Menjadi Perempuan Berdaya di Sekolah ‘Aisyiyah

Dok. 09 November 2022

‘Aisyiyah merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak pada pemberdayaan perempuan. Berdiri pada 19 Mei 1917, ‘Aisyiyah telah lebih dari satu abad berdakwah dan menebar kebermanfaatan untuk perempuan Indonesia. Bagian yang saya rasakan secara pribadi adalah melalui salah satu amal usahanya, yakni di bidang pendidikan.

Ada ribuan taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan perguruan tinggi yang dikelola ‘Aisyiyah di seluruh penjuru Indonesia. Di amal usahanya ini, ribuan lapangan pekerjaan untuk perempuan terbuka lebar. Bekerja di lingkungan yang setara dan mendukung pergerakan perempuan untuk berkarya.

Pun, melalui bidang pendidikan inilah, ‘Aisyiyah mengajak kaum perempuan untuk tidak lagi berdiam diri di rumah. Perempuan harus bergerak tanpa batas. Menempuh pendidikan, meraih impian, berdaya, dan bebas bekerja. Entah sebelum ia menikah atau sesudah menikah ia boleh menentukan pilihan hidupnya tanpa tekanan dari siapapun. Apalagi tekanan dan dominasi dari laki-laki. Prinsip kesetaraan ini membuat saya mengagumi ‘Aisyiyah sebagai lembaga pemberdayaan perempuan yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam.

Sudah kewajiban setiap manusia, laki-laki dan perempuan untuk beramal saleh sebanyak-banyaknya. Tidak dibedakan jerih amal usaha yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Karena bagi Allah swt., di dalam diri mereka hanya ada satu pembeda saja, yaitu ketakwaan. Hal ini sesuai yang disinggung oleh-Nya melalui Q.S. al-Hujurat ayat 13 (yang artinya), “sesungguhnya yang paling mulia dihadapan Allah diantara kalian adalah yang paling bertakwa”.

Melalui bidang pendidikan, perempuan bisa bekerja di dalamnya dan mencari banyak pahala dari segala dedikasinya di sekolah ‘Aisyiyah. Belajar, mengajar, dan menebar kebermanfaatan.

Menjadi Perempuan Berdaya

Dua tahun belakangan ini, saya menjadi bagian dari keluarga ‘Aisyiyah yang bergerak di bidang pendidikan. SD Unggulan ‘Aisyiyah Taman Harapan Curup yang ada di Provinsi Bengkulu menjadi tempat saya belajar untuk menjadi perempuan mandiri dan berdaya.

Saya mulai tertarik dan jatuh hati pada ‘Aisyiyah di setiap momen yang menyentuh perasan saya. Mengamati setiap guru perempuan yang selalu semangat datang ke sekolah pagi hari, antusias mereka bertemu keluarga saat selesai mengajar dan pulang di sore hari, serta dua amal dengan pahala berlipat ganda di hadapan mata mereka menanti. Pahala mendidik ratusan siswa juga mendidik penuh cinta buah hati di rumah.

Dahulu, melalui konstruksi sosial masyarakat, perempuan tidak dianjurkan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Juga tidak dianjurkan bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Bagi masyarakat, perempuan bisa baca tulis itu saja sudah cukup. Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi yang memakan banyak biaya. Lebih baik biaya pendidikan itu dialokasikan kepada saudara laki-laki. Dengan dalih bahwa seorang laki-laki membutuhkan pendidikan lebih tinggi agar kelak ia bisa memperoleh pekerjaan terbaik untuk menghidupi keluarganya.

Perempuan hanya perlu mengembangkan kemampuannya dalam perkara urusan rumah tangga saja. Dapur, sumur, dan kasur. Lebih dari itu, semuanya adalah tanggung jawab dan pekerjaan laki-laki.

Inilah tantangan yang dihadapi hampir semua perempuan di Indonesia yang mayoritasnya masih menggunakan cara pandang patriarki. Tapi, seiring berjalannya waktu, dengan akses pendidikan yang lebih mudah dan informasi kesetaraan yang masif, tantangan ini mulai pudar. Perempuan mulai memunculkan diri di ruang-ruang publik dengan sederet riwayat pendidikan yang cukup mendukung mereka untuk terus berkarya.

Seperti yang saya amati di sekolah ‘Aisyiyah, tempat saya sehari-hari menghabiskan waktu dari Senin hingga Jumat. Dengan mayoritas perempuan yang bekerja di sekolah menjadi seorang guru, saya akui, mereka perempuan hebat dan berdaya. Meskipun begitu, mereka masih dibebani dengan peran ganda. Menjadi perempuan pekerja sekaligus menjadi ibu rumah tangga. Kesibukan mengurus anak-anak dan rutinitas di sekolah membuat saya berpikir, “bagaimana bisa mereka menikmati ini semua?”.

