Dampak Pandemi Bagi Keberlangsungan Hidup Petani Perempuan

Dok. KPPSWD

 Masa pandemi Covid 19 belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Angka pasien positif Covid 19 di Indonesia telah mencapai 236.519 orang dan angka kematian sebanyak 9.336 orang (worldometers 18/9), tertinggi kedua di Asia setelah India.  Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, wabah pandemi Corona baru adalah jenis bencana yang pengaruhnya akan berlangsung jauh di masa depan (kontan.co.id).

Secara tidak langsung wabah pandemi ini juga telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat, khususnya di perkotaan. Kewajiban untuk menjaga stamina tubuh agar tidak mudah terpapar virus Covid 19 menyebabkan kebutuhan untuk mengonsumsi sayuran semakin tinggi.  

Sehingga menyebabkan sebagian masyarakat perkotaan memilih untuk menanam sendiri dengan memanfaatkan lahan yang terbatas. Sehingga, urban farming menjadi pilihan mereka untuk memenuhi kebutuhan sayuran tanpa harus membeli dari pasar atau pun langsung.

Di satu sisi, gerakan urban farming merupakan langkah yang dianggap strategis untuk menyikapi isu ketahanan pangan. Berbagai peristiwa alam seperti perubahan iklim, bencana alam, hingga pandemi Covid 19 menuntut manusia untuk melakukan upaya mitigasi secepat mungkin. Dilansir dari transformasi.org, hal ini disebabkan  sebelum adanya pandemi Covid-19, faktor utama terjadinya krisis pangan dunia adalah konflik, ganguan iklim, dan turbulensi perekonomian. Ancaman dari masa depan yang belum pasti perlu untuk diantisipasi. The World Economic Forum menyatakan bahwa pada tahun 2050, populasi global diprediksi akan mencapai 9,8 miliar jiwa sedangkan permintaan pasokan pangan lebih tinggi 60% daripada saat ini.

Menurut Litbang Pertanian sebagaimana dikutip dari kompas.com, urban farming (pertanian perkotaan) merupakan kegiatan pemanfaatan lahan untuk memproduksi hasil pertanian di wilayah perkotaan yang dapat dikembangkan dengan teknik Vertikultur, Hidroponik, Aquaponik, Vertiminaponik, dan wall gardening. Pertanian dengan lahan sempit di perkotaan diyakini dapat menjadi solusi permasalahan pangan akibat dari turunnya jumlah petani, urbanisasi, dan keterbatasan lahan.

 Namun, di tengah gencarnya tren urban farming yang dilakukan oleh masyarakat di perkotaan, sejumlah petani di masa pandemi ini sedang mengalami keterpurukan. Terjadinya fluktuasi harga komoditi sayur, menjadi penyebab sejumlah petani tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Sayuran memang produk pertanian yang tidak bertahan lama, tetapi sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk  pemenuhan gizi. Permintaan sayuran pada umumnya bersifat inelastic yang menyebabkan harga sayur tidak menentu. ada kalanya harga bisa melambung tinggi namun adakalanya harga sayur bisa turun drastis. Fluktuasi harga inilah yang hingga hari ini belum terselesaikan.

Tentunya, permasalahan ini sangat berdampak terhadap keberlangsungan hidup para petani, khususnya petani perempuan. Isu gender dalam bidang pertanian, berkaitan erat dengan pembagian kerja yang tidak seimbang, status pekerjaan yang tidak jelas, dan beban-beban lainnya yang membuat perempuan mengalami ketidakadilan.

Sebagaimana yang dialami oleh sejumlah petani perempuan di desa Sumber Bening, Kecamatan Selupu Rejang, yang membiarkan hasil panennya terbengkalai begitu saja di lahan pertaniannya. Turunnya harga sayur menyebabkan mereka enggan untuk mengurus segala kebutuhan panen, seperti anggaran untuk ongkos ojek dan keranjang sayur. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Mursilah (43) yang juga sebagai anggota KPPL (Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan) Sumber Jaya yang sedang panen sayur kol bulat sebanyak 8 ton tetapi harga kol masih berkisar 400 rupiah dari petani.

