Sebuah Pertemuan di Jalan Pulang

Pinterest

Asam di gunung. Ikan di laut. Bertemu mereka di kuali yang sama.

-Pak Edi

Februari 2023 merupakan bulan paling berat dalam hidup saya di usia menginjak 25 tahun ini. Sungguh, cobaan hidup Allah kali ini begitu sulit untuk ditanggung. Menguras air mata setiap hari. Tidak nafsu makan sama sekali. Bingung, takut, tidak tahu langkah apa yang harus dilakukan untuk menghadapinya.

Minggu kedua di bulan Februari, saya absen dari tempat kerja selama tiga hari. Ada sesuatu yang harus diselesaikan. Meski, pada akhirnya tidak bertemu penyelesaian sedikit pun. Saya pergi ke Bangko (Jambi) untuk mencari secercah harapan. Berharap semoga semua cobaan ini akan segera berakhir. Namun, sepertinya Allah masih ingin melihat sejauh mana saya bisa bertahan dalam menghadapi cobaan ini.

Hari ketiga di Bangko saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Lagi-lagi berharap semoga di rumah menemukan jalan keluar. Bismillaah. Saya pulang dengan hati yang rapuh.

Bibik mengantar saya menuju loket travel di Tugu Pedang. Sekitar 30 menit dari rumah beliau. Melewati perkebunan sawit dengan jalan aspal yang masih bagus. Tapi, di setengah perjalanan menuju kota Bangko akan terbentang aspal yang mulai rusak sana-sini. Sepanjang 30 menit itu, sesekali air mata saya mengalir begitu saja.

Saya berpamitan kepada bibik dengan menahan air mata. Saya memasuki mobil dan duduk tepat di belakang supir travel. Saya lupa jenis mobil apa yang saya tumpangi kala itu. Lalu, supir menjemput tiga penumpang dan satu supir lagi di loket yang tidak jauh dari loket pertama saya dijemput.

Di sana, ternyata harus menunggu sebentar. Karena ada satu karung entah berisi apa, sedang dimuat di atas mobil. Butuh beberapa waktu sekitar 5-10 menit saya menunggu dengan berdiri. Karena saya tidak melihat ada kursi kosong yang bisa saya duduki.

Hingga akhirnya, saya dan semua penumpang masuk ke dalam mobil dan memulai perjalanan. Cukup lapang saya di dalam. Saya duduk di tengah bersama seorang bapak paruh baya. Di belakang, seorang perempuan dan satu abang supir cadangan. Di sebelah supir travel, duduk seorang laki-laki yang sempat menoleh ke arah saya sebentar. Yang mulanya saya kira anak kuliahan tapi ternyata bukan. Jadi total di dalam mobil ada empat laki-laki dan dua perempuan.

Perjalanan kali ini, merupakan perjalanan paling sendu. Dua tahun tidak berpergian, sekali berpergian dengan hati yang sedang tidak baik-baik saja. Saya mengenakan masker untuk menutupi wajah dan membuang muka ke arah jendela (sebelah kiri). Sesekali mengayuh doa, menyapa Allah dengan linangan perasaan yang sangat dalam.

Di tengah pandangan saya ke luar jendela, tiba-tiba bapak paruh baya yang duduk di sebelah saya