[Review Buku] Sister Fillah, You’ill Never be Alone

Bulan Februari kemarin, saya membeli setumpuk buku anak-anak. Tapi, juga bisa dibaca orang dewasa. Penting isinya untuk saya baca. Itulah alasan pertama saya langsung membelinya di Toko Buku Selekta Jl. Kartini, Curup saat pulang dari sekolah.

Alasan kedua, saya ingin meminjamkannya kepada anak-anak yang saya temui nanti. Baik di kelas maupun di rumah. Sekedar untuk melihat ilustrasinya yang menarik atau syukur-syukur jika mereka mau membacanya meski sedikit.

Alasan ketiga, saya teringat saat kecil dulu, Buku-buku bacaan menarik untuk anak-anak jarang saya temui. Di rumah hanya ada beberapa majalah Bobo edisi lama. Sedangkan di sekolah tidak memiliki perpustakaan. Hanya ada gudang buku yang sudah berdebu dengan tumpukan buku yang disusun sembarang tempat.

Jadilah, saya ringkus 12 buku dengan harga 100 ribu. Padahal selembar uang kertas merah itu bisa untuk menambah koleksi jilbab atau gamis harian, kan? Hihihi. Eh. (Hiduplah minimalis ala Jepang).

Akhir bulan Maret, atau tepatnya menjelang Ramadhan, saya ingin membeli buku lagi. Untuk dibaca saat bulan Ramadhan. Tidak hanya berusaha mengkhatamkan mengaji Al Qur’an, tapi juga setidaknya ada beberapa buku yang bisa saya baca hingga tamat. Lalu, saya membuka Shopee, membuka laman Mizan dan memilih buku Kalis Mardiasih dan Pak Fahruddin Faiz.

Buku pertama yang saya baca adalah buku Mbak Kalis Mardiasih ini, yang judulnya Sister Fillah, You’ill Never be Alone. Sebelumnya saya sudah punya buku beliau yang judulnya Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar! Tapi, belum ada reviewnya.

Buku ini mengemukakan segala hal tentang dunia perempuan, laki-laki, dan feminis. Tidak Jauh-jauh dari konsep kesetaraan. Bahasanya ringan, menggambarkan kehidupan sehari-hari yang begitu melekat dengan kita, sehingga mudah dicerna. Meski ada beberapa pernyataan banyak juga yang belum bisa saya pahami. Karena saya belum tahu cukup dalam tentang dunia feminis. Heheh.

Berikut beberapa penggalan yang menarik dari sekian penggalan menarik lainnya dari buku ini:

Meme akun dakwah yang mengontrol pilihan perempuan. (Hlm. 63).


Di media sosial, banyak berseliweran konten yang menyudutkan perempuan. Konten-konten itu bisa jadi pula ditulis dan disebarkan oleh laki-laki. Isi kontennya ada yang seperti ini,


Laki-laki sholih itu suka sama wanita yang:
1. Nggak pake pensil alis.
2. Nggak pake tambahan bulu mata.
3. Nggak pake bedak yang berlebihan.
4. Nggak pake lipstik.
5. Nggak suka upload poto selfie.

Bla bla.

Menurut Mbak Kalis Mardiasih, lihatlah bagaimana imajinasi laki-laki hanya soal pakaian dan aksesoris. Padahal, laki-laki saleh adalah laki-laki yang cerdas dan punya manfaat yang banyak untuk sekitarnya. (Hlm. 64).

Lalu, meme yang tidak asing lagi didengar. Bunyinya seperti ini,

“Setinggi apapun pendidikan perempuan, karir terbaiknya adalah diam di rumah.”


Hem, setiap orang punya prioritas dan pilihan masing-masing. Ada ibu rumah tangga yang prioritasnya adalah mengasuh anak-anak karena kondisi keluarga dan lingkungan tidak mendukung dan memang ingin memastikan pengasuhan anaknya lewat tangannya sendiri. Tapi, ada juga perempuan bekerja karena prioritasnya adalah pemenuhan bersama beban ekonomi keluarga. Pun, ada perempuan yang berkarier karena sangat mencintai bidang ilmu dan pekerjaannya sehingga sumbangan gagasannya memang diperlukan banyak orang. (Hlm.65-67).

