Tidak Menjadi Apa-apa Dulu

Poto pribadi

Sudah sejauh ini melalui bulan demi bulan tanpa duduk di bangku perkuliahan lagi. Tidak lagi duduk bersama perempuan-perempuan penggerak lingkungan. Tidak lagi bercengkerama, ngopi bersama, memadu kehangatan membicarakan berbagai hal seperti dulu. Semua sudah berbeda.

Jika menghitung banyak kesempatan yang hilang, sungguh pelik mengatur perasaan. Apa pun mimpi indah di masa kuliah, semua sudah terbentur oleh realita. Jauh rasa manis yang pernah dibayangkan. Tapi, hidup adalah proses belajar memilih arah jalan. Saya sudah memilih itu dengan sadar. Akhir Desember 2021 saya memutuskan untuk bekerja. Atau lebih tepatnya belajar untuk bekerja. Menghidupi diri seperti salah satu list impian setelah kuliah.

Disela menikmati rutinitas yang stagnan, pergi pagi pulang hampir petang itu, terkadang terselip rasa rindu. Datang begitu saja di tengah kesibukan. Ingatan masa kuliah, tumbuh dengan orang-orang yang membuka pikiran, serta tentang Padang dan segala kenangan.

Tidak mudah berdamai dengan diri sendiri. Menguatkan diri bahwa hari ini masih samar-samar akan masa depan. Belum terbuka mimpi untuk melanjutkan sekolah. (Salah satu list mimpi yang paling atas.)

Lalu, apakah harus melihat ke belakang? Tidak. Jangan setiap saat. Mungkin hal yang paling baik hari ini adalah untuk tidak menjadi apa-apa dulu. Biarlah segala mimpi diendapkan. Jika sudah datang waktunya, semoga mimpi-mimpi itu kembali hangat. Yang sudah terbentang sekarang pun harus disyukuri. Bisa menghirup udara dingin Kota Curup dengan iringan deru nafas pagi. Masih bisa melepas penat di langit-langit kamar bercat biru ini. Juga menikmati sebagian upah keringat (yang masih di bawah UMR), membantu menghangatkan dapur meski tidak banyak, dan masih banyak lagi. Atau setidaknya, bisa membeli kopi, buku, dan membeli makanan yang dibawa oleh bapak-bapak di pinggir jalan.

Alhamdulillah. Syukur, syukur, syukur sebanyak mungkin.

Tentunya, Sepuluh bulan ini, adalah dunia baru. Dunia kerja. Dengan selipan kisah-kisah yang tiap bulannyaย  berbeda-beda. Tapi tidak pernah jauh-jauh dari; jodoh, uang, teman, dan karir. Hih, jodoh? Kapan-kapan saya akan bercerita. ๐Ÿคญ

***

[Catatan Singkat] 04

Dok. Pribadi

“Emang Ummi bisa marah?” Tanya Gali setengah tertawa.
“Kok dak keluar tanduk? Hahah, aku dak takut.” Gali kembali tertawa dan menggulingkan badan di lantai.

Beberapa menit kemudian, bunyi suara halus tapi pelan. Eeh, Gali buang angin.

Belajar, ketawa, bareng-bareng. Udah berusaha serius, tapi ujungnya pasti ngikik. Gali super aktif, dan tahu cari cela untuk bikin Ummi nya gagal serius.

Lalu, Ummi mengelus kepala Gali. Sambil sholawat berulang kali.
“Besar nanti jadi manusia yang bermanfaat untuk makhluk Tuhan. Manusia dan alam.”