Jawabannya adalah komunikasi dan kesepakatan. Tidak ada yang bisa menghalangi perempuan yang sudah berumah tangga untuk berhenti bekerja. Kecuali, jika itu adalah pilihannya sendiri dan kesepakatan dengan pasangan hidupnya. Bebas memilih itulah hak setiap manusia tanpa mengenal jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Semuanya bebas memilih dan menentukan jalan hidupnya.

Sekolah ‘Aisyiyah tempat saya bekerja memberi dukungan sepenuhnya untuk perempuan yang sudah berumah tangga. Seperti jam menyusui jika ada salah satu gurunya yang memiliki balita. Juga disediakan tempat penitipan anak di salah satu area sekolah. Agar apapun peran yang dilakukan oleh perempuan ‘Aisyiyah tidak menutup akses mereka dalam bekerja dan meningkatkan potensi diri. Cuti melahirkan, cuti menikah, dan berbagai keringanan lainnya, meyakini bahwa sekolah ‘Aisyiyah adalah sekolah ramah perempuan.

Sederet program pemerintah baru-baru ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, seperti pelatihan Sekolah Penggerak dan Pendidikan Profesi Guru (PPG), bebas diakses bagi semua guru perempuan di sekolah ‘Aisyiyah tempat saya bekerja. Sekolah mendukung penuh dan memberikan waktu untuk mereka bisa meningkatkan kualitas diri.  Konsep pemberdayaan perempuan dengan Islam berkemajuan yang dimiliki ‘Aisyiyah membuat saya terus semangat memacu diri; bebas bermimpi dan meraih harapan setinggi mungkin.

Harapan

Bekerja atau tidak lagi-lagi adalah pilihan hidup seorang perempuan. Terpenting, ia melakukan itu dengan kesadaran penuh tanpa tekanan. Sebagian perempuan tidak bisa hanya berdiam di rumah, mengurus rumah tangga, dan kesibukan stagnan lainnya.

Seperti yang dikisahkan oleh Cho Nam-Joo, penulis kisah Kim Ji-Yeong lahir tahun 1982, betapa Kim Ji-Yeong merindukan dirinya di masa lalu. Bekerja dan berkarya. Meski penghasilannya tidak sebanyak suaminya, tapi ia merasa sangat bahagia dengan tetes keringatnya sendiri.

“Alasan aku bekerja karena aku suka bekerja. Aku menyukai pekerjaanku dan uang yang kudapatkan,” ujar Kim Ji-Yeong. Tapi, semua mendadak berubah saat ia memutuskan untuk resign dari pekerjaannya. Pilihan yang berat saat ia memilih harus bekerja atau di rumah mengurus anak perempuannya. Ia mulai bertingkah aneh dan mengalami depresi.

Kim Ji-Yeong bukan seorang perempuan yang bisa bahagia dengan pilihannya untuk di rumah saja. Dia perlu ruang untuk mengekspresikan diri. Ruang tersebut ia temukan manakala ia bisa bekerja di luar seperti sebelum ia menikah. Novel sensasional berlatar Korea Selatan ini memberitahu kita bahwa praktik misoginis masih relevan bagi kita semua, serta menjadi PR besar kita untuk terus berdakwah dan mengkampanyekan kesetaraan melalui pemberdayaan perempuan. Inilah yang dilakukan ‘Aisyiyah melalui amal usahanya. Baik di bidang kesehatan, ekonomi, atau khususnya di bidang pendidikan.

Perempuan yang berdaya memiliki peran yang penting dalam membangun karakter anak-anak di sekolah, karena dari perannya menjadi seorang guru lahirlah seorang pemimpin yang kelak menjalankan berbagai kebijakan-kebijakan. Diharapkan kebijakannya mendukung penuh misi ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan sebagai khalifatul ardh yang berdasarkan pada Islam rahmatal lil’alamin.

Tulisan ini sudah pernah ditayangkan di https://suaraaisyiyah.id/menjadi-perempuan-berdaya-di-sekolah-aisyiyah/ pada tanggal 27 September 2022.

[Review Buku] Sister Fillah, You’ill Never be Alone

Bulan Februari kemarin, saya membeli setumpuk buku anak-anak. Tapi, juga bisa dibaca orang dewasa. Penting isinya untuk saya baca. Itulah alasan pertama saya langsung membelinya di Toko Buku Selekta Jl. Kartini, Curup saat pulang dari sekolah.

