Dampak Pandemi Bagi Keberlangsungan Hidup Petani Perempuan

Dok. KPPSWD

 Masa pandemi Covid 19 belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Angka pasien positif Covid 19 di Indonesia telah mencapai 236.519 orang dan angka kematian sebanyak 9.336 orang (worldometers 18/9), tertinggi kedua di Asia setelah India.  Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, wabah pandemi Corona baru adalah jenis bencana yang pengaruhnya akan berlangsung jauh di masa depan (kontan.co.id).

Secara tidak langsung wabah pandemi ini juga telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat, khususnya di perkotaan. Kewajiban untuk menjaga stamina tubuh agar tidak mudah terpapar virus Covid 19 menyebabkan kebutuhan untuk mengonsumsi sayuran semakin tinggi.  

Sehingga menyebabkan sebagian masyarakat perkotaan memilih untuk menanam sendiri dengan memanfaatkan lahan yang terbatas. Sehingga, urban farming menjadi pilihan mereka untuk memenuhi kebutuhan sayuran tanpa harus membeli dari pasar atau pun langsung.

Di satu sisi, gerakan urban farming merupakan langkah yang dianggap strategis untuk menyikapi isu ketahanan pangan. Berbagai peristiwa alam seperti perubahan iklim, bencana alam, hingga pandemi Covid 19 menuntut manusia untuk melakukan upaya mitigasi secepat mungkin. Dilansir dari transformasi.org, hal ini disebabkan  sebelum adanya pandemi Covid-19, faktor utama terjadinya krisis pangan dunia adalah konflik, ganguan iklim, dan turbulensi perekonomian. Ancaman dari masa depan yang belum pasti perlu untuk diantisipasi. The World Economic Forum menyatakan bahwa pada tahun 2050, populasi global diprediksi akan mencapai 9,8 miliar jiwa sedangkan permintaan pasokan pangan lebih tinggi 60% daripada saat ini.

Menurut Litbang Pertanian sebagaimana dikutip dari kompas.com, urban farming (pertanian perkotaan) merupakan kegiatan pemanfaatan lahan untuk memproduksi hasil pertanian di wilayah perkotaan yang dapat dikembangkan dengan teknik Vertikultur, Hidroponik, Aquaponik, Vertiminaponik, dan wall gardening. Pertanian dengan lahan sempit di perkotaan diyakini dapat menjadi solusi permasalahan pangan akibat dari turunnya jumlah petani, urbanisasi, dan keterbatasan lahan.

 Namun, di tengah gencarnya tren urban farming yang dilakukan oleh masyarakat di perkotaan, sejumlah petani di masa pandemi ini sedang mengalami keterpurukan. Terjadinya fluktuasi harga komoditi sayur, menjadi penyebab sejumlah petani tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Sayuran memang produk pertanian yang tidak bertahan lama, tetapi sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk  pemenuhan gizi. Permintaan sayuran pada umumnya bersifat inelastic yang menyebabkan harga sayur tidak menentu. ada kalanya harga bisa melambung tinggi namun adakalanya harga sayur bisa turun drastis. Fluktuasi harga inilah yang hingga hari ini belum terselesaikan.

Tentunya, permasalahan ini sangat berdampak terhadap keberlangsungan hidup para petani, khususnya petani perempuan. Isu gender dalam bidang pertanian, berkaitan erat dengan pembagian kerja yang tidak seimbang, status pekerjaan yang tidak jelas, dan beban-beban lainnya yang membuat perempuan mengalami ketidakadilan.

Sebagaimana yang dialami oleh sejumlah petani perempuan di desa Sumber Bening, Kecamatan Selupu Rejang, yang membiarkan hasil panennya terbengkalai begitu saja di lahan pertaniannya. Turunnya harga sayur menyebabkan mereka enggan untuk mengurus segala kebutuhan panen, seperti anggaran untuk ongkos ojek dan keranjang sayur. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Mursilah (43) yang juga sebagai anggota KPPL (Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan) Sumber Jaya yang sedang panen sayur kol bulat sebanyak 8 ton tetapi harga kol masih berkisar 400 rupiah dari petani.

“Kalau memang tidak laku karena harga tidak kunjung naik ya ditimbun saja dengan tanah untuk pupuk. Nanti di atasnya ditanam dengan tanaman baru.”Ujarnya saat ditemui penulis dikediamannya (17/9).