(Review Buku) 60 Hadits Shahih

Dok. Pribadi

โ€œBuku ini disimpen baik-baik loh. Jika pas tepat ketemu waktunya, bolehlah pinjemin seseorang. Untuk bareng-bareng didiskusikan. Apalagi saat udah komit untuk menganut prinsip Mubaadalah. Eh.โ€

Akhir Desember 2020, dengan bismillah dan penuh keyakinan memberanikan diri untuk ikut challenge menulis selama 30 hari di bulan Januari. Kegiatan ini diadakan oleh Icontentcreator yang bekerja sama dengan Mubadalah.id dan Bonels.id. Lima hari pertama begitu antusias menggali kenangan sebagai bahan untuk menulis. Lima hari selanjutnya mulai keteteran hingga akhirnya stop menulis di hari ke sebelas. Duh, saya gagal mengatur waktu. Sebenarnya, tidak ada istilah tidak punya waktu untuk menulis. Kita bisa memberi waktu khusus di jam tertentu untuk menulis. Barang sejam sekali pun. Semoga untuk ke depannya saya bisa untuk lebih konsisten lagi. Fardhu โ€˜ain, untuk saya! Apalagi tulisan saya masih amatiran seperti ini. Hiks.


Ternyata, awal Februari 2021 masuk sebuah DM dari icontentcreator bahwa tulisan saya di hari kedua yang berjudul Keuangan: Sepenggal Kenangan Hidup di Perantauan menjadi bagian dari winnernya. Terharu sekali, untuk pertama kalinya memperoleh hadiah buku dari kegiatan menulis seperti ini. Hingga akhirnya, 11 Maret 2021 datang abang paket mengantar sebuah buku berjudul 60 Hadits Shahih yang ditulis oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.


Lagi dan lagi, membaca buku ini pun memakan waktu berminggu-minggu. Banyak jedanya. Sampai akhirnya, awal April ini harus posting review buku lagi di Ruang Bercerita. Kan, sedih kalau ruangan ini sepi tanpa ada tulisan setiap bulannya. Dengan tertatih-tatih, bukunya selesai dibaca. Lalu, bagaimana perasaan saya setelah membaca buku ini?

โ€œBuku ini disimpen baik-baik loh. Jika pas tepat ketemu waktunya, bolehlah pinjemin seseorang. Untuk bareng-bareng didiskusikan. Apalagi saat udah komit untuk menganut prinsip Mubaadalah. Eh.โ€


Jangan tertawa, membaca feedback dari saya ini. Hihih.


60 Hadist Shahih adalah sebuah buku yang mengulas secara khusus tentang hak-hak perempuan dalam Islam dengan dilengkapi penafsirannya. Ditulis oleh Kang Faqih (demikian beliau disapa sehari-harinya) yang terinspirasi dari karya besar Syekh Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Marโ€™ah fi โ€˜Ashr ar-Risalah (Pembebasan Perempuan pada Masa Kenabian).

Buku beliau ini ditulis secara sederhana dengan penjabaran yang singkat tapi jelas padat. Agar pesan yang ingin disampaikan dapat dengan mudah dipahami oleh para pemula yang ingin mengenal hadits-hadits utama dalam membaca isu-isu relasi antara laki-laki dan perempuan.


Mengingat, selama ini, jamak orang hanya mengenal hadits-hadits tentang perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk, perempuan adalah fitnah bagi laki-laki, mereka adalah penghui neraka paling banyak. Atau tentang perempuan yang kurang agama, kurang akal, harus taat suami, dan hal-hal yang menitikberatkan perempuan akan kewajiban mereka untuk melayani suami.


Kang faqih ingin melalui buku kecil ini kita bisa mengenali sikap Islam sesungguhnya terhadap perempuan dari teks sumber yang otoritatif. Bahwa perempuan –posisi dan perannya– adalah sebagai manusia utuh yang setara dengan laki-laki. Relasi antar mereka didasarkan pada prinsip Mubaadalah (kesalingan) yang digambarkan oleh al-Quran. Saling tolong-menolong dan menopang (Q.S. at-Taubah:71), saling melindungi dan melengkapi (Q.S. al-Baqarah: 187), dan saling berbuat baik (Q.S. an-Nisaa:19).