Alasan kedua, saya ingin meminjamkannya kepada anak-anak yang saya temui nanti. Baik di kelas maupun di rumah. Sekedar untuk melihat ilustrasinya yang menarik atau syukur-syukur jika mereka mau membacanya meski sedikit.

Alasan ketiga, saya teringat saat kecil dulu, Buku-buku bacaan menarik untuk anak-anak jarang saya temui. Di rumah hanya ada beberapa majalah Bobo edisi lama. Sedangkan di sekolah tidak memiliki perpustakaan. Hanya ada gudang buku yang sudah berdebu dengan tumpukan buku yang disusun sembarang tempat.

Jadilah, saya ringkus 12 buku dengan harga 100 ribu. Padahal selembar uang kertas merah itu bisa untuk menambah koleksi jilbab atau gamis harian, kan? Hihihi. Eh. (Hiduplah minimalis ala Jepang).

Akhir bulan Maret, atau tepatnya menjelang Ramadhan, saya ingin membeli buku lagi. Untuk dibaca saat bulan Ramadhan. Tidak hanya berusaha mengkhatamkan mengaji Al Qur’an, tapi juga setidaknya ada beberapa buku yang bisa saya baca hingga tamat. Lalu, saya membuka Shopee, membuka laman Mizan dan memilih buku Kalis Mardiasih dan Pak Fahruddin Faiz.

Buku pertama yang saya baca adalah buku Mbak Kalis Mardiasih ini, yang judulnya Sister Fillah, You’ill Never be Alone. Sebelumnya saya sudah punya buku beliau yang judulnya Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar! Tapi, belum ada reviewnya.

Buku ini mengemukakan segala hal tentang dunia perempuan, laki-laki, dan feminis. Tidak Jauh-jauh dari konsep kesetaraan. Bahasanya ringan, menggambarkan kehidupan sehari-hari yang begitu melekat dengan kita, sehingga mudah dicerna. Meski ada beberapa pernyataan banyak juga yang belum bisa saya pahami. Karena saya belum tahu cukup dalam tentang dunia feminis. Heheh.

Berikut beberapa penggalan yang menarik dari sekian penggalan menarik lainnya dari buku ini:

Meme akun dakwah yang mengontrol pilihan perempuan. (Hlm. 63).


Di media sosial, banyak berseliweran konten yang menyudutkan perempuan. Konten-konten itu bisa jadi pula ditulis dan disebarkan oleh laki-laki. Isi kontennya ada yang seperti ini,


Laki-laki sholih itu suka sama wanita yang:
1. Nggak pake pensil alis.
2. Nggak pake tambahan bulu mata.
3. Nggak pake bedak yang berlebihan.
4. Nggak pake lipstik.
5. Nggak suka upload poto selfie.

Bla bla.

Menurut Mbak Kalis Mardiasih, lihatlah bagaimana imajinasi laki-laki hanya soal pakaian dan aksesoris. Padahal, laki-laki saleh adalah laki-laki yang cerdas dan punya manfaat yang banyak untuk sekitarnya. (Hlm. 64).

Lalu, meme yang tidak asing lagi didengar. Bunyinya seperti ini,

“Setinggi apapun pendidikan perempuan, karir terbaiknya adalah diam di rumah.”


Hem, setiap orang punya prioritas dan pilihan masing-masing. Ada ibu rumah tangga yang prioritasnya adalah mengasuh anak-anak karena kondisi keluarga dan lingkungan tidak mendukung dan memang ingin memastikan pengasuhan anaknya lewat tangannya sendiri. Tapi, ada juga perempuan bekerja karena prioritasnya adalah pemenuhan bersama beban ekonomi keluarga. Pun, ada perempuan yang berkarier karena sangat mencintai bidang ilmu dan pekerjaannya sehingga sumbangan gagasannya memang diperlukan banyak orang. (Hlm.65-67).

Kata kuncinya adalah prioritas dan pilihan.


Akhir halaman, kutipan yang bisa disimpulkan yaitu:

Kamu sempurna menjadi perempuan. Kamu tidak memerlukan validasi ukuran-ukuran orang lain untuk sempurna menjadi perempuan. (Hlm. 167)

(Review Buku) 60 Hadits Shahih

Dok. Pribadi

“Buku ini disimpen baik-baik loh. Jika pas tepat ketemu waktunya, bolehlah pinjemin seseorang. Untuk bareng-bareng didiskusikan. Apalagi saat udah komit untuk menganut prinsip Mubaadalah. Eh.”