Sudah sejak dahulu, perempuan memiliki banyak peran yang lebih berat ketimbang laki-laki. Ketika mengalami keterpurukan semacam ini, petani perempuan semakin didesak untuk mengatur keuangan sebaik mungkin.

“Pikiran saya lagi malas dan tidak bersemangat untuk pergi ke ladang melihat harga sayur yang murah seperti ini. Saya juga sebagai perempuan yang mengatur keuangan sangat dipusingkan untuk mengatur segala kebutuhan sehari-hari.”

Begitulah ungkapan lirih petani perempuan lainnya yang sama-sama aktif di KPPL Sumber Jaya, Ibu Sujirah (47), di sela aktivitas memasaknya pagi kemarin (17/9). Saat ini ibu Sujirah panen sayur sawi bola sekitar 1 ton. Biasanya, beliau akan memperoleh uang sebanyak dua juta dengan harga normal sekitar 2.000-4000 rupiah. Tapi, hari ini sawi bola hanya dihargai 200 rupiah saja. Tentu ini sangat merugikan ibu Sujirah dan modal perawatan tidak kembali. Sehingga beliau pun harus mencari modal baru untuk menanam sayuran lagi.

“Kita tidak sendiri. Menjadi petani ya harus tetap menanam lagi. Modalnya bisa dicari melalui usaha sampingan keranjang bambu atau pun bekerja sebagai buruh tani.” Tambah Ibu Sujirah.

Fluktuasi harga komoditi sayur menurut Bapak Adi Taatno (57) yang kesehariannya bekerja sebagai pengepul sayuran, dipengaruhi oleh wabah pandemi Covid 19. Setidaknya dampak pandemi dimulai sejak bulai Mei dan hingga hari ini masih terus mengalami penurunan harga sayur.

“Pengaruh murah ini bisa jadi yang pertama, karena Corona. Kedua, karena daya beli yang berkurang. Untuk mengirim ke sana juga ditekan harganya karena sepi pembeli. Kebanyakan yang beli sayuran adalah orang yang mengadakan acara hajatan. Karena Corona, hajatan dilarang jadi pengaruh juga. Harga murah ini di mulai sekitar bulai Mei hingga sekarang terus menurun. Kemarin masih bisa beli daun bawang dari petani 2.500 rupiah sampai besok tidak bisa lagi beli dengan harga segitu.” Terang Bapak Adi Taatno (17/9).

Ada tiga faktor utama penyebab terjadinya fluktuasi harga komoditi sayur, sebagaimana diungkapkan oleh Tuti Tutuarimah, S.TP, M.Si dari akademisi UNIB. Pertama, pola tanam petani yang terkadang masih menanam jenis sayuran yang sama (serentak) saat harga komoditi sayur mahal. Sehingga saat panen yang juga serentak, maka hukum pasar akan bermain (supply meningkat, harga akan turun, sementara permintaan tetap). Kedua, pola pemasaran yang umumnya petani hanya menjual komoditi sayur segar ke pengepul. Petani belum mencoba untuk melakukan penjualan langsung ke konsumen. Rantai distribusi terlalu panjang, sementara di setiap titik rantai akan mengambil margin. Petanilah yang paling kecil mendapatkan itu. Ketiga, untuk mengantisipasi over produksi, maka teknologi pengolahan juga bisa menjadi alternative, jika komoditi segar tidak terserap pasar.

Selain menghadapi fluktuasi harga komoditi sayur, perlunya akses informasi terhadap perkembangan pertanian dan pangan sangat dibutuhkan. Pada kenyataannya juga, peran perempuan dalam pertanian sangat besar. Sebagian besar aktivitas pertanian selalu melibatkan perempuan, mulai dari menyiapkan bibit, penanaman, perawatan, hingga memasuki masa panen. Dengan demikian peningkatan kapasitas petani perempuan sangat diperlukan.

 Budaya masyarakat yang masih menganggap  perempuan tidak memiliki nilai tawar dalam kehidupan sosial menjadi hambatan tersendiri dalam penyebarluasan informasi dalam rangka peningkatan ilmu pengetahuan terhadap petani perempuan dalam sektor tersebut. Padahal ini sangat penting sebagai upaya peningkatan kapasitas perempuan sebagai bagian utama dari SDM sektor pertanian.

