(Review Buku) 60 Hadits Shahih

Dok. Pribadi

“Buku ini disimpen baik-baik loh. Jika pas tepat ketemu waktunya, bolehlah pinjemin seseorang. Untuk bareng-bareng didiskusikan. Apalagi saat udah komit untuk menganut prinsip Mubaadalah. Eh.”

Akhir Desember 2020, dengan bismillah dan penuh keyakinan memberanikan diri untuk ikut challenge menulis selama 30 hari di bulan Januari. Kegiatan ini diadakan oleh Icontentcreator yang bekerja sama dengan Mubadalah.id dan Bonels.id. Lima hari pertama begitu antusias menggali kenangan sebagai bahan untuk menulis. Lima hari selanjutnya mulai keteteran hingga akhirnya stop menulis di hari ke sebelas. Duh, saya gagal mengatur waktu. Sebenarnya, tidak ada istilah tidak punya waktu untuk menulis. Kita bisa memberi waktu khusus di jam tertentu untuk menulis. Barang sejam sekali pun. Semoga untuk ke depannya saya bisa untuk lebih konsisten lagi. Fardhu ‘ain, untuk saya! Apalagi tulisan saya masih amatiran seperti ini. Hiks.


Ternyata, awal Februari 2021 masuk sebuah DM dari icontentcreator bahwa tulisan saya di hari kedua yang berjudul Keuangan: Sepenggal Kenangan Hidup di Perantauan menjadi bagian dari winnernya. Terharu sekali, untuk pertama kalinya memperoleh hadiah buku dari kegiatan menulis seperti ini. Hingga akhirnya, 11 Maret 2021 datang abang paket mengantar sebuah buku berjudul 60 Hadits Shahih yang ditulis oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.


Lagi dan lagi, membaca buku ini pun memakan waktu berminggu-minggu. Banyak jedanya. Sampai akhirnya, awal April ini harus posting review buku lagi di Ruang Bercerita. Kan, sedih kalau ruangan ini sepi tanpa ada tulisan setiap bulannya. Dengan tertatih-tatih, bukunya selesai dibaca. Lalu, bagaimana perasaan saya setelah membaca buku ini?

“Buku ini disimpen baik-baik loh. Jika pas tepat ketemu waktunya, bolehlah pinjemin seseorang. Untuk bareng-bareng didiskusikan. Apalagi saat udah komit untuk menganut prinsip Mubaadalah. Eh.”


Jangan tertawa, membaca feedback dari saya ini. Hihih.


60 Hadist Shahih adalah sebuah buku yang mengulas secara khusus tentang hak-hak perempuan dalam Islam dengan dilengkapi penafsirannya. Ditulis oleh Kang Faqih (demikian beliau disapa sehari-harinya) yang terinspirasi dari karya besar Syekh Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr ar-Risalah (Pembebasan Perempuan pada Masa Kenabian).

Buku beliau ini ditulis secara sederhana dengan penjabaran yang singkat tapi jelas padat. Agar pesan yang ingin disampaikan dapat dengan mudah dipahami oleh para pemula yang ingin mengenal hadits-hadits utama dalam membaca isu-isu relasi antara laki-laki dan perempuan.


Mengingat, selama ini, jamak orang hanya mengenal hadits-hadits tentang perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk, perempuan adalah fitnah bagi laki-laki, mereka adalah penghui neraka paling banyak. Atau tentang perempuan yang kurang agama, kurang akal, harus taat suami, dan hal-hal yang menitikberatkan perempuan akan kewajiban mereka untuk melayani suami.


Kang faqih ingin melalui buku kecil ini kita bisa mengenali sikap Islam sesungguhnya terhadap perempuan dari teks sumber yang otoritatif. Bahwa perempuan –posisi dan perannya– adalah sebagai manusia utuh yang setara dengan laki-laki. Relasi antar mereka didasarkan pada prinsip Mubaadalah (kesalingan) yang digambarkan oleh al-Quran. Saling tolong-menolong dan menopang (Q.S. at-Taubah:71), saling melindungi dan melengkapi (Q.S. al-Baqarah: 187), dan saling berbuat baik (Q.S. an-Nisaa:19).