Ada banyak hadits-hadits shahih yang juga sering dipahami bias gender. Tapi, menurut Dra. Hj. Badriyah Fayumi, Lc., MA, hadits-hadits tersebut bisa dimaknai secara lebih tepat dan proporsional setelah digali asbabun nuzul dan konteks sosio-historisnya, lalu disandingkan dengan ayat-ayat al-Quran. Melalui 60 Hadits Shahih ini kita banyak belajar dan membuka cakrawala baru tentang perempuan. Bahwa yang selama ini kita ketahui dan terkesan memberatkan perempuan ternyata tidak seperti itu loh. Islam itu rahmatallilโ€™alamin, Allah tidak pernah mencintai manusia secara sepihak. Namun, mencintai seluruhnya, laki-laki dan perempuan.

Maka, buku kang Faqih ini wajib dibaca dan dipahami, disebarluaskan dan dijadikan pedoman, karena menurut Ibu Badriyah Fayumi, ada lima alasannya:


Pertama, hadits-hadits shahih yang ditulis di sini menjelaskan wajah Islam yang ramah dan adil kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, buku ini mengimplementasikan sabda Nabi Muhammad SAW, โ€œballighuu โ€˜annii walau โ€˜ayahโ€ (sampaikan dariku walaupun satu ayat/hadits). Ketiga, Kang Faqih menggunakan metode qiraah mubaadalah. Keempat, 60 hadits shahih ini cukup bisa menjadi dalil untuk mematahkan klaim bahwa Islam tidak ramah kepada perempuan. Terakhir, hadits-hadits dalam buku ini bisa menjadi pedoman untuk membangun relasi yang adil gender sesuai tuntunan Rasullah SAW.


Bagi saya sendiri, buku ini menjadi salah satu buku yang wajib dibaca oleh laki-laki yang ingin serius menjalin ‘hubungan’ dengan saya (Hehhe, laki-laki yang batang hidungnya belum diwujudkan ke alam nyata oleh Allah). Bersama-sama belajar mendongkrak patriarki yang memberatkan perempuan juga laki-laki itu sendiri.

Ada beberapa hadits yang ingin saya selipkan di sini, sayang kalau terlewatkan begitu saja.


Abu Hurairah Ra. Menyampaikan bahwa ada seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW, โ€œsiapakah orang yang paling berhak aku layani dan temani?โ€ Rasulullah SAW menjawab, โ€œibumu.โ€ โ€œLalu, siapa lagi?โ€ โ€œIbumu.โ€ โ€œTerus, siapa?โ€ โ€œibumu.โ€ โ€œSetelah itu siapa?โ€ โ€œKemudian, ayahmu.โ€ (Shahih Muslim).

Hadits ini memberi pengakuan dan penghargaan terhadap peran domestik dan reproduktif perempuan yang sering sekali diabaikan kebanyakan orang. Perempuan sering diabaikan sendiri dalam menjalankan perannya, tanpa ada dukungan yang cukup dari keluarga, masyarakat, dan khususnya negara. Dukungan terhadap perempuan sebagai ibu tidak cukup hanya berupa pujian atau ucapan manis saat peringatan hari ibu. Tetapi, harus bentuk riil; membantu berbagi kerja, memberi makanan yang bergizi, mendidik dan memberdayakan perempuan, mengalokasikan anggaran kesehatan untuk perempuan, serta cuti kerja untuk reproduksi. (Hlm. 67).


Ummu Salamah Ra bertanya kepada Rasulullah SAW, โ€œwahai rasulullah, aku tidak mendengar Allah mengapresiasi hijrah para perempuan.โ€ Kemudian, Allah menurunkan ayat, โ€œbahwa sesungguhnya Aku tidak akan membuang-buang apa yang diperbuat setiap orang di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian kamu dari sebagian yang lain.โ€ (Sunan at-Tirmidzi).