Informasi urban farming harus diketahui oleh petani perempuan di desa untuk menjadi pertimbangan dalam mengelola hasil panen ke depannya. Bagaimana pun juga, kelebihan-kelebihan urban farming menjadi semacam tantangan sekaligus ancaman bagi keberlanjutan tanaman-tanaman yang dihasilkan dari pertanian perempuan di desa.

Maraknya gerakan urban farming tidak menjadikan petani perempuan tetap diam dan tidak melakukan pergerakan ke arah yang lebih baik. Tetapi, harus ada upaya inovasi untuk menyeimbanginya. Tuti Tutuarima, S.TP, M.Si juga menambahkan sebuah inovasi penanganan pasca panen. Bisa melalui penanganan bahan segar dengan penyimpanan suhu rendah atau melalui pengolahan. Seperti tomat yang bisa diolah menjadi saus atau manisan. Sayuran hijau bisa diolah menjadi berbagai olahan, mie atau stik sayur.

Cara-cara penanganan pasca panen ini pun harus diketahui oleh petani perempuan dan membentuk kesadaran masing-masing perempuan untuk mulai berinovasi. Peran pemerintah sangat diharapkan untuk memudahkan  upaya ini. Ibu Sujirah menuturkan harapannya sebagai berikut:

“Itu bagus juga, tapi harus ada fasilitas dari pemerintah. Kalau hanya kita sendiri  pasti tidak tahu, caranya gimana, cara pendistribusiannya, dan modal pengelolaannya harus dipikirkan juga. Harus ada pendamping untuk mengajari pengelolaan ini.”

Upaya ini tentu bisa diwujudkan melalui bantuan pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Pengembangan dan inovasi sektor pertanian tentunya akan membawa dampak yang besar terhadap optimalisasi sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian Indonesia.

Pengembangan aspek SDM dalam sektor pertanian menjadi kunci dalam pembangunan pertanian dalam jangka panjang. Data Bappenas (2006) menunjukkan bahwa rendahnya kualitas SDM pertanian seiring dengan rendahnya tingkat produktivitas sektor pertanian. Kondisi tersebut membawa dampak lebih luas pada kemampuan sektor pertanian untuk mengembangkan berbagai inovasi yang mengarah pada peningkatan produktivitas pertanian (Jurnal Maksipreneur. 2013).

Menurut Linda Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada beberapa isu perempuan di bidang pertanian yang masih perlu diperjuangkan, di antaranya memastikan akses yang setara untuk perempuan dan laki-laki terhadap informasi permodalan dan pemanfaatan sarana dan prasarana pertanian. Selain itu, mengupayakan  peningkatan keterampilan perempuan melalui pengenalan teknologi baru yang efektif dan terjangkau serta membantu perempuan maupun laki-laki memahami pola tanam dan produksi pertanian (suarapembaruan.com).

Akses perempuan desa terhadap media massa dan kontak-kontak dengan perempuan kota, posisi ekonomi perempuan yang bertambah kuat, serta sebagai penghasil dan pengolah bahan pangan untuk pasar domestik akan menjadi perubahan dalam posisi perempuan di banyak daerah pedesaan(Coen Reijntjes, dkk.  1992). Pengaruh perempuan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan bisa mengakibatkan meningkatnya perhatian dalam inisiatif pembangunan budi daya tanaman pangan dan bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yang berkelanjutan.

Ekoteologi; Islam dan Pentingnya Menjaga Alam Semesta

Ketika pohon terakhir ditebang, sungai terakhir telah tercemar, dan ikan terakhir telah terpancing, manusia mulai sadar bahwa ia tidak bisa makan uang.
(Pepatah suku Cree Indian)

Beragama tidak hanya memperlihatkan hubungan manusia dengan Tuhan melalui serangkaian ritual yang mempunyai nilai sakral. Tapi, beragama juga mengharuskan manusia untuk berhubungan dengan makhluk sekitarnya, sebagai salah satu bentuk ibadah yang sama pentingnya saat ia sedang berhubungan dengan Tuhan.