Ada banyak hadits-hadits shahih yang juga sering dipahami bias gender. Tapi, menurut Dra. Hj. Badriyah Fayumi, Lc., MA, hadits-hadits tersebut bisa dimaknai secara lebih tepat dan proporsional setelah digali asbabun nuzul dan konteks sosio-historisnya, lalu disandingkan dengan ayat-ayat al-Quran. Melalui 60 Hadits Shahih ini kita banyak belajar dan membuka cakrawala baru tentang perempuan. Bahwa yang selama ini kita ketahui dan terkesan memberatkan perempuan ternyata tidak seperti itu loh. Islam itu rahmatallil’alamin, Allah tidak pernah mencintai manusia secara sepihak. Namun, mencintai seluruhnya, laki-laki dan perempuan.

Maka, buku kang Faqih ini wajib dibaca dan dipahami, disebarluaskan dan dijadikan pedoman, karena menurut Ibu Badriyah Fayumi, ada lima alasannya:


Pertama, hadits-hadits shahih yang ditulis di sini menjelaskan wajah Islam yang ramah dan adil kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, buku ini mengimplementasikan sabda Nabi Muhammad SAW, “ballighuu ‘annii walau ‘ayah” (sampaikan dariku walaupun satu ayat/hadits). Ketiga, Kang Faqih menggunakan metode qiraah mubaadalah. Keempat, 60 hadits shahih ini cukup bisa menjadi dalil untuk mematahkan klaim bahwa Islam tidak ramah kepada perempuan. Terakhir, hadits-hadits dalam buku ini bisa menjadi pedoman untuk membangun relasi yang adil gender sesuai tuntunan Rasullah SAW.


Bagi saya sendiri, buku ini menjadi salah satu buku yang wajib dibaca oleh laki-laki yang ingin serius menjalin ‘hubungan’ dengan saya (Hehhe, laki-laki yang batang hidungnya belum diwujudkan ke alam nyata oleh Allah). Bersama-sama belajar mendongkrak patriarki yang memberatkan perempuan juga laki-laki itu sendiri.

Ada beberapa hadits yang ingin saya selipkan di sini, sayang kalau terlewatkan begitu saja.


Abu Hurairah Ra. Menyampaikan bahwa ada seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW, “siapakah orang yang paling berhak aku layani dan temani?” Rasulullah SAW menjawab, “ibumu.” “Lalu, siapa lagi?” “Ibumu.” “Terus, siapa?” “ibumu.” “Setelah itu siapa?” “Kemudian, ayahmu.” (Shahih Muslim).

Hadits ini memberi pengakuan dan penghargaan terhadap peran domestik dan reproduktif perempuan yang sering sekali diabaikan kebanyakan orang. Perempuan sering diabaikan sendiri dalam menjalankan perannya, tanpa ada dukungan yang cukup dari keluarga, masyarakat, dan khususnya negara. Dukungan terhadap perempuan sebagai ibu tidak cukup hanya berupa pujian atau ucapan manis saat peringatan hari ibu. Tetapi, harus bentuk riil; membantu berbagi kerja, memberi makanan yang bergizi, mendidik dan memberdayakan perempuan, mengalokasikan anggaran kesehatan untuk perempuan, serta cuti kerja untuk reproduksi. (Hlm. 67).


Ummu Salamah Ra bertanya kepada Rasulullah SAW, “wahai rasulullah, aku tidak mendengar Allah mengapresiasi hijrah para perempuan.” Kemudian, Allah menurunkan ayat, “bahwa sesungguhnya Aku tidak akan membuang-buang apa yang diperbuat setiap orang di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian kamu dari sebagian yang lain.” (Sunan at-Tirmidzi).

Hadits Ummu Salamah ini hanya salah satu dari catatan-catatan kegelisahan perempuan masa awal Islam terhadap al-Quran yang secara literal tidak menyebut kiprah perempuan dalam hal hijrah dan jihad. Karena, sebagimana yang diketahui, ayat-ayat mengenai hal ini terkesan tidak memasukkan perempuan, sebab bahasa Arab menggunakan struktur bahasa laki-laki (mudzakkar). Hingga pada akhirnya Allah menurunkan ayat yang menegaskan bahwa setiap amal baik tidak mengenal jenis kelamin. Ia akan memperoleh apresiasi dan balasan dari Allah SWT. Baik di ranah publik maupun di ranah domestik. Serta menjadi tugas bersama untuk mewujudkan sistem sosial yang mengapresiasi kerja-kerja siapun secara nyata, laki-laki maupun perempuan sesuai prinsip meritokrasi dalam Islam. (Hlm. 108-110).