Hadits Ummu Salamah ini hanya salah satu dari catatan-catatan kegelisahan perempuan masa awal Islam terhadap al-Quran yang secara literal tidak menyebut kiprah perempuan dalam hal hijrah dan jihad. Karena, sebagimana yang diketahui, ayat-ayat mengenai hal ini terkesan tidak memasukkan perempuan, sebab bahasa Arab menggunakan struktur bahasa laki-laki (mudzakkar). Hingga pada akhirnya Allah menurunkan ayat yang menegaskan bahwa setiap amal baik tidak mengenal jenis kelamin. Ia akan memperoleh apresiasi dan balasan dari Allah SWT. Baik di ranah publik maupun di ranah domestik. Serta menjadi tugas bersama untuk mewujudkan sistem sosial yang mengapresiasi kerja-kerja siapun secara nyata, laki-laki maupun perempuan sesuai prinsip meritokrasi dalam Islam. (Hlm. 108-110).


Masih ada 58 hadits lagi yang menjelaskan bahwa Allah Maha Baik dan Islam adalah agama yang sangat memuliakan perempuan. Sekarang, mari jadikan hadits yang sudah disampaikan ini sebagai penguat untuk tampil percaya diri menjadi perempuan.


Dalam urusan pernikahan, buku ini sangat penting untuk menjadi rujukan. Modal awal untuk melangkah ke jenjang itu. Tidak cukup modal nikah hanya menyajikan cinta, karena cinta yang tidak dirawat dan tidak dilandasi oleh ajaran Islam (yang berprinsip Mubaadalah), tidak akan sampai pada keberkahan dari menyempurnakan separuh iman itu.

***

Balada Jam Karet

Angkot merah jambu dengan knalpotย  seperti orang yang terserang batuk berdahakย  melaju kencang menyalip kendaraan yang dilaluinya. Beberapa orang memutar pandang ke arah angkotย  yang kelihatan bagak (berani) ini. Tampak raut kesal saat harus menghirup gas beracun dari angkot yang saya tumpangi. Tepat di hadapan lampu merah, angkot mengerem dengan suara berdecit seperti tikus terjepit daun pintu.


“Uda, itu bus SANnyo. Kaja yo da.” pinta saya bersemangat sambil menunjuk ke arah bus SAN yang jalannya tergopoh-gopoh karena sang kenek dari tadi sibuk menghubungi saya.  Jelas, si supir bus sedang memperlambat jalannya.


Sebenarnya juga uda angkot telah melawan jalur angkutannya. Hanya angkot merah saja yang bisa jalan lurus menuju jalan bypass lampu merah dari arah simpang Kalawi. Tapi, demi permintaan saya  dengan suara yang memelas, apa boleh buat. Terabas saja. Hingga uda angkot mengeluarkan seluruh energinya untuk melakukan aksi penyalipan dengan gemulai.


Tibalah saya tepat di depan bus. Uda angkot dengan gesit sibuk mengklakson, tanda agar bus segera berhenti. Ia pun membantu saya membopong koper untuk segera dimasukkan ke dalam bagasi. Saya mendekati uda dan memberi ongkos lebih.


Satu jam  sebelumnya, saya bersalah telah mengabaikan waktu keberangkatan yang telah ditetapkan oleh pihak bus SAN jurusan Bengkulu,  pukul 12.00 WIB. Menurut pengalaman sebelumnya, bus akan mengaretkan waktu hingga satu jam lamanya. Menunggu penumpang lainnya atau sibuk menyusun barang penumpang di bagasi. Saya pikir, saya bisa mengulur waktu tiga puluh menit untuk menunggu adzan dzhuhur datang. Menunaikan shalat jamak antara dzuhur dan ashar. Agar lapang hati saat sudah di dalam bus. Tidak ada lagi resah dan sibuk shalat di atas kursi penumpang.


Dugaan saya melenceng jauh. Pihak loket  menelepon saya jika bus sedang dalam perjalanan menuju lokasi penjemputan di simpang Kalawi. Betapa kagetnya saya, waktu memang menunjukkan pukul 12.00 WIB tapi saya belum berganti pakaian dan adzan dzuhur pun belum berkumandang. Saya begitu kegelagapan. Saya pun harus mencari angkot untuk mengantar saya hingga di persimpangan itu. Beberapa barang juga harus diangkut dua kali ke pinggir jalan. Sangat memakan waktu sementara bus terus melaju.