Kata kuncinya adalah prioritas dan pilihan.


Akhir halaman, kutipan yang bisa disimpulkan yaitu:

Kamu sempurna menjadi perempuan. Kamu tidak memerlukan validasi ukuran-ukuran orang lain untuk sempurna menjadi perempuan. (Hlm. 167)

(Review Buku) Ketika Perempuan Merebut Informasi

Dok. Pribadi


Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) merupakan salah satu mitra dari The Asia Foundation (TAF) di Aceh, yang mendorong pada keterbukaan informasi khususnya dalam pengelolaan SDA seperti dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), izin lingkungan, peta konsesi, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup-Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), hingga pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. Dengan pendekatan penguatan akses perempuan di dalamnya. Buku ini menjelaskan bagaimana nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender menjadi hal yang paling penting dalam memperoleh informasi publik.

Mengapa harus perempuan, mengapa tidak laki-laki saja? Pertanyaan ini akan terlintas begitu saja dalam pikiran kita. Mengapa mesti perempuan yang diberdayakan dalam hak-hak untuk memperoleh informasi tersebut?

Jawabannya, karena hidup perempuan tidak pernah bisa lepas dari SDA. Saat hutan rusak maka yang paling terdampak adalah perempuan. Pemenuhan kebutuhan rumah tangga seperti menyiapkan makanan, memandikan anak, dan lain-lainnya yang selalu dibebankan terhadap perempuan akan menimbulkan masalah besar jika air bersih tidak lagi bisa diperoleh.

Selama ini, peran laki-laki lebih dominan dalam melakukan berbagai penentuan kebijakan. Seperti yang dirasakan oleh MaTA sendiri saat melakukan dampingan di lima kabupaten, yaitu: Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kabupaten Tamiang. Setiap kebijakan selalu diputuskan oleh pihak laki-laki dalam upaya menyelesaikan masalah, khususnya yang disebabkan oleh perusahaan.

Padahal perempuan jika diberikan akses dan ruang untuk terlibat maka akan banyak hal yang mampu dirubahnya. Perempuan-perempuan itu nyata dalam banyak situasi malah melampaui apa yang selama ini dipikirkan dan dikerjakan laki-laki. Inilah yang kemudian dijelaskan oleh Abdullah Abdul Muthaleeb sebagai editor buku ini, ketika suara perempuan didengar maka kita akan menyaksikan perubahan sebenarnya. Perubahan yang dilandasi oleh semangat untuk mewujudkan rasa adil dan setara bahwa setiap manusia punya hak yang sama dalam merumuskan dan menentukan pilihan kebijakan dalam agenda pembangunan, termasuk ditingkat desa (hlm. vii).

Buku ini menceritakan banyak perjalanan yang tidak mudah yang dilalui oleh perempuan-perempuan Aceh di dalam komunitasnya. Saat mereka bergerak ke pemerintahan mengantarkan surat permohonan untuk mengakses informasi salah satunya tentang dokumen AMDAL berkaitan dengan perusahaan sawit yang telah mencemari lingkungan mereka, perempuan-perempuan itu justru mengalami intimidasi dari orang-orang birokrasi yang tidak memihak.

“Apa ini, ibu-ibu ini mau melawan perusahan? Ibu-ibu ini mau masuk penjara ya? Itu ada warga yang melawan perusahaan, tujuh orang sudah dalam penjara. Apa ibu-ibu mau seperti itu? Kalau mau, biar kami urus sekarang juga surat-surat ibu ini.” Demikian kata-kata yang dilontarkan oleh seorang pegawai (entah berstatus PNS atau cuma sekedar tenaga honorer) (hlm. 72).

Kacimah, salah satu perempuan yang mengajukan surat permohonan informasi itu malah berbuntut pada pemanggilan dirinya oleh pihak PT. Socfindo. Kacimah meminta dokumen AMDAL. Ia ingin mengakses informasi itu karena ia dan beserta hampir seluruh warga menyadari kondisi lingkungan mereka telah tercemar dari pengoperasian pabrik kelapa sawit perusahaan tersebut.