Masih ada 58 hadits lagi yang menjelaskan bahwa Allah Maha Baik dan Islam adalah agama yang sangat memuliakan perempuan. Sekarang, mari jadikan hadits yang sudah disampaikan ini sebagai penguat untuk tampil percaya diri menjadi perempuan.


Dalam urusan pernikahan, buku ini sangat penting untuk menjadi rujukan. Modal awal untuk melangkah ke jenjang itu. Tidak cukup modal nikah hanya menyajikan cinta, karena cinta yang tidak dirawat dan tidak dilandasi oleh ajaran Islam (yang berprinsip Mubaadalah), tidak akan sampai pada keberkahan dari menyempurnakan separuh iman itu.

***

Andaikan Semua Perempuan Kompak Lawan Candaan Seksis

Pernah gak sih mendengar celetukan teman-teman kita, apalagi teman lelaki yang terkadang melecehkan perempuan? Seperti di kelas misalnya, seharusnya menjadi tempat kedua paling nyaman  setelah kamar kos. Tapi, ternyata ruang belajar tidak selalu menyajikan hal-hal yang menyenangkan. Ruangan yang diisi oleh perempuan dan laki-laki itu, dan kebanyakan yang aktif nyeletuk saat belajar adalah laki-laki, ruangan itu kerap diisi oleh candaan berbau seksis. Sayangnya, banyak perempuan  belum memahami kalau kalimat yang sedang dilontarkan merendahkan kedudukan perempuan.

Candaan atau humor atau lelucon seksis adalah candaan yang tujuannya merendahkan, menghina, memberikan stereotip, memperdaya, dan menjadikan individu sebagai objek berdasarkan gender mereka. Candaan seksis juga termasuk humor penghinaan, atau disparagement humor artinya merendahkan beberapa kelompok sosial.

Contohnya ketika  presentasi makalah, dari banyak pertanyaan yang muncul  tidak sedikit menimbulkan perdebatan. Ketika perempuan berhasil menjawab pertanyaan dengan lugas, tidak segan para laki-laki itu menanggapi dengan, “perempuan selalu benar, mengalah sajalah.” Seakan-akan ini adalah senjata paling ampuh untuk mematahkan keberhasilan perempuan yang menjawab. Sikap mengalah yang ditujukan seperti sikap jiwa besar yang datang dari laki-laki super pengertian. Tidak ada yang lebih disoroti kebaikannya selain laki-laki itu sendiri.

Terkadang, Suara Perempuan Dibungkam dengan Kata-kata Manis

Saya secara pribadi memang mengalami langsung sebagai objek candaan seksis. Suara perempuan dibungkam dengan satu kalimat yang terdengar manis, tapi membunuh karakter perempuan sejak ratusan tahun lalu. Yang membuat saya lebih geleng-geleng kepala lagi ini terjadi di lingkungan akademis tempat menimba ilmu. Di mana setiap kegiatannya tidak pernah lepas dari pena dan buku.

Suatu hari, saya juga pernah menangis sesenggukan di sudut taman kampus di depan banyak laki-laki.  Peristiwa itu terjadi lantaran saya diganggu oleh seorang laki-laki yang sudah lebih dari dua semester memang selalu mengganggu saya dengan perilaku aneh-aneh. Mulai dari mengomentari bentuk muka saya yang bulat dan chubby, jerawat yang tumbuh besar dengan mata putihnya, sampai perkataan yang lambat saya ketahui adalah pelecehan verbal melalui gombalan-gombalan yang ia keluarkan.

Bagaimana tidak nyamannya saya di posisi ini. Saya mencoba menegurnya untuk tidak lagi mengganggu saya. Tapi semakin ditegur malah semakin menjadi-jadi. Baginya, itulah daya tarik saya yang membuat ia semakin ingin mengganggu dengan bahagia tanpa rasa bersalah.