Akhir Desember 2020, dengan bismillah dan penuh keyakinan memberanikan diri untuk ikut challenge menulis selama 30 hari di bulan Januari. Kegiatan ini diadakan oleh Icontentcreator yang bekerja sama dengan Mubadalah.id dan Bonels.id. Lima hari pertama begitu antusias menggali kenangan sebagai bahan untuk menulis. Lima hari selanjutnya mulai keteteran hingga akhirnya stop menulis di hari ke sebelas. Duh, saya gagal mengatur waktu. Sebenarnya, tidak ada istilah tidak punya waktu untuk menulis. Kita bisa memberi waktu khusus di jam tertentu untuk menulis. Barang sejam sekali pun. Semoga untuk ke depannya saya bisa untuk lebih konsisten lagi. Fardhu ‘ain, untuk saya! Apalagi tulisan saya masih amatiran seperti ini. Hiks.


Ternyata, awal Februari 2021 masuk sebuah DM dari icontentcreator bahwa tulisan saya di hari kedua yang berjudul Keuangan: Sepenggal Kenangan Hidup di Perantauan menjadi bagian dari winnernya. Terharu sekali, untuk pertama kalinya memperoleh hadiah buku dari kegiatan menulis seperti ini. Hingga akhirnya, 11 Maret 2021 datang abang paket mengantar sebuah buku berjudul 60 Hadits Shahih yang ditulis oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.


Lagi dan lagi, membaca buku ini pun memakan waktu berminggu-minggu. Banyak jedanya. Sampai akhirnya, awal April ini harus posting review buku lagi di Ruang Bercerita. Kan, sedih kalau ruangan ini sepi tanpa ada tulisan setiap bulannya. Dengan tertatih-tatih, bukunya selesai dibaca. Lalu, bagaimana perasaan saya setelah membaca buku ini?

“Buku ini disimpen baik-baik loh. Jika pas tepat ketemu waktunya, bolehlah pinjemin seseorang. Untuk bareng-bareng didiskusikan. Apalagi saat udah komit untuk menganut prinsip Mubaadalah. Eh.”


Jangan tertawa, membaca feedback dari saya ini. Hihih.


60 Hadist Shahih adalah sebuah buku yang mengulas secara khusus tentang hak-hak perempuan dalam Islam dengan dilengkapi penafsirannya. Ditulis oleh Kang Faqih (demikian beliau disapa sehari-harinya) yang terinspirasi dari karya besar Syekh Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr ar-Risalah (Pembebasan Perempuan pada Masa Kenabian).

Buku beliau ini ditulis secara sederhana dengan penjabaran yang singkat tapi jelas padat. Agar pesan yang ingin disampaikan dapat dengan mudah dipahami oleh para pemula yang ingin mengenal hadits-hadits utama dalam membaca isu-isu relasi antara laki-laki dan perempuan.


Mengingat, selama ini, jamak orang hanya mengenal hadits-hadits tentang perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk, perempuan adalah fitnah bagi laki-laki, mereka adalah penghui neraka paling banyak. Atau tentang perempuan yang kurang agama, kurang akal, harus taat suami, dan hal-hal yang menitikberatkan perempuan akan kewajiban mereka untuk melayani suami.


Kang faqih ingin melalui buku kecil ini kita bisa mengenali sikap Islam sesungguhnya terhadap perempuan dari teks sumber yang otoritatif. Bahwa perempuan –posisi dan perannya– adalah sebagai manusia utuh yang setara dengan laki-laki. Relasi antar mereka didasarkan pada prinsip Mubaadalah (kesalingan) yang digambarkan oleh al-Quran. Saling tolong-menolong dan menopang (Q.S. at-Taubah:71), saling melindungi dan melengkapi (Q.S. al-Baqarah: 187), dan saling berbuat baik (Q.S. an-Nisaa:19).


Ada banyak hadits-hadits shahih yang juga sering dipahami bias gender. Tapi, menurut Dra. Hj. Badriyah Fayumi, Lc., MA, hadits-hadits tersebut bisa dimaknai secara lebih tepat dan proporsional setelah digali asbabun nuzul dan konteks sosio-historisnya, lalu disandingkan dengan ayat-ayat al-Quran. Melalui 60 Hadits Shahih ini kita banyak belajar dan membuka cakrawala baru tentang perempuan. Bahwa yang selama ini kita ketahui dan terkesan memberatkan perempuan ternyata tidak seperti itu loh. Islam itu rahmatallil’alamin, Allah tidak pernah mencintai manusia secara sepihak. Namun, mencintai seluruhnya, laki-laki dan perempuan.