Seluruh wajah saya dipenuhi keringat, nafas tidak beraturan dan rasa panik begitu kentara. Sayangnya, uda angkot yang mengantarkan saya hanya sampai diujung perempatan saja. Tidak melebihi. Kenek bus sudah menelepon saya dengan intonasi suara yang begitu tinggi. Ia telah melaju jauh dari simpang Kalawi.


Dengan membawa koper yang begitu besar dan beberapa barang lainnya, saya seperti anak hilang yang sebentar lagi akan menitikkan air mata. Mungkinkah saya gagal pulang kampung hanya karena ketinggalan bus?


Jantung saya terus berdetak kuat mengalahkan bunyi jarum jam tangan yang terus mengganti detik demi detik. Di tengah keputusasaan itu, muncul angkot berwarna merah jambu  yang kosong penumpang. Saya lambaikan tangan.


“Uda, bisa anta awak ke arah simpang bypass lampu merah? Awak tatingga bus SAN, da. Mohon bantuannyo.” Ucap saya sepenuh hati.


“Ayo, masuak diak.” Jawabnya.


Beginilah, akibat termakan oleh stigma jam karet. Membiasakan diri menepati janji sangat diperlukan. Jika tidak, bisa belajar dari pengalaman yang sedang saya ceritakan ini. Selain merugikan diri sendiri, akibatnya pun berdampak kepada orang lain.


Sesampainya di dalam bus, sang supir berbaju biru itu memarahi saya habis-habisan. Sembari memberi tanda ceklis pada secarik kertas daftar nama penumpang. Saya tahu, ia begitu kesal karena keterlambatan ini. Mengulur waktu akan memperlama mereka sampai di pemberhentian stasiun terakhir. Sedangkan bus harus berputar balik ke arah Padang lagi dengan tepat waktu. Jadilah ia meluapkan seluruh beban kekesalan itu  di hadapan penumpang yang mayoritasnya juga adalah mahasiswa yang hendak pulang kampung.


“Kamu tahu gak, gara-gara nungguin kamu mereka (penumpang) jadi terbengkalai.” bunyi salah satu hardikannya. Lengkap juga dengan suara tawa dari penumpang yang duduk di barisan depan.


Saya yang masih sibuk mengatur nafas tidak lagi mendengar dengan jelas. Tidak ambil peduli. Terpenting saya bisa menemukan  kursi nomor 40 untuk segera beristirahat. Keterlambatan ini sungguh  menguras nyali.  Di balik embun kaca jendela karena uap AC, saya tersenyum lembut membuang wajah ke luar.


“Mokasih bana uda. Telah ringan hati menolong saya. Semoga selalu dipermurah rezeki.” gumam saya dalam hati.


Dari cerita inilah, saya banyak belajar tentang kebaikan-kebaikan sederhana yang datang tanpa diduga. Orang tidak dikenal seperti uda angkot yang telah meringankan tangannya untuk saya, wajib saya doakan dipenghujung sholat.  Menebar kebaikan tidak  kenal seberapa banyak tetes keringat. Ia terus mekar melampaui sekat.


Pun tanpa disadari, hidup yang kita jalani ini tidak pernah lepas dari limpahan kebaikan dan pertolongan yang Allah turunkan. Entah secara langsung atau pun melalui perantara makhluk-Nya. Maka, bersyukur adalah salah satu cara berterimakasih paling mudah yang bisa dilakukan dengan sekali tarikan nafas. Alhamdulillah.

***

Cinta Juga Butuh Seni

pinterest

Setiap pulang kampung, ibu selalu mengisi obrolan dengan banyak berkisah perihal kehidupan kampung yang sudah lama saya tinggalkan. Banyak peristiwa baru yang ibu himpun menjadi kisah yang utuh untuk saya dengar. Salah satu dari banyak kisah yang ibu kumpulkan adalah perihal kehidupan percintaan.