“Kalau memang tidak laku karena harga tidak kunjung naik ya ditimbun saja dengan tanah untuk pupuk. Nanti di atasnya ditanam dengan tanaman baru.”Ujarnya saat ditemui penulis dikediamannya (17/9).

Sudah sejak dahulu, perempuan memiliki banyak peran yang lebih berat ketimbang laki-laki. Ketika mengalami keterpurukan semacam ini, petani perempuan semakin didesak untuk mengatur keuangan sebaik mungkin.

“Pikiran saya lagi malas dan tidak bersemangat untuk pergi ke ladang melihat harga sayur yang murah seperti ini. Saya juga sebagai perempuan yang mengatur keuangan sangat dipusingkan untuk mengatur segala kebutuhan sehari-hari.”

Begitulah ungkapan lirih petani perempuan lainnya yang sama-sama aktif di KPPL Sumber Jaya, Ibu Sujirah (47), di sela aktivitas memasaknya pagi kemarin (17/9). Saat ini ibu Sujirah panen sayur sawi bola sekitar 1 ton. Biasanya, beliau akan memperoleh uang sebanyak dua juta dengan harga normal sekitar 2.000-4000 rupiah. Tapi, hari ini sawi bola hanya dihargai 200 rupiah saja. Tentu ini sangat merugikan ibu Sujirah dan modal perawatan tidak kembali. Sehingga beliau pun harus mencari modal baru untuk menanam sayuran lagi.

“Kita tidak sendiri. Menjadi petani ya harus tetap menanam lagi. Modalnya bisa dicari melalui usaha sampingan keranjang bambu atau pun bekerja sebagai buruh tani.” Tambah Ibu Sujirah.

Fluktuasi harga komoditi sayur menurut Bapak Adi Taatno (57) yang kesehariannya bekerja sebagai pengepul sayuran, dipengaruhi oleh wabah pandemi Covid 19. Setidaknya dampak pandemi dimulai sejak bulai Mei dan hingga hari ini masih terus mengalami penurunan harga sayur.

“Pengaruh murah ini bisa jadi yang pertama, karena Corona. Kedua, karena daya beli yang berkurang. Untuk mengirim ke sana juga ditekan harganya karena sepi pembeli. Kebanyakan yang beli sayuran adalah orang yang mengadakan acara hajatan. Karena Corona, hajatan dilarang jadi pengaruh juga. Harga murah ini di mulai sekitar bulai Mei hingga sekarang terus menurun. Kemarin masih bisa beli daun bawang dari petani 2.500 rupiah sampai besok tidak bisa lagi beli dengan harga segitu.” Terang Bapak Adi Taatno (17/9).

Ada tiga faktor utama penyebab terjadinya fluktuasi harga komoditi sayur, sebagaimana diungkapkan oleh Tuti Tutuarimah, S.TP, M.Si dari akademisi UNIB. Pertama, pola tanam petani yang terkadang masih menanam jenis sayuran yang sama (serentak) saat harga komoditi sayur mahal. Sehingga saat panen yang juga serentak, maka hukum pasar akan bermain (supply meningkat, harga akan turun, sementara permintaan tetap). Kedua, pola pemasaran yang umumnya petani hanya menjual komoditi sayur segar ke pengepul. Petani belum mencoba untuk melakukan penjualan langsung ke konsumen. Rantai distribusi terlalu panjang, sementara di setiap titik rantai akan mengambil margin. Petanilah yang paling kecil mendapatkan itu. Ketiga, untuk mengantisipasi over produksi, maka teknologi pengolahan juga bisa menjadi alternative, jika komoditi segar tidak terserap pasar.

Selain menghadapi fluktuasi harga komoditi sayur, perlunya akses informasi terhadap perkembangan pertanian dan pangan sangat dibutuhkan. Pada kenyataannya juga, peran perempuan dalam pertanian sangat besar. Sebagian besar aktivitas pertanian selalu melibatkan perempuan, mulai dari menyiapkan bibit, penanaman, perawatan, hingga memasuki masa panen. Dengan demikian peningkatan kapasitas petani perempuan sangat diperlukan.

