelajahi atau dengan banyak orang yang pernah disinggahi.

Mungkin cerita ini bisa jadi tidak istimewa bagi sebagian orang. Lebay. Nyepam. Dan sebagainya. Hihihi, itu tidak masalah.

Sebab sedikit banyaknya saya ingin mencoba menghimpun cerita lama. Menggali lagi dari sekian banyak yang menarik hati. Seperti Agustinus Wibowo. Sosok backpacker dan penulis bestseller yang saya kagumi sejak membaca bukunya, Titik Nol di Ipusnas. Bahwa memotret setiap momen sangatlah penting. Menulis dan memaknainya juga tak kalah penting. Dari awal kita berjalan, berhadapan dengan alam, dan kembali pulang.

Juga seperti buku Jalan Panjang untuk Pulang yang ada di poto ini. Himpunan cerita dengan gejolak yang luar biasa. Tidak semua perjalanan bisa dilewati dengan mudah, tepat sasaran sesuai harapan. Adakalanya harus bertentangan. Selisih jalan dengan berbagai resiko yang tak kalah besar.

Agustinus mengajak kita menyelami makna perjalanan melalui bukunya itu. Tidak hanya perjalanan fisik tapi juga perjalanan batin. Dari melihat dunia luar hingga pulang ke dalam diri. Dari pencarian hingga penemuan makna yang hakiki. Sungguh, buku ini sebuah buku ciamik akhir tahun yang saya baca saat hibernasi (baca: rebahan, wkwkw) selama liburan sekolah.

Saya percaya, hal pahit di masa lalu, bisa jadi hal manis yang diingat kembali dengan rasa syukur di hati. Pun, hal sederhana bisa jadi istimewa untuk beberapa orang yang menyimpannya sepenuh cinta. Menceritakan ulang sembari mendengarkan lagu di spotify dan menyeruput secangkir cappucino di rumah sendirian. []

Bismillaah.
—–
Poto, Desember 2022
—–

November

Poto Pribadi

Tujuh hari di bulan November ini, hampir setiap harinya selalu pulang kerja kehujanan. Masih bersyukur jika hujannya datang sore hari, karena tidak terlalu menghambat pergerakan. Tapi, kalau hujan turun saat hendak pergi kerja -di pagi hari- saya harus menyiapkan beberapa perlengkapan cadangan. Seperti rok panjang dan kaos kaki. Mewanti-wanti jika rok dan kaos kaki yang saya gunakan basah saat di perjalanan. Semangat. Semangat mengendarai Honda Beat yang angsurannya dimulai bulan depan. (Hihihih).

November Rain, juga adalah bulan flashback untuk mengingat segala yang terjadi setahun lepas. Beberapa momen dan poto sudah diingatkan instagram tadi. 09 November saya ada di Padang untuk mengambil selembar ijazah dan segenap kenangan tanpa sisa. Hingga saya bergumam, “jika suatu hari nanti saya kembali lagi ke Padang. Alasan apa yang membawa saya ke sana?”

Dua hari di sana, tidak ada satu pun pertemuan dengan teman-teman kuliah. Waktu begitu singkat, dan juga sebagian besar mereka tengah berada di kampung halaman. Saya hanya menghabiskan waktu berdua dengan Ica, teman sekampung yang baik hati sekali. Menemani saya menyusuri kota Padang untuk terakhir kalinya di tahun 2020.

Nyesek.

Lalu, segera pulang. Tapi, sebelumnya saya  mengunjungi makam nenek di Bangko Jambi. Dengan sekelumit perasaan sedih tidak terkira. Beberapa konflik keluarga yang belum selesai, dan segala ketidaknyamanan perasaan saya di rumah bibi selama dua hari. Sungguh menyiksa beban mental saya di sana. Perasaan yang satu belum pulih, lalu ditimbun dengan sedih yang lain bertubi-tubi. Begitulah, November. Selain hujan dari langit, ada juga hujan dari hati yang sakit.

Sekarang di 2021?

Alhamdulillah, seperti tulisan kemarin. Semua pasti indah tepat waktunya. Jalan cerita kita selalu seimbang dan sepasang. Sedih bahagia. Kurang dan lapang. November kali ini, sudah lebih baik. Sudah bekerja, sudah lebih kuat, dan lebih menyayangi diri. Nyaman ke mana-mana sendiri. Makan mie ayam sendirian sambil melepas penat, sering kali. Hihihihi. Ya Allah.

***

Tidak Menjadi Apa-apa Dulu

Poto pribadi

Sudah sejauh ini melalui bulan demi bulan tanpa duduk di bangku perkuliahan lagi. Tidak lagi duduk bersama perempuan-perempuan penggerak lingkungan. Tidak lagi bercengkerama, ngopi bersama, memadu kehangatan membicarakan berbagai hal seperti dulu. Semua sudah berbeda.

