Angdes dan Jejak Bisu Kita

Ini adalah angkutan desa yang paling andal untuk berangkat dan pulang sekolah. Juga menjadi alat transportasi untuk pergi kemana-mana sebelum akhirnya bisa mengendarai motor sendiri.

Angdes yang titik awalnya di Lubuk Linggau menjadi angdes favorit di pagi hari. Karena mamang supir terbiasa membawa mobilnya secepat kilat dengan cukup lihai. Dibanding angdes yang titik awalnya di Simpang Bukit Kaba. Perbandingan keduanya bisa selisih 5 sampai 10 menit.

Lumayan kan?

Semakin hari, penumpang angdes semakin sepi. Kecuali pagi hari atau jam pulang anak sekolah. Kita tahu, sudah jarang orang mau naik angdes. Sudah dibabat habis dengan roda dua. Termasuk saya. Tapi, alasan saya adalah mengendarai motor lebih menghemat pengeluaran. Saya harus mengeluarkan uang 20 ribu (pulang pergi) jika naik angdes ke tempat kerja. Karena saya juga harus nyambung naik ojek agar sampai di lokasi. Lumayan, sebulan bisa 600 ribu. Hihih.

Angdes ini adalah angkutan masa lalu, masa sekarang, juga masa depan. Punya kenangan tersendiri saat masih duduk di bangku sekolah. Mamang supir dengan para penumpang dibatasi dengan kaca (jendela) dan di sebelah mamang supir ada satu kursi yang bisa diduduki oleh 1 atau 2 penumpang. Biasanya, kalo zaman sekolah dulu, diisi oleh anak laki-laki.

Nah, saat beberapa hari menjadi siswi SMP, saya melihat seorang anak laki-laki bersama temannya duduk di sana. Sesekali saya juga meliriknya melalui kaca spion. Tapi, tidak berlangsung lama karena ia lebih dulu keluar dari angdes. Waktu itu, saya bergumam dalam hati,

“oh ternyata kita satu sekolah.”

Jejak penasaran dengan dia itu masih terasa hingga dewasa ini. Huft. Tentu ini bukan alur cerita fiksi yang dipastikan berujung bahagia.

Ststs. Sudah.

Pake rumus kehidupan, “Jika yang terbaik, maka dipertemukan. Jika terbaik tidak berimbang, maka berusahalah di sepertiga malam. Jika tidak didekatkan, maka lanjutkanlah roda kehidupan (bersama orang lain).” []

—–
Poto, 17 April 2022 (sehat-sehat ya pak. Semoga rezeki kita selalu dicukupkan oleh Allah. Aamiin)
—–

Curupers

Ada satu perasaan yang tiba-tiba nyees di hati. Saat pulang dari rumah Icaa setahun yang lalu. Hari itu kami menghabiskan waktu berdua cukup lama. Beberapa hal diobrolkan hingga ke ranah pribadi yang selama ini tidak saya tahu sama sekali sejak berteman dengan Ica di awal kuliah.

Takut kehilangan. Perasaan itu tiba-tiba menjalari diri. Karena tidak lama kemudian Ica akan kembali lagi ke Padang. Padahal belum tentu kalau kami masih sekampung, akan lebih sering bertemu. Tapi, perasaan sedih itu tidak bisa dibohongi. Entahlah.

Perasaan itu pun timbul kembali. Saat baru-baru ini kami menghabiskan waktu bersama hingga pulang larut senja. Sebelum tidur, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Tentang pertemuan ini. Yup. Kadang, untuk beberapa hal (saya) mudah sekali baper. Mudah terenyuh. Mudah takut (kehilangan) teman yang akan pergi. Padahal, kan masih bisa bertemu atau berhubungan via pesan elektronik.

Pun, andai bertemu setiap hari, apakah bisa memiliki perasaan seperti ini? Pasti akan ada cekcok, selisih paham, dan hal lainnya sebagai bumbu-bumbu pertemanan.

Hem.