Bahkan, Sesama Perempuan Ikutan Memaklumi Candaan Seksis

Lalu, karena saya tahu percuma saja saya menegurnya.  Saya meluapkan kekesalan saya dengan teman perempuan lain. Mungkin dengan bercerita dengan mereka segala ketidaknyamanan ini bisa diselesaikan. Tentu sebagai sesama perempuan, membicarakan hal ini akan nyambung dan sehati, bukan?

Tapi, dugaan saya kurang memuaskan. Sebagian dari mereka malah menganjurkan saya untuk memaklumi tingkah aneh yang dilakukan laki-laki itu. Karena sudah menjadi tabiat dan akan sulit menegurnya karena laki-laki itu sendiri memang tidak mau merubahnya.

Sampai di sini saya mengelus dada, bahkan sesama perempuan pun kadang sulit untuk meyediakan ruang untuk saling memahami. Beberapa teman menganggap saya perempuan baperan. Selalu memakai perasaan mudah tersinggung dan sulit diajak bercanda. Sama sekali tidak asyik untuk menghangatkan suasana agar riuh oleh canda tawa.

Loh, bagaimana mau tertawa bahagia, obyek bahan tertawaannya saya sendiri. Perempuan yang jelas-jelas dikerdilkan begitu rupa. Tentu memerahlah muka dan telinga saya menahan marah. Pada akhirnya, saya yang memang tidak bisa lama-lama marah meluapkan segala emosi itu dengan air mata. Tepat di depan banyak laki-laki.

Berminggu-minggu saya tidak lagi bersemangat pergi ke kelas. Ruang belajar begitu kelam untuk saya duduki meski sebentar. Teman-teman terasa menakutkan bagi saya. Tidak ada yang sudi mendengar bahkan membela saya secara utuh.  Jujur, saya pun sangat malu menangis seperti itu. Saya takut dianggap lemah dengan tangis berderai karena diganggu laki-laki. Takut tidak takutnya saya, ternyata perempuan memang dianggap lemah lewat air matanya. Pandangan ini belum punah meski manusia sudah hidup di abad milenium yang dipenuhi kecanggihan teknologi yang mengakses bacaan kesetaraan gender bisa dilakukan hanya hitungan jari.

Sesama Perempuan Harusnya Kompak Lawan Candaan Seksis

Berangkat dari pengalaman buruk di atas, saya mulai mencari bacaan-bacaan yang mendukung saya sebagai perempuan yang pernah mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dari laki-laki. Tidak terlepas dari bantuan seorang dosen perempuan saya, yang mengenalkan saya akan pentingnya belajar soal kesetaraan perempuan dengan laki-laki.

Dengan memanfaatkan media sosial, hari ini saya bisa banyak membaca beragam kisah perempuan dengan segala pengalaman seksisnya. Sehingga menyadarkan saya, bahwa sesama perempuan seharusnya satu rasa, sama menguatkan, bukan malah menjatuhkan di saat kaumnya merasa dilecehkan.

Sebenarnya saya tidak mau lagi mengingat hal yang -bagi saya- sangat memalukan ini. Tapi, saya percaya, dengan menulis saya bisa mengobati hal-hal traumatik itu pelan-pelan. Menyembuhkan hati dengan lebih menghargai segenap atribut perasaan sebagai  perempuan. Tindakan saya menolak perlakuaan laki-laki itu bukan baperan kok.

Memang seharusnya dilawan dan disuarakan dengan berani. Tidak ada yang harus disifati memalukan dari perempuan yang berani bicara soal ketidaknyamanan dirinya terhadap laki-laki. Ingat saja perkataan Madeleine Albright, “butuh waktu yang cukup lama untuk bersuara. Sekarang saya telah memilikinya dan saya tidak akan diam saja.”

Perempuan itu berharga, loh! Perempuan adalah subyek yang bebas menentukan perasaannya sendiri. Bukan objek tertawaan seakan-akan tanpa menertawakannya suasana akan mati loyo.

Jokes-jokes seksis sama sekali bukan cara melucu yang baik. Bukan cara menghangatkan suasana. Jika tidak bisa membuat bahan candaan yang bermartabat  lebih baik diam saja. Dari pada dilakukan malah menumbuhsuburkan pandangan patriarki yang meletakkan perempuan di ketiak laki-laki.

Tulisan ini sudah dimuat di perempuanberkisah.id pada tanggal 09 September 2020.