Air di Krueng Geutah berubah warna menjadi kehitam-hitaman, menyebabkan biota di dalamnya mati, ditambah lagi pencemaran udara yang disebabkan cara pemupukan kelapa sawit dengan menggunakan blower. Proses ini menimbulkan polusi udara dengan debu yang beterbangan sampai ke pemukiman warga. Seharusnya kasus ini diatur penanganannya dalam dokumen AMDAl (hlm. 86).

Masalah pelik pun menghinggapi Kacimah, mengingat anak laki-lakinya yang sedang magang di dalam perusahaan tersebut. Sebentar lagi akan menjadi pekerja tetap di sana. Tentu aksi yang dilakukan Kacimah akan mempengaruhi kebijakan perusahaan untuk menerima anak laki-lakinya bekerja atau tidak sebab lantaran sang ibu dianggap telah mengganggu stabilitas atau kenyamanan perusahaan.

“Sudah ya, bu. Kalau ibu mau anaknya tetap bekerja di sini, baiknya ibu jangan ikut lagi kegiatan seperti itu. Janganlah ibu mau dimanfaatkan oleh LSM. Dan tolong sampaikan kepada ibu-ibu yang lain, jangan lanjutkan lagi kegiatan akses informasi ini itu, karena mereka sedang diperalat oleh LSM itu.” (hlm. 91).

Suhani, perempuan yang berasal dari Aceh Barat ini juga mengalami intimidasi dari masyarakat sekitar yang masih belum menyadari peran perempuan di ranah publik. Budaya patriarki menjadikan setiap perempuan yang sibuk berkegiatan di luar dianggap perempuan tidak baik.

“Apa itu perempuan Cot Lada. Bolak-balik ke Banda Aceh, katanya buat cari informasi, biar ada keadilan ini itu. Padahal tidurnya di hotel. Kalau sudah di hotel, lalu apa lagi, jika bukan untuk jual diri.” (hlm. 110.)

Tapi, akhir pekan kedua bulan Oktober 2017, terdengar suara perempuan dari balik corong pengeras suara meunasah menyampaikan sebuah pengumuman dengan begitu lantang.

“Ibu-ibu, bapak-bapak, ini dokumen informasi yang kami minta ke pemerintah dulu sudah kami bawa pulang hari ini. Semuanya sudah ada pada kami. Siapa saja yang dulu tidak percaya, yang bilang kami jual diri ke Banda Aceh, juga kepada semua warga desa, boleh pergi ke meunasah untuk melihatnya bersama.” (hlm. 151).

Di akhir cerita, buku ini menjelaskan beberapa keberhasilan yang diperoleh oleh para perempuan di lima kabupaten tersebut. Tetapi, ada dua perempuan yang mengundurkan bahkan tidak menyelesaikan perjuangannya “merebut” informasi karena himpitan dan tekanan yang mereka alami. Sehingga dengan berat hati mereka menyudahinya sampai di sini.

Tapi, kita tidak tahu tentang perasaan mereka sesungguhnya. Kemungkinan mereka sangat ingin memperjuangkan ini hingga selesai dan ingin terus tampil menyuarakan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di desa mereka. Keputusan pahit tetap harus ditentukan. Kacimah dan Aisyah, bagi saya sebagai seorang pembaca, tetaplah perempuan hebat. Tidak mengurangi sedikit pun kekaguman saya saat mereka berdua tidak lagi tergabung di komunitas perempuan yang didampingi oleh MaTA.


***


Membaca buku Ketika Perempuan Merebut Informasi berhasil mengetuk perasaan saya. Membuka mata untuk terus menempa diri dan berproses menjadi perempuan tangguh. Baik untuk dirinya sendiri maupun tangguh saat tampil di luar. Lalu, datang lagi pertanyaan di benak saya, “apa yang bisa saya lakukan selain memikirkan perut sendiri?” “apa yang bisa saya berikan untuk makhluk lain?” Entahlah.