𝑱𝒂𝒖𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒋𝒆𝒅𝒂. 𝑱𝒆𝒅𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒏𝒊𝒂 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊. 𝑳𝒂𝒍𝒖 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒖𝒌𝒂𝒓 𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒌𝒆 𝒉𝒂𝒕𝒊.

See you next time, Ummi Icaa. Sehat-sehat dan semoga selalu dipenuhi cinta dan kesabaran di Padang Panjang. []

—–
Poto, 4 Januari 2023
—–

Bersama Perempuan Hebat dengan Pengalaman Berharga

30 Juni 2020, saat suasana pandemi Covid-19 sedang hangat-hangatnya. Saya dan teman-teman (Sinta dan sepupunya, Dian, Puput, Ikke) mengadakan pertemuan dengan orang-orang hebat di Balai Desa Karang Jaya. Kami diajak untuk membuat komunitas yang diisi oleh para perempuan dengan kegiatan tulis-menulis seputar lingkungan.

Panjang waktu mendiskusikan nama komunitas baru itu. Tapi, akhirnya, disepakati kami akan melanjutkan komunitas yang sempat vakum yang dirintis oleh Mbak Intan dkk. Kami melanjutkan yang sudah ada dengan beberapa anggota baru seperti kami. Nama komunitas itu, Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia atau disingkat KPPSWD.

Jujurly, saat itu bahagia sekali bergabung dengan mereka. Orang-orang hebat seperti Mbak Intan, Bang Dedek, dan Bang Harry dengan ilmu menulis dan sepak terjang pergerakannya dalam menebar manfaat untuk sekitar. Alam dan perempuan. Kebanggaan tersendiri pernah mengenal, bercengkerama, diajarkan ilmu menulis, diajak membaca problem perempuan hubungannya dengan pengelolaan alam.

Seiring waktu, banyak agenda yang diikuti bersama mereka. Sesekali ke Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) untuk pengukuran lahan yang boleh diolah oleh ibuk² KPPL. Sering juga kami pergi ke Hutan Madapi di Pal 8. Berinteraksi bersama perempuan-perempuan hebat. Lalu, malam harinya, pusing bagaimana mengolah data dan hasil wawancara kami menjadi sebuah tulisan ciamik.

Soal menulis, saya jatuh bangun mengatur semangat dalam diri. Tulisan saya berulang kali harus direvisi. Melakukan wawancara ulang dan kekurangan bahan. Disitulah saya berpikir saya tidak berbakat menulis. Selain menulis catatan harian tanpa kaedah. Wkwk.

6 bulan di KPPSWD, dan akhirnya beranjak pergi karena memilih untuk beralih. Belajar di sekolah ‘Aisyiyah bersama anak-anak. Tapi, meskipun begitu,  sangat bersyukur telah diberi pengalaman berharga dari KPPSWD di saat pandemi. Sosok Mbak Betty, founder media non profit “Bincang Perempuan” salah satu sosok perempuan super hebat yang saya kagumi pergerakannya diam-diam. []

—–
Poto, paruh akhir 2020
—–

Overthinking

Suatu hari, membaca pesan WA dari seseorang. Jlep! Mendadak hati menjadi panas. Bukan panas hendak marah. Tapi ingin menangis sejadi-jadinya. Langsung badmood dan tubuh lemas tidak bersemangat. Akhirnya, meminta seorang teman membaca pesan itu.

Ternyata, isi pesan WA itu dimaknai berbeda antara saya dengan teman saya. Sudut pandang kami berbeda. Teman saya dengan segala positive thinking-nya. Dan saya dengan segala pikiran buruk yang berakhir dengan kepanikan.

Pernah menghubungi seseorang melalui pesan WA, tapi hanya dibaca saja. Pernah coba-coba rusuh di grup WA agar tidak sepi, tapi tidak ditanggapi. Lalu, berujung overthinking dan merasa diri tidak dihargai. Duh. Rumit. Padahal, setiap orang punya kesibukan masing-masing lho. Tidak hanya berkutat perkara balas-balasan WA. Ya Allaah, harus banyak-banyak istighfar untuk diri sendiri.