Jika menghitung banyak kesempatan yang hilang, sungguh pelik mengatur perasaan. Apa pun mimpi indah di masa kuliah, semua sudah terbentur oleh realita. Jauh rasa manis yang pernah dibayangkan. Tapi, hidup adalah proses belajar memilih arah jalan. Saya sudah memilih itu dengan sadar. Akhir Desember 2021 saya memutuskan untuk bekerja. Atau lebih tepatnya belajar untuk bekerja. Menghidupi diri seperti salah satu list impian setelah kuliah.

Disela menikmati rutinitas yang stagnan, pergi pagi pulang hampir petang itu, terkadang terselip rasa rindu. Datang begitu saja di tengah kesibukan. Ingatan masa kuliah, tumbuh dengan orang-orang yang membuka pikiran, serta tentang Padang dan segala kenangan.

Tidak mudah berdamai dengan diri sendiri. Menguatkan diri bahwa hari ini masih samar-samar akan masa depan. Belum terbuka mimpi untuk melanjutkan sekolah. (Salah satu list mimpi yang paling atas.)

Lalu, apakah harus melihat ke belakang? Tidak. Jangan setiap saat. Mungkin hal yang paling baik hari ini adalah untuk tidak menjadi apa-apa dulu. Biarlah segala mimpi diendapkan. Jika sudah datang waktunya, semoga mimpi-mimpi itu kembali hangat. Yang sudah terbentang sekarang pun harus disyukuri. Bisa menghirup udara dingin Kota Curup dengan iringan deru nafas pagi. Masih bisa melepas penat di langit-langit kamar bercat biru ini. Juga menikmati sebagian upah keringat (yang masih di bawah UMR), membantu menghangatkan dapur meski tidak banyak, dan masih banyak lagi. Atau setidaknya, bisa membeli kopi, buku, dan membeli makanan yang dibawa oleh bapak-bapak di pinggir jalan.

Alhamdulillah. Syukur, syukur, syukur sebanyak mungkin.

Tentunya, Sepuluh bulan ini, adalah dunia baru. Dunia kerja. Dengan selipan kisah-kisah yang tiap bulannya  berbeda-beda. Tapi tidak pernah jauh-jauh dari; jodoh, uang, teman, dan karir. Hih, jodoh? Kapan-kapan saya akan bercerita. 🀭

***

Untuk Sekarang

Poto Pribadi

Untuk sekarang, mencoba jalani apa yang sudah terbentang. Mensyukuri waktu sebab telah banyak diberi kenikmatan. Nikmat sehat, nikmat penglihatan,nikmat mendengar, bertemu teman lama atau pun baru, dan nikmat menyelesaikan permasalahan.

Untuk sekarang, mencoba mengenal diri lebih dalam lagi. Meraba hati kemana ingin pergi. Mencintai diri setulus dan sekuatnya. Memeluk erat, meyakini betapa berharganya diri. Tanpa perlu validasi dari manusia lain. Tanpa perlu puji-pujian dan pembuktian.

Untuk sekarang, tetaplah tegak. Sebesar apa pun beban di pundak. Teruslah kuat memacu semangat. Sejak fajar datang hingga senja tenggelam. Bahkan sampai mata mulai terbenam di paruh malam.

Untuk sekarang, yakini apa yang ingin diyakini. Jagalah apa yang ingin dijaga. Dari tubuh, hati, dan mungkin prinsip hidup yang pernah digali. Luruslah berjalan. Tataplah masa depan. Jalan kita masih panjang. Dan harapan akan selalu terbentang luas. Dalam dada, dalam dekapan doa.

Untuk Aku, 25 Juli.

[Catatan Singkat] 03

Satu tahun sudah, enam bulan pertama paling menyenangkan. Bertemu orang-orang hebat, tempat diskusi, dan membenamkan lelah. Salah satunya, bertemu Mbak Betty.

Enam bulan kedua, hal yang paling “menantang.” 12 jam di luar, sejak matahari masih malu-malu keluar hingga beranjak tenggelam. Kadang hujan badai, gemuruh petir di jalan. Sambil mengkhayal masa depan. Sudah besar mau jadi apa?

Apa yang membuat hari ini bisa bertahan? Karena, banyak hal yang membuat kita tetap bisa survive dan mencintai diri. Melihat perempuan tangguh di dekat kita akan lebih menguatkan. Ibu, Mbak Betty, dan perempuan-perempuan lainnya di sekitar.

***