Sepanjang usia saya yang baru menginjak 21 tahun ini, ibu begitu semangat berbagi kisah-kisah roman baik di masa lalu maupun yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan tetangga kanan dan kiri. Mungkin bagi ibu, saya sudah sangat layak untuk mendengar itu, bukan hal yang tabu, malu, apalagi harus ditutupi. Karena bagi ibu juga saya bukan lagi anak kecil yang harus dimarah ketika menguping pembicaraan orang dewasa. Sudah saatnya dicekoki pengetahuan itu. Mengingat usia, yang mungkin tidak lama lagi bakal didoakan ibu untuk segera menikah.


Cerita ibu membuat saya harus bergidik dan merinding lama. Cerita cinta yang ibu ceritakan tidak seromantis kisah Dilan. Tidak juga seromantis buaian sajak-sajak Boy Candra. Indahnya kisah pernikahan tidak juga seindah selebgram yang setiap harinya memamerkan kemesraan dengan sang pasangan.

Ibu ingin saya tahu, cinta bukan cindo tapai yang dengan enak dilahap sampai kenyang. Cinta itu pesakitan. Luka yang hanya ada dua pilihan, berkorban atau perpisahan. Itu saja.


Ibu memulai ceritanya dengan peristiwa seorang suami yang tiba-tiba jatuh cinta lagi dengan perempuan lain. Padahal usianya sudah menginjak kepala lima. Hati istri mana yang tidak kebingungan menghadapi perilaku suami ini. Bukankah ketika ijab kabul dijabat erat dengan dengung sah seantero dua keluarga mempelai, itu tandanya jatuh cinta hanya sekali dan untuk selamanya?

Tidak ada mendua, mentiga, bahkan menempat di hati yang lain dengan dalih berpoligami. Memuaskan perasan sendiri tanpa memikirkan perasan-perasaan lain yang lebih sakit menanggung keputusan tidak terduga itu.


Makin lama cerita ibu makin tidak kuat saya dengar. Hingga akhirnya ibu bercerita perihal kekerasan dalam rumah tangga. Suami yang pengangguran rentan sekali membawa perasaannya untuk tersinggung dan berakhir dengan main tangan. Ucapan-ucapan kasar dan penghinaan sebagai upaya untuk menutupi ketidakberdayaannya dihadapan sang istri.

Saya pikir kenapa dua orang yang dulunya saling mencintai, setelah menikah seperti kehilangan jalan untuk menyayangi sehangat dulu? Lalu, meski rumah tangga dibalut kekerasan, mereka memiliki banyak anak dari hubungan mereka di tempat tidur. Apakah cinta akan jinak kala dua manusia saling menyatu dalam ranah hubungan badan? Sesederhana itukah cinta? Saya rasa tidak dan memang cinta bukan sesederhana memuaskan nafsu sesaat yang tidak ada bedanya dengan binatang sekalipun.


Saya tidak banyak tahu tentang cinta. Kecuali dari ibu yang kerap bercerita akhir-akhir ini. Teman-teman yang kerap bercerita tentang kejatuhan cintanya kepada sosok laki-laki idaman. Dari mereka saya melihat gambaran cinta seorang manusia. Karena secara pribadi, saya tidak pernah menjalin hubungan percintaan dengan laki-laki.

Cerita di atas membuat saya harus berpikir ulang, memahat malam untuk merenung bagaimana cinta yang suci itu bisa sedemikian menyakitkan? Bukankah dari cinta kita berasal. Ditumbuhbesarkan dari buaian kasih sayang.


Mereka yang menjalin cinta tidak jarang juga harus menanggung patah dan kegagalan. Bergantipasangan seakan itu adalah kebanggaan dan jalan keluar. Mengorbankan tubuhnya untuk dinikmati tanpa memikirkan akibat masa depan. Mereka bahagia dengan cintanya sekaligus ketakutan jika sewaktu-waktu cinta itu hilang dan berujung pada kesepian.