Maka, buku kang Faqih ini wajib dibaca dan dipahami, disebarluaskan dan dijadikan pedoman, karena menurut Ibu Badriyah Fayumi, ada lima alasannya:


Pertama, hadits-hadits shahih yang ditulis di sini menjelaskan wajah Islam yang ramah dan adil kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, buku ini mengimplementasikan sabda Nabi Muhammad SAW, “ballighuu ‘annii walau ‘ayah” (sampaikan dariku walaupun satu ayat/hadits). Ketiga, Kang Faqih menggunakan metode qiraah mubaadalah. Keempat, 60 hadits shahih ini cukup bisa menjadi dalil untuk mematahkan klaim bahwa Islam tidak ramah kepada perempuan. Terakhir, hadits-hadits dalam buku ini bisa menjadi pedoman untuk membangun relasi yang adil gender sesuai tuntunan Rasullah SAW.


Bagi saya sendiri, buku ini menjadi salah satu buku yang wajib dibaca oleh laki-laki yang ingin serius menjalin ‘hubungan’ dengan saya (Hehhe, laki-laki yang batang hidungnya belum diwujudkan ke alam nyata oleh Allah). Bersama-sama belajar mendongkrak patriarki yang memberatkan perempuan juga laki-laki itu sendiri.

Ada beberapa hadits yang ingin saya selipkan di sini, sayang kalau terlewatkan begitu saja.


Abu Hurairah Ra. Menyampaikan bahwa ada seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW, “siapakah orang yang paling berhak aku layani dan temani?” Rasulullah SAW menjawab, “ibumu.” “Lalu, siapa lagi?” “Ibumu.” “Terus, siapa?” “ibumu.” “Setelah itu siapa?” “Kemudian, ayahmu.” (Shahih Muslim).

Hadits ini memberi pengakuan dan penghargaan terhadap peran domestik dan reproduktif perempuan yang sering sekali diabaikan kebanyakan orang. Perempuan sering diabaikan sendiri dalam menjalankan perannya, tanpa ada dukungan yang cukup dari keluarga, masyarakat, dan khususnya negara. Dukungan terhadap perempuan sebagai ibu tidak cukup hanya berupa pujian atau ucapan manis saat peringatan hari ibu. Tetapi, harus bentuk riil; membantu berbagi kerja, memberi makanan yang bergizi, mendidik dan memberdayakan perempuan, mengalokasikan anggaran kesehatan untuk perempuan, serta cuti kerja untuk reproduksi. (Hlm. 67).


Ummu Salamah Ra bertanya kepada Rasulullah SAW, “wahai rasulullah, aku tidak mendengar Allah mengapresiasi hijrah para perempuan.” Kemudian, Allah menurunkan ayat, “bahwa sesungguhnya Aku tidak akan membuang-buang apa yang diperbuat setiap orang di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian kamu dari sebagian yang lain.” (Sunan at-Tirmidzi).

Hadits Ummu Salamah ini hanya salah satu dari catatan-catatan kegelisahan perempuan masa awal Islam terhadap al-Quran yang secara literal tidak menyebut kiprah perempuan dalam hal hijrah dan jihad. Karena, sebagimana yang diketahui, ayat-ayat mengenai hal ini terkesan tidak memasukkan perempuan, sebab bahasa Arab menggunakan struktur bahasa laki-laki (mudzakkar). Hingga pada akhirnya Allah menurunkan ayat yang menegaskan bahwa setiap amal baik tidak mengenal jenis kelamin. Ia akan memperoleh apresiasi dan balasan dari Allah SWT. Baik di ranah publik maupun di ranah domestik. Serta menjadi tugas bersama untuk mewujudkan sistem sosial yang mengapresiasi kerja-kerja siapun secara nyata, laki-laki maupun perempuan sesuai prinsip meritokrasi dalam Islam. (Hlm. 108-110).


Masih ada 58 hadits lagi yang menjelaskan bahwa Allah Maha Baik dan Islam adalah agama yang sangat memuliakan perempuan. Sekarang, mari jadikan hadits yang sudah disampaikan ini sebagai penguat untuk tampil percaya diri menjadi perempuan.


Dalam urusan pernikahan, buku ini sangat penting untuk menjadi rujukan. Modal awal untuk melangkah ke jenjang itu. Tidak cukup modal nikah hanya menyajikan cinta, karena cinta yang tidak dirawat dan tidak dilandasi oleh ajaran Islam (yang berprinsip Mubaadalah), tidak akan sampai pada keberkahan dari menyempurnakan separuh iman itu.

***