(Dibaca tepat saat Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan DPR dan kawan-kawannya enam hari yang lalu.)

Dampak Pandemi Bagi Keberlangsungan Hidup Petani Perempuan

Dok. KPPSWD

 Masa pandemi Covid 19 belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Angka pasien positif Covid 19 di Indonesia telah mencapai 236.519 orang dan angka kematian sebanyak 9.336 orang (worldometers 18/9), tertinggi kedua di Asia setelah India.  Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, wabah pandemi Corona baru adalah jenis bencana yang pengaruhnya akan berlangsung jauh di masa depan (kontan.co.id).

Secara tidak langsung wabah pandemi ini juga telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat, khususnya di perkotaan. Kewajiban untuk menjaga stamina tubuh agar tidak mudah terpapar virus Covid 19 menyebabkan kebutuhan untuk mengonsumsi sayuran semakin tinggi.  

Sehingga menyebabkan sebagian masyarakat perkotaan memilih untuk menanam sendiri dengan memanfaatkan lahan yang terbatas. Sehingga, urban farming menjadi pilihan mereka untuk memenuhi kebutuhan sayuran tanpa harus membeli dari pasar atau pun langsung.

Di satu sisi, gerakan urban farming merupakan langkah yang dianggap strategis untuk menyikapi isu ketahanan pangan. Berbagai peristiwa alam seperti perubahan iklim, bencana alam, hingga pandemi Covid 19 menuntut manusia untuk melakukan upaya mitigasi secepat mungkin. Dilansir dari transformasi.org, hal ini disebabkan  sebelum adanya pandemi Covid-19, faktor utama terjadinya krisis pangan dunia adalah konflik, ganguan iklim, dan turbulensi perekonomian. Ancaman dari masa depan yang belum pasti perlu untuk diantisipasi. The World Economic Forum menyatakan bahwa pada tahun 2050, populasi global diprediksi akan mencapai 9,8 miliar jiwa sedangkan permintaan pasokan pangan lebih tinggi 60% daripada saat ini.

Menurut Litbang Pertanian sebagaimana dikutip dari kompas.com, urban farming (pertanian perkotaan) merupakan kegiatan pemanfaatan lahan untuk memproduksi hasil pertanian di wilayah perkotaan yang dapat dikembangkan dengan teknik Vertikultur, Hidroponik, Aquaponik, Vertiminaponik, dan wall gardening. Pertanian dengan lahan sempit di perkotaan diyakini dapat menjadi solusi permasalahan pangan akibat dari turunnya jumlah petani, urbanisasi, dan keterbatasan lahan.

 Namun, di tengah gencarnya tren urban farming yang dilakukan oleh masyarakat di perkotaan, sejumlah petani di masa pandemi ini sedang mengalami keterpurukan. Terjadinya fluktuasi harga komoditi sayur, menjadi penyebab sejumlah petani tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Sayuran memang produk pertanian yang tidak bertahan lama, tetapi sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk  pemenuhan gizi. Permintaan sayuran pada umumnya bersifat inelastic yang menyebabkan harga sayur tidak menentu. ada kalanya harga bisa melambung tinggi namun adakalanya harga sayur bisa turun drastis. Fluktuasi harga inilah yang hingga hari ini belum terselesaikan.

Tentunya, permasalahan ini sangat berdampak terhadap keberlangsungan hidup para petani, khususnya petani perempuan. Isu gender dalam bidang pertanian, berkaitan erat dengan pembagian kerja yang tidak seimbang, status pekerjaan yang tidak jelas, dan beban-beban lainnya yang membuat perempuan mengalami ketidakadilan.

Sebagaimana yang dialami oleh sejumlah petani perempuan di desa Sumber Bening, Kecamatan Selupu Rejang, yang membiarkan hasil panennya terbengkalai begitu saja di lahan pertaniannya. Turunnya harga sayur menyebabkan mereka enggan untuk mengurus segala kebutuhan panen, seperti anggaran untuk ongkos ojek dan keranjang sayur. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Mursilah (43) yang juga sebagai anggota KPPL (Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan) Sumber Jaya yang sedang panen sayur kol bulat sebanyak 8 ton tetapi harga kol masih berkisar 400 rupiah dari petani.