Mencintai seseorang bukan sekadar perasaan yang kuat lalu disalurkan melalui hubungan saja, tapi cinta adalah keputusan, pertimbangan, dan janji setia. Ia adalah komitmen diantara dua pihak, tidak ada yang boleh disakiti dan menyakiti. Semua harus bahagia dengan menjaga perasaan hanya untuk satu selamanya. Itulah penyatuan. Satu rasa, satu kasih, dan saling melengkapi kurang dan lebih.


Kita bisa banyak belajar dari Erich Fromm, psikoanalis dari Frankfurt melalui bukunya The Art of Loving. Semua orang pasti merasakan jatuh cinta, tidak bisa tidak. Karena cinta adalah fitrah manusia untuk melanjutkan keturunan dan melangsungkan peradaban. Tapi dari banyaknya manusia itu tidak banyak yang tahu bahwa cinta juga perlu keahlian. Cinta butuh seni yang harus diasah berhari-hari dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.


Cinta menurut Fromm merupakan ekspresi produktivitas dan menyiratkan perhatian, rasa hormat, tanggung jawab, dan disertai dengan banyak pengetahuan. Cinta bukan dalam arti terpengaruh oleh seseorang, melainkan usaha aktif untuk terus menumbuhkan dan membahagiakan orang yang dicintai, berakar dari kapasitas diri untuk mencintai. Menyerahkan seluruh kekuatan semaksimal mungkin.


Namun, sebelum mencintai, cintai dulu diri sendiri. Jadikan diri kita sebagai objek perasaan dan sikap tidak dapat dibagi. Karena ketika kita mampu mencintai diri sendiri, maka kita mampu mencintai orang lain sebaik mungkin. Begitulah premisnya. Sederhananya, kenali diri kita dan apa maunya. Ketika kita tidak ingin disakiti maka kita akan tergerak juga untuk tidak mau menyakiti. Hubungan timbal balik yang harmonis. Bagi saya inilah salah satu sisi romantis di dalam perjalanan cinta.


Cinta juga adalah tindakan, sebuah penerapan kekuatan manusia yang hanya bisa diterapkan dalam kebebasan dan tidak pernah ada unsur paksaan. Kemampuan kita menggunakan daya nalar yang baik sebagai bentuk untuk mengolah gejolak emosional yang kerap tidak terbendung ketika sedang mengalami fase jatuh cinta.


Pikiran harus terlibat di dalam kegiatan mencintai, pikiran yang jernih, objektif, dan rasional sebagai pembentuk utama suatu hubungan yang baik. Karena dari inilah cinta bisa menumbuhkan kerendahan hati dan nalar di setiap situasi. Cinta tidak melulu soal perasaan yang tergantung pada denyut hati. Tapi ada akal yang bekerja untuk memilah dan memilih, seharus dan sepantasnya manusia berperilaku.


Setidaknya bagi saya juga sebelum memulai mencintai kita harus tahu tiga bentuk epistemologinya, yaitu indra, akal, dan hati. Ketiganya harus tumbuh dan berjalan mengapa kita jatuh cinta. Dari indra kita memulainya, lalu berpikir melalui daya akal, hingga kita proses di dalam hati, apakah sudah menjadi perasaan yang utuh atau malah timpang. Kekuatan perasaan itu lemah, karena dia seperti tamu yang hanya singgah, pulang dan pergi begitu saja.


Maka tidak heran jika cerita ibu tentang suami yang jatuh cinta lagi dengan perempuan lain bisa terjadi dan kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa dihindari. Karena cinta memang tidak sesederhana yang seperti orang bayangkan. Cinta itu dalam dan penuh pertanggungjawaban. Hanya hati dan mental kuat yang mampu menghadapi.

Khusus untuk saya semoga segera didekati objeknya untuk mulai belajar mencintai sebagaimana kehendak Erich Fromm. Ueeah! Supaya ketika doa ibu diijabah besok, saya sudah punya ilmu yang mumpuni.

***

Tulisan saya ini pernah dimuat di https://www.qureta.com/next/post/cinta-juga-butuh-seni pada tanggal 19 Desember 2019.