 Budaya masyarakat yang masih menganggap  perempuan tidak memiliki nilai tawar dalam kehidupan sosial menjadi hambatan tersendiri dalam penyebarluasan informasi dalam rangka peningkatan ilmu pengetahuan terhadap petani perempuan dalam sektor tersebut. Padahal ini sangat penting sebagai upaya peningkatan kapasitas perempuan sebagai bagian utama dari SDM sektor pertanian.

Informasi urban farming harus diketahui oleh petani perempuan di desa untuk menjadi pertimbangan dalam mengelola hasil panen ke depannya. Bagaimana pun juga, kelebihan-kelebihan urban farming menjadi semacam tantangan sekaligus ancaman bagi keberlanjutan tanaman-tanaman yang dihasilkan dari pertanian perempuan di desa.

Maraknya gerakan urban farming tidak menjadikan petani perempuan tetap diam dan tidak melakukan pergerakan ke arah yang lebih baik. Tetapi, harus ada upaya inovasi untuk menyeimbanginya. Tuti Tutuarima, S.TP, M.Si juga menambahkan sebuah inovasi penanganan pasca panen. Bisa melalui penanganan bahan segar dengan penyimpanan suhu rendah atau melalui pengolahan. Seperti tomat yang bisa diolah menjadi saus atau manisan. Sayuran hijau bisa diolah menjadi berbagai olahan, mie atau stik sayur.

Cara-cara penanganan pasca panen ini pun harus diketahui oleh petani perempuan dan membentuk kesadaran masing-masing perempuan untuk mulai berinovasi. Peran pemerintah sangat diharapkan untuk memudahkan  upaya ini. Ibu Sujirah menuturkan harapannya sebagai berikut:

“Itu bagus juga, tapi harus ada fasilitas dari pemerintah. Kalau hanya kita sendiri  pasti tidak tahu, caranya gimana, cara pendistribusiannya, dan modal pengelolaannya harus dipikirkan juga. Harus ada pendamping untuk mengajari pengelolaan ini.”

Upaya ini tentu bisa diwujudkan melalui bantuan pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Pengembangan dan inovasi sektor pertanian tentunya akan membawa dampak yang besar terhadap optimalisasi sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian Indonesia.

Pengembangan aspek SDM dalam sektor pertanian menjadi kunci dalam pembangunan pertanian dalam jangka panjang. Data Bappenas (2006) menunjukkan bahwa rendahnya kualitas SDM pertanian seiring dengan rendahnya tingkat produktivitas sektor pertanian. Kondisi tersebut membawa dampak lebih luas pada kemampuan sektor pertanian untuk mengembangkan berbagai inovasi yang mengarah pada peningkatan produktivitas pertanian (Jurnal Maksipreneur. 2013).

Menurut Linda Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada beberapa isu perempuan di bidang pertanian yang masih perlu diperjuangkan, di antaranya memastikan akses yang setara untuk perempuan dan laki-laki terhadap informasi permodalan dan pemanfaatan sarana dan prasarana pertanian. Selain itu, mengupayakan  peningkatan keterampilan perempuan melalui pengenalan teknologi baru yang efektif dan terjangkau serta membantu perempuan maupun laki-laki memahami pola tanam dan produksi pertanian (suarapembaruan.com).

Akses perempuan desa terhadap media massa dan kontak-kontak dengan perempuan kota, posisi ekonomi perempuan yang bertambah kuat, serta sebagai penghasil dan pengolah bahan pangan untuk pasar domestik akan menjadi perubahan dalam posisi perempuan di banyak daerah pedesaan(Coen Reijntjes, dkk.  1992). Pengaruh perempuan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan bisa mengakibatkan meningkatnya perhatian dalam inisiatif pembangunan budi daya tanaman pangan dan bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yang berkelanjutan.