“Kalau memang tidak laku karena harga tidak kunjung naik ya ditimbun saja dengan tanah untuk pupuk. Nanti di atasnya ditanam dengan tanaman baru.”Ujarnya saat ditemui penulis dikediamannya (17/9).

Sudah sejak dahulu, perempuan memiliki banyak peran yang lebih berat ketimbang laki-laki. Ketika mengalami keterpurukan semacam ini, petani perempuan semakin didesak untuk mengatur keuangan sebaik mungkin.

“Pikiran saya lagi malas dan tidak bersemangat untuk pergi ke ladang melihat harga sayur yang murah seperti ini. Saya juga sebagai perempuan yang mengatur keuangan sangat dipusingkan untuk mengatur segala kebutuhan sehari-hari.”

Begitulah ungkapan lirih petani perempuan lainnya yang sama-sama aktif di KPPL Sumber Jaya, Ibu Sujirah (47), di sela aktivitas memasaknya pagi kemarin (17/9). Saat ini ibu Sujirah panen sayur sawi bola sekitar 1 ton. Biasanya, beliau akan memperoleh uang sebanyak dua juta dengan harga normal sekitar 2.000-4000 rupiah. Tapi, hari ini sawi bola hanya dihargai 200 rupiah saja. Tentu ini sangat merugikan ibu Sujirah dan modal perawatan tidak kembali. Sehingga beliau pun harus mencari modal baru untuk menanam sayuran lagi.

“Kita tidak sendiri. Menjadi petani ya harus tetap menanam lagi. Modalnya bisa dicari melalui usaha sampingan keranjang bambu atau pun bekerja sebagai buruh tani.” Tambah Ibu Sujirah.

Fluktuasi harga komoditi sayur menurut Bapak Adi Taatno (57) yang kesehariannya bekerja sebagai pengepul sayuran, dipengaruhi oleh wabah pandemi Covid 19. Setidaknya dampak pandemi dimulai sejak bulai Mei dan hingga hari ini masih terus mengalami penurunan harga sayur.

“Pengaruh murah ini bisa jadi yang pertama, karena Corona. Kedua, karena daya beli yang berkurang. Untuk mengirim ke sana juga ditekan harganya karena sepi pembeli. Kebanyakan yang beli sayuran adalah orang yang mengadakan acara hajatan. Karena Corona, hajatan dilarang jadi pengaruh juga. Harga murah ini di mulai sekitar bulai Mei hingga sekarang terus menurun. Kemarin masih bisa beli daun bawang dari petani 2.500 rupiah sampai besok tidak bisa lagi beli dengan harga segitu.” Terang Bapak Adi Taatno (17/9).

Ada tiga faktor utama penyebab terjadinya fluktuasi harga komoditi sayur, sebagaimana diungkapkan oleh Tuti Tutuarimah, S.TP, M.Si dari akademisi UNIB. Pertama, pola tanam petani yang terkadang masih menanam jenis sayuran yang sama (serentak) saat harga komoditi sayur mahal. Sehingga saat panen yang juga serentak, maka hukum pasar akan bermain (supply meningkat, harga akan turun, sementara permintaan tetap). Kedua, pola pemasaran yang umumnya petani hanya menjual komoditi sayur segar ke pengepul. Petani belum mencoba untuk melakukan penjualan langsung ke konsumen. Rantai distribusi terlalu panjang, sementara di setiap titik rantai akan mengambil margin. Petanilah yang paling kecil mendapatkan itu. Ketiga, untuk mengantisipasi over produksi, maka teknologi pengolahan juga bisa menjadi alternative, jika komoditi segar tidak terserap pasar.