Pernah juga, saat berjumpa dengan seseorang ia menyuguhkan sikap cuek atau ketika sedang menimpali candaan saya malah diacuhkan. Lagi-lagi overthinking, “sepertinya beliau tidak suka dengan saya.”

Padahal, bisa jadi ia banyak pikiran hingga terbawa saat berjumpa dengan saya. Bisa jadi ia tidak mendengar candaan saya yang bersuara pelan ini. Ah, saya sudah kadung menyimpulkan hal buruk untuk diri  sendiri.

Huft. Overthinking kerap terjadi dan sulit dihilangkan. Memperumit perasaan. Juga melelahkan badan. Padahal apa yang saya pikirkan belum tentu begitu adanya. Belum tentu terjadi. Belum tentu semua orang akan membenci apa yang saya lakukan. Belum tentu mereka akan mencemooh. Toh, kalau pun dicemooh, hidup mana yang semua akan disukai banyak orang? Hidup apa kata orang?

Yang tidak bisa kita kendalikan atas orang lain adalah persepsi mereka kepada kita. Hari ini mungkin kita dibanjiri pujian, bisa jadi suatu hari saat kita melakukan secuil kesalahan mereka datang dengan segudang cacian.

Please, kurang-kurangi overthinking. Bukankah hidup ini fana dan absurd. Jadi, apa yang perlu dikhawatirkan selain amal kebaikan di hadapan Tuhan?

—–
Poto, 26 Mei 2019
—-
#30haribercerita

Belajar Membaca Keberagaman di SCPK

Saat sedang melaksanakan kegiatan KKN di Dhamasraya, saya ikut program Short Course Pengelolaan Keberagaman (SCPK) angkatan pertama selama tiga hari di Bukittinggi bersama Kak Silmi, Kak Ain, dan Zikra.

Pengalaman SCPK ini pengalaman yang sangat berkesan selama kuliah. Bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang hebat dengan pemikiran luas mengenai toleransi dan keberagaman, selalu membuat speechless. Kagum pake banget. Mereka diantaranya ada Pak Zainal Bagir, Pak Trisno, Pak Jamek dan Pak Darto yang super ramah dan penuh lawak. Jadilah, homestay yang dingin itu jadi hangat karena banyak suara tawa.

Kegiatan dimulai dari pagi hingga malam hari dengan materi-materi berkelas yang sulit saya pahami. Heheh. Pembahasan soal-soal ketimpangan, bagaimana minoritas selalu mengalami diskriminasi baik itu muslim maupun non muslim. Misalnya saja, Muslim Rohingya.

Ada suatu pernyataan dari pemantik yang masih saya ingat, “kalau bikini tidak boleh di pantai Padang, maka burkini tidak boleh di Perancis.”

Bikini tentu tidak diperbolehkan di ranah Minang, karena masyarakat Minangkabau berprinsip pada Adat Basandi Syarak. Syarak Basandi Kitabullah. Sedangkan di Perancis dengan umat muslim yang sangat minoritas, pemerintahnya melarang mereka pergi ke pantai dengan memakai baju renang muslimah atau burkini.

Diskusi ini sepertinya tidak ada jawaban. Karena masing-masing pasti punya argumennya sendiri. Hingga akhirnya ditutup dengan nobar film Bajau. Film dokumenter ini menggambarkan bagaimana Islam dan adat istiadat di sana hidup berdampingan dengan selaras.

Dihari puncak, saya dan teman-teman mengunjungi sebuah wihara di Bukittinggi. Terletak di tengah-tengah toko dan tepat berada di lantai dua. Di lantai bawah, dibuka ruang diskusi. Saya sempat terenyuh saat seorang cece menceritakan pengalaman ‘diskriminasi’ yang pernah ia alami sebagai keturunan Cina dan keyakinan yang ia anut. []

“Esensi Islam adalah keesaan Tuhan dan universalitas kemanusiaan.” (Syed Hussein Nasr).