Di sinilah Islam menegaskan umatnya untuk selalu memperhatikan konsep hablumminallah dan hablumminannas. Bahkan tidak hanya terpaku kepada sesama manusia saja melainkan hubungan manusia kepada seluruh makhluk yang ada di bumi, salah satunya dengan alam.

Melihat hubungan manusia dengan alam pada abad millenium ini sangat mengkhawatirkan. Banyak kerusakan alam justru disebabkan oleh tangan manusia. Melalui arus globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan canggihnya teknologi menyebabkan manusia berusaha menguasai apa yang dimiliki oleh alam. Mulai dari pengundulan hutan, penambangan terbuka, pencemaran air, hingga perambahan spesies baru tidak pada habitatnya.

Baru-baru ini dilansir dari National Geographic Indonesia, manusia sedang menghadapi perubahan iklim yang sangat signifikan. Keadaan bumi sudah jauh berubah dan sangat mengganggu keberlangsungan hidup seluruh makhluk di dalamnya.

Lautan di permukaan bumi sekarang telah menjadi spons bagi emisi karbon lalu menyerapnya. Sehingga perubahan itu mempengaruhi setengah lautan (20-55 %) di wilayah Atlantik, Pasifik, dan Samudra Hindia. Ditambah lagi dengan perubahan suhu dan salinitas yang disebabkan oleh aktivitas manusia berdampak pada sirkulasi laut global, kenaikan permukaan laut, yang tentunya mengancam manusia dan seluruh ekosistem yang ada.

Jika dibuka lagi pada ajaran agama Islam, sebagaimana mengutip perkataan Prof. Amin Abdullah, Al-Quran tidak hanya berbicara tentang hal-hal yang bersifat metafisis-eskatologis saja, namun ia juga berbicara tentang alam semesta yang dihuni manusia. Al- Quran sebagai hudallinas (petunjuk untuk manusia) memberikan banyak petunjuk bagaimana manusia harus berperilaku baik kepada alam dan lingkungan sekitarnya. Ini merujuk pada banyak ayat-ayat mengenai alam semesta yang dikandung di dalamnya.

Pada Surah al-Baqarah ayat 22 misalnya, “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air hujan dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”

Allah telah memberikan gambaran kepada manusia bahwa segala sesuatu yang ada pada alam telah memenuhi seluruh aspek kehidupannya. Sandang, pangan, dan papan dipenuhi dari memanfaatkan alam yang dilakukan manusia. Tidak akan kekurangan kebutuhannya sedikit pun selagi manusia bisa memanfaatkan alam dengan sebaik-baik mungkin.

Namun, saat hubungan manusia tidak lagi harmonis dengan alam seperti mengeksploitasi isinya secara besar-besaran maka segala kerusakan akan terjadi. Inilah yang juga disinggung oleh Allah dalam surah Arruum, ayat 41, “telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Kerusakan alam akan memberikan dampak kepada seluruh makhluk karena yang ada di alam semesta ini terjalin sebuah ikatan hidup yang saling berkelindan. Jika salah satunya terganggu, maka akan berdampak pada makhluk lainnya.

Misalnya pengundulan hutan akan menimbulkan akibat hilangnya kesuburan tanah dan mengakibatkan terjadinya banjir bandang di musim hujan serta kekurangan air jika musim kemarau datang. Hal ini akan berimbas pada kehidupan petani yang menanam padi di saah. Akhirnya, kerusakan lingkungan akan menimbulkan paceklik bagi manusia dan binatang yang hidup disekitarnya.

Menjaga keberlangsungan hidup alam semesta adalah tanggungjawab manusia. Agama Islam telah meletakkan tanggungjawab itu menjadi bagian dari pondasi keimanan. Tidaklah beriman manusia yang tidak mencintai alam dan lingkungan. Hal ini sangat penting untuk disadari oleh manusia itu sendiri.

Sonny Keraf menambahkan bahwa, masalah lingkungan adalah masalah moral dan perilaku manusia. Sebagai khalifah fil ardh, manusia telah diberikan banyak keenangan untuk memanfaatkan sumber daya yang ada. Sehingga ketika terjadi kerusakan tidak hanya masalah teknis saja tetapi ada manusia yang menjadi aktor utama.