Selain menghadapi fluktuasi harga komoditi sayur, perlunya akses informasi terhadap perkembangan pertanian dan pangan sangat dibutuhkan. Pada kenyataannya juga, peran perempuan dalam pertanian sangat besar. Sebagian besar aktivitas pertanian selalu melibatkan perempuan, mulai dari menyiapkan bibit, penanaman, perawatan, hingga memasuki masa panen. Dengan demikian peningkatan kapasitas petani perempuan sangat diperlukan.

 Budaya masyarakat yang masih menganggap  perempuan tidak memiliki nilai tawar dalam kehidupan sosial menjadi hambatan tersendiri dalam penyebarluasan informasi dalam rangka peningkatan ilmu pengetahuan terhadap petani perempuan dalam sektor tersebut. Padahal ini sangat penting sebagai upaya peningkatan kapasitas perempuan sebagai bagian utama dari SDM sektor pertanian.

Informasi urban farming harus diketahui oleh petani perempuan di desa untuk menjadi pertimbangan dalam mengelola hasil panen ke depannya. Bagaimana pun juga, kelebihan-kelebihan urban farming menjadi semacam tantangan sekaligus ancaman bagi keberlanjutan tanaman-tanaman yang dihasilkan dari pertanian perempuan di desa.

Maraknya gerakan urban farming tidak menjadikan petani perempuan tetap diam dan tidak melakukan pergerakan ke arah yang lebih baik. Tetapi, harus ada upaya inovasi untuk menyeimbanginya. Tuti Tutuarima, S.TP, M.Si juga menambahkan sebuah inovasi penanganan pasca panen. Bisa melalui penanganan bahan segar dengan penyimpanan suhu rendah atau melalui pengolahan. Seperti tomat yang bisa diolah menjadi saus atau manisan. Sayuran hijau bisa diolah menjadi berbagai olahan, mie atau stik sayur.

Cara-cara penanganan pasca panen ini pun harus diketahui oleh petani perempuan dan membentuk kesadaran masing-masing perempuan untuk mulai berinovasi. Peran pemerintah sangat diharapkan untuk memudahkan  upaya ini. Ibu Sujirah menuturkan harapannya sebagai berikut:

“Itu bagus juga, tapi harus ada fasilitas dari pemerintah. Kalau hanya kita sendiri  pasti tidak tahu, caranya gimana, cara pendistribusiannya, dan modal pengelolaannya harus dipikirkan juga. Harus ada pendamping untuk mengajari pengelolaan ini.”

Upaya ini tentu bisa diwujudkan melalui bantuan pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Pengembangan dan inovasi sektor pertanian tentunya akan membawa dampak yang besar terhadap optimalisasi sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian Indonesia.

Pengembangan aspek SDM dalam sektor pertanian menjadi kunci dalam pembangunan pertanian dalam jangka panjang. Data Bappenas (2006) menunjukkan bahwa rendahnya kualitas SDM pertanian seiring dengan rendahnya tingkat produktivitas sektor pertanian. Kondisi tersebut membawa dampak lebih luas pada kemampuan sektor pertanian untuk mengembangkan berbagai inovasi yang mengarah pada peningkatan produktivitas pertanian (Jurnal Maksipreneur. 2013).

Menurut Linda Gumelar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada beberapa isu perempuan di bidang pertanian yang masih perlu diperjuangkan, di antaranya memastikan akses yang setara untuk perempuan dan laki-laki terhadap informasi permodalan dan pemanfaatan sarana dan prasarana pertanian. Selain itu, mengupayakan  peningkatan keterampilan perempuan melalui pengenalan teknologi baru yang efektif dan terjangkau serta membantu perempuan maupun laki-laki memahami pola tanam dan produksi pertanian (suarapembaruan.com).

Akses perempuan desa terhadap media massa dan kontak-kontak dengan perempuan kota, posisi ekonomi perempuan yang bertambah kuat, serta sebagai penghasil dan pengolah bahan pangan untuk pasar domestik akan menjadi perubahan dalam posisi perempuan di banyak daerah pedesaan(Coen Reijntjes, dkk.  1992). Pengaruh perempuan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan bisa mengakibatkan meningkatnya perhatian dalam inisiatif pembangunan budi daya tanaman pangan dan bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yang berkelanjutan.