Belajar Membaca Keberagaman di SCPK

Saat sedang melaksanakan kegiatan KKN di Dhamasraya, saya ikut program Short Course Pengelolaan Keberagaman (SCPK) angkatan pertama selama tiga hari di Bukittinggi bersama Kak Silmi, Kak Ain, dan Zikra.

Pengalaman SCPK ini pengalaman yang sangat berkesan selama kuliah. Bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang hebat dengan pemikiran luas mengenai toleransi dan keberagaman, selalu membuat speechless. Kagum pake banget. Mereka diantaranya ada Pak Zainal Bagir, Pak Trisno, Pak Jamek dan Pak Darto yang super ramah dan penuh lawak. Jadilah, homestay yang dingin itu jadi hangat karena banyak suara tawa.

Kegiatan dimulai dari pagi hingga malam hari dengan materi-materi berkelas yang sulit saya pahami. Heheh. Pembahasan soal-soal ketimpangan, bagaimana minoritas selalu mengalami diskriminasi baik itu muslim maupun non muslim. Misalnya saja, Muslim Rohingya.

Ada suatu pernyataan dari pemantik yang masih saya ingat, “kalau bikini tidak boleh di pantai Padang, maka burkini tidak boleh di Perancis.”

Bikini tentu tidak diperbolehkan di ranah Minang, karena masyarakat Minangkabau berprinsip pada Adat Basandi Syarak. Syarak Basandi Kitabullah. Sedangkan di Perancis dengan umat muslim yang sangat minoritas, pemerintahnya melarang mereka pergi ke pantai dengan memakai baju renang muslimah atau burkini.

Diskusi ini sepertinya tidak ada jawaban. Karena masing-masing pasti punya argumennya sendiri. Hingga akhirnya ditutup dengan nobar film Bajau. Film dokumenter ini menggambarkan bagaimana Islam dan adat istiadat di sana hidup berdampingan dengan selaras.

Dihari puncak, saya dan teman-teman mengunjungi sebuah wihara di Bukittinggi. Terletak di tengah-tengah toko dan tepat berada di lantai dua. Di lantai bawah, dibuka ruang diskusi. Saya sempat terenyuh saat seorang cece menceritakan pengalaman ‘diskriminasi’ yang pernah ia alami sebagai keturunan Cina dan keyakinan yang ia anut. []

“Esensi Islam adalah keesaan Tuhan dan universalitas kemanusiaan.” (Syed Hussein Nasr).