Jadi, jelaslah ekoteologi Islam mengandung nilai spiritual dan nilai universal untuk kepentingan manusia bersama dalam menjaga dan merawat alam yang menjadi tempat manusia berada. Pemahaman ekoteologi akan mengantarkan manusia untuk bersikap dan menempatkan dirinya terkait interaksinya dengan alam semesta.

Perlu digarisbawahi, alam juga merupakan cerminan tempat Allah menampakkan segala kemahakuasaan-Nya untuk diperhatikan dan dipahami. Secara naluri manusia tidak bisa melepaskan dirinya dari perilaku biofilia, di mana manusia memiliki kecenderungan menyukai alam sebagai baaan alamiah dalam ketergantungannya kepada alam. Rusaknya alam akan mempengaruhi keadaan bumi sekarang dan masa yang akan datang. Manusia tidak lagi bisa menikmati keindahan alam secara alami meskipun digantikan dengan alam buatan manusia.

(Sudah dimuat di the columnist)

(Review Buku) Perjalanan Penganten

Judul bukunya, Perjalanan Penganten. Ditulis Ajib Rosidi, seorang budayawan sekaligus sastrawan yang telah meninggal dunia akhir Juli kemarin. Melihat judulnya saya kira isinya sejenis roman melankolis. Jatuh cinta, menikah, punya masalah, berakhir bahagia atau duka.

Tapi, dugaan saya salah. Perjalanan Penganten adalah rangkaian kisah sejenis otobiografi yang ditulis Eyang Ajib saat berusia delapan belas tahun. Sepuluh tahun pasca kemerdekaan Indonesia. Dengan sebagian besar latar belakangnya perkampungan Jatiwangi dan sisanya kehidupan Jakarta.

Kisahnya dimulai dari tokoh “Aku” — di sini tidak disebutkan siapa nama “Aku” itu — yang menikah di usia delapan belas tahun. Saat ia memakai pakaian adat Sunda, kain panjang, jas, dan bendo, ia tertawa kecil di depan cermin. Ditambah lagi saat telah tiba di depan rumah calon istrinya, ia melihat istrinya seperti ondel-ondel dengan wajah yang didandani begitu tebal dan mencolok.

“Ia pun mengenakan pakaian yang menimbulkan geliku. Hampir-hampir tawaku meledak melihat bakal istriku berbedak begitu tebal dan berbaju hitam dengan kain yang nampak sangat kaku itu.” (Hlm. 19)

Sebelum pernikahannya berlangsung, Ibunya berpesan agar ia tidak langsung memiliki anak. Tapi, teman laki-lakinya dengan ringan berkata ia akan memiliki anak tidak sampai satu tahun usia pernikahannya. Ternyata perkataan temannya benar, istrinya hamil tidak sampai satu tahun usia pernikahan.

Kehidupan Aku di usia yang masih sangat muda itu berjalan begitu unik sampai pada halaman terakhir. Menikah, memiliki anak, menjadi direktur di salah satu penerbitan Jakarta, hingga akhirnya memutuskan pulang kampung karena jengah dengan kehidupan perkotaan.

Aku bermimpi ingin menjadi petani sukses dengan tetap produktif menulis. Tanpa dihantui rasa terburu-buru, kikuk, dan seperti robot yang selalu mengejar waktu. Namun, mimpi hanyalah mimpi tanpa terealisasi. Semuanya hanya ilusi. Resah demi resah terjadi setelah ia berada di kampung halaman.

Tanah-tanah yang sudah jauh mengering, pohon yang sudah banyak berubah, tidak lagi menjadi tempat sunyi dan tenang untuk menghabiskan waktu. Belum lagi, honor dari menulis yang sering datang terlambat membuat perekonomiannya sering terganggu. Ia merasa sangat bergantung pada nenek dan orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Karena kita tidak boleh memilih. Apa yang bisa kita kerjakan, hanyalah mencintai dan mempertahankannya. Mencintainya. Mempertahankannya. Baik tanah yang hitam maupun yang kemerahan. Daun yang hijau atau yang kuning gersang, gundul arau rindang.” (Hlm. 45)

Kisah demi kisah pun berlanjut. Hidupnya di perkampungan Jatiwangi dipenuhi tradisi-tradisi yang harus dijalani. Dimulai saat istrinya mengandung dilakukan upacara babarit sampai tradisi yang mengandung kepercayaan takhayul yang sama sekali tidak dipercayai oleh Aku sendiri.

Buku Ajib Rosidi ini — menurut saya — lebih menggambarkan kehidupan perkampungan dari pada kisah rumah tangganya. Istrinya pun tidak dijelaskan secara rinci. Hanya sebagai tokoh pendamping yang tidak banyak bicara. Hanya manut apa kata suami (si Aku tadi).


(Segini dulu, reviewnya. Jelek dan singkatnya mohon dimaklumi. Heheh.)

Membaca Tanpa Didahului Prasangka (Jelek)

“Menulis itu perlu keberanian,”

Begitulah pesan bang Iko, abang dari kampung sebelah yang baru berteman nyata saat semester lima. Sebelum itu hanya berteman maya via Facebook. Saat saya sibuk stalking anak-anak Suaka. Tapi sayangnya, saya gagal masuk UKM itu dan menjadi salah satu penyesalan saya hari ini.

Keberanian apa yang dimaksud bang Iko? Saat temu kedua bersama dia — sebelumnya pernah ketemu tidak sengaja di kafe Bunda, bahkan sebelumnya sering berpapasan di blok M tapi belum tahu kalau itu abang sekampung — saya pernah menulis di medium tentang pertemuan kami ini. Kencan di Malam Senin, itu judul paling berani yang saya buat. Kencan? Kencan seperti orang pacaran saja. Padahal isinya jauh dari unsur-unsur pacaran. Hihihh.

Tulisan itu dibaca Bang Iko, saya tidak bisa memastikan bagaimana perasaannya. Saya cuma berkata,

“Abang jangan berprasangka ndak.”

Bang Iko lebih berpengalaman soal tulis menulis. Juga lebih tahu bagaimana cara membaca tulisan seseorang agar tidak salah menaruh perasaan .

“Kita sepakat untuk tidak ada prasangka di atas prasangka.”

Jawab bang Iko dengan tertawa.

Menulis memang perlu keberanian. Apalagi jika tulisan kita memang membuat orang yang membaca berprasangka. Menulis puisi cinta dikira sedang jatuh cinta. Menulis keluh kesah dikira sedang menyinggung seseorang. Menulis panjang lebar malah dicemeeh sedang curhat dan jadi bahan bullyan.

Prasangka ini memang ada benarnya juga. Tapi tidak sepenuhnya menggambarkan hati penulis kan? Bisa jadi ia sedang menuliskan cerita seseorang. Dari pengalaman bacanya dengan alam sekitar.

Maka dari itu sejak dua tahun belakangan ini saya instens menulis di wordpress. Masih kaku kalau dibilang “ngeblog”. Tulisan saya masih jauh dari kata baik. Tapi sayangnya, kalau tidak menulis ada sesuatu yang kurang.

Menulis di sini lebih nyaman dibanding nyepam di story WA atau di beranda Facebook. Terima kasih untuk teman-teman yang sudah bersedia membaca tulisan-tulisan saya (yang belum bernilai) ini. Saya percaya, setiap tulisan akan menemukan pembacanya. Selalu ada pendengar rahasia yang (mungkin) hadir tidak kita ketahui.

Meski kegiatan menulis kerap diprasangkai sedang menyinggung seseorang, saya tidak ambil peduli. Toh, kadang-kadang dari menulis itu dia jadi tahu uneg-uneg yang saya pendam. Tentunya ini menanggung resiko yang tidak kecil loh. Kita bisa tidak disukai teman-teman. Heheh. Lagi-lagi, nulis kan perlu nyali. Tidak sekedar menulis, tapi ada pesan tersurat atau pun tersirat yang hendak disampaikan penulis.

Oh, iya, ada wejangan dari Schleirmacher nih. Bagaimana cara membaca teks (tulisan) agar tidak didahului dengan prasangka. Kan prasangka bisa salah. Tidak sepenuhnya benar. Malah kadang prasangka memang salah dan mengandung kekeliruan. Kasihan penulisnya, pesan yang ingin disampaikan malah melenceng jauh dari perkiraan.

Schleirmacher adalah seorang filsuf sekaligus bapak hermeneutik modern. Ia mengajari kita bagaimana belajar untuk memahami sebuah teks dengan menggunakan dalil-dalil tertentu. Tidak dengan mengikuti prasangka kita. Sehingga kita bisa menangkap makna yang ada di dalam tulisan itu.

Ia menegaskan bahwa memahami itu juga butuh keahlian. Istilah yang ia perkenalkan adalah “verstehen” artinya seni memahami.

Memahami dikatakan sebuah seni, karena ia butuh proses belajar hingga bisa dikatakan nantinya sebagai kepiawan. Proses itu pun panjang, karena memahami baginya adalah sebuah tugas yang tidak pernah berkesudahan.

Memahami berbeda dengan mengetahui. Mengetahui belum tentu sampai pada ranah memahami. Memahami selalu dilengkapi dengan perasaan yang mendalam. Cara memahami teks pun begitu. Ada dua dalil yang disuguhkan Schleirmacher. Saat membaca tulisan seseorang dan berusaha untuk menginterpretasikannya kita harus merujuk dalil ini.

  1. Interpretasi Gramatis, upaya objektif ini sebuah cara untuk membaca teks dengan menggunakan metode gramatik. Melihat penulis menyampaikan tulisannya melalui cara ia berbahasa. Di sini kita bisa melihat bagaimana keadaan kata, kalimat, alinea, bab, hingga kalau kita membaca buku kita juga harus melihat jenis kultur atau genrenya.
  2. Interpretasi Psikologis, upaya ini merupakan hal subyektif untuk memahami pribadi penulis. Dimulai dengan memahami individu, keluarga, generasi, masyarakat, kultur, negara, sampai bagaimana keadaan zamannya saat itu.

Kedua dalil ini setara dan tidak boleh dihilangkan salah satunya. Sebelum membaca tulisan teman, kita harus ingat dua hal ini terlebih dahulu. Buang jauh-jauh prasangka jelek kita. Memang terkesan ribet, tapi dari pada menimbulkan prasangka yang bukan-bukan.

Tulisan yang dibuat saat sedang sedih tentu berbeda saat sedang bahagia. Apalagi kalau dorongan menulis datang dari luapan emosi. Tapi, saya secara pribadi masih sulit untuk belajar memahami dengan dua dalil ini. Hehehe. Tapi, setidaknya, saat membaca “status” teman tidak terburu-buru main vonis-vonisan. Lurus-lurus saja.

***

Saat Ibu dan Bapak Memasuki Usia Senja Nanti

Semakin hari, bapak kelihatan semakin tua. Muka kempot, kulit yang sudah keriput, dan tenaga yang tidak lagi sekuat dulu. Usia bapak tahun ini menginjak 53 tahun. Rambutnya masih hitam pekat, tapi tidak dengan kesehatannya. Awal tahun lalu sebulan lebih bapak tidak bekerja. Bapak sakit cukup lama seperti dulu saat saya masih berumur beberapa bulan.

Sedangkan ibu, tahun ini menginjak 43 tahun. Ibu sering masuk angin dan kebiasaannya selalu minta dikerok dengan freshcare atau minyak kayu putih. Kebiasaan buruk ini tidak mau ibu tinggalkan. Karena baginya sudah jadi kewajiban kalau demam atau masuk angin ringan, obatnya adalah dikerok. Sehingga kulit punggung ibu pun semakin tipis.

Saya lebih dekat dengan ibu. Selalu bercerita dan meminta sesuatu melalui dirinya. Ibu kadang-kadang suka marah. Jika sudah diluapi emosi, ibu akan mengungkit kesalahan-kesalahan lama. Saya juga sebagai anak sering melakukan banyak kesalahan. Seperti tidak bisa menghemat uang, pulang saat Adzan Maghrib, bertengkar dengan adik, dan susah menurut apa kata ibu.

Lain dengan bapak, bapak tidak pernah marah besar atau memukul. Bapak cenderung lebih diam dan tidak suka mendengar saya dan adik menangis. Mungkin ini dipengaruhi oleh kehidupan masa kecil bapak sebagai anak yang tumbuh dari kedua orang tua yang berpisah. Hidup berdampingan dengan ayah tiri yang “tidak dikehendaki.”

Ibu, bisa berubah menjadi sosok teman yang baik, pendengar, sekaligus penguat saat saya dilanda kebingungan. Ibu juga menjadikan saya sebagai tempat ia bercerita dan meluapkan segala keluh kesah berumahtangga bersama bapak. Ibu memenuhi sebagian isi kepala saya dengan perjalanan hidupnya yang harus saya simpan sebagai bekal hidup di masa yang akan datang.

Saya sudah besar, sudah harus tahu kehidupan orang dewasa yang ruwet ini. Kesalahan-kesalahan yang harus saya perbaiki dan dihindari. Mulai dari soal mencari pasangan hidup nanti, perempuan yang harus mandiri, hingga saat orang tua sudah menua menjadi kakek nenek yang tidak bisa bekerja lagi. Saya wajib tahu apa yang harus saya lakukan dengan belajar dari pengalaman ibu.

***

Kebiasaan ibu adalah menasihati saya dengan bercerita dari kehidupannya atau kehidupan orang lain. Ibu menasihati saya tentang kehidupan orang tua yang sudah senja. Saat mereka tidak lagi segagah dulu. Kesehatan yang berkurang, telinga yang tidak sekuat dulu, mata rabun, sampai dengan sifatnya yang berubah seperti anak kecil.

Banyak anak tidak sabar menerima perubahan pada orang tuanya. Sebagian, ada orang tua yang benar-benar menguji ketahanan mental anak-anaknya. Mereka berperilaku seperti anak kecil yang butuh diperhatikan. Sifatnya juga kadang mudah tersinggung. Belum lagi jika ditambah penyakit pikun. Mereka sudah makan, tapi mengaku belum makan. Tingkat parahnya, ada beberapa orang tua yang suka mengadu domba anak-anaknya. Hingga keributan antar anak pun sulit dihindari.

Begitulah, keterangan di atas benar-benar terjadi disekitar lingkungan saya. Bahkan datang dari keluarga terdekat. Maknik (ibunya bapak) sudah pikun dan sulit mendengar. Dulu, sewaktu mengunjungi Maknik di Jambi selama seminggu saya mengalami penaikan berat badan cukup drastis. Bagaimana tidak, selang tiga jam Maknik selalu menyuruh saya makan. Padahal saya sudah makan sepiring runjung. Kalau makan sedikit Maknik akan berprasangka jelek. Masakan bibi kurang enak atau prasangka lainnya.

Dari pada Maknik terus berbicara berulang-ulang mengajak saya makan. Akhirnya mau tidak mau saya makan juga. Sehari bisa 5-6 kali makan dengan porsi tidak sedikit.

Oh, Maknik. Kangen ketemu lagi.

Ibu berharap, saya bisa memaklumi sifat-sifat itu nanti jika terjadi pada dirinya atau pun bapak. Saya harus sabar dan sepenuh kasih merawat mereka seperti mereka mengasuh saya sewaktu kecil. Jangan mencela, jangan sampai timbul kejengkelan di dalam hati. Banyak cerita, banyak anak yang tidak tahan merawat orang tuanya. Tidak mau menuruti apa kehendak dari mereka yang aneh-aneh. Tidak jarang kita akan menjumpai orang tua yang terlantar saat mereka telah memasuki usia senja.

Mulai sekarang saya harus banyak belajar langsung dari cerita-cerita demikian. Bagaimana menghadapi orang tua seperti ini. Meskipun ada banyak orang tua yang tidak bertingkah aneh-aneh. Bahkan dari mereka masih produktif menikmati hari tua dengan banyak kegiatan yang tidak menguras tenaga.

Benar kata pepatah,

kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.

Ibu sanggup merawat anak-anaknya yang banyak. Tapi sayangnya, banyak anak yang tidak sanggup merawat kedua orang tuanya. Menghadapi segala tingkah mereka dengan sabar. Bahkan ada yang menitipkan orang tuanya di panti jompo. Mengucilkan mereka seperti bukan orang tuanya saja.

***

Ibu dan bapak, semoga kesehatan selalu menghampiri. Menikmati masa senja dengan bahagia nanti. Apa pun keadaan yang terjadi semoga Allah selalu memberikan kemudahan. Bersama-sama mengisi rumah kita dengan hal-hal baik, damai, dan tidak kekurangan hal bahagia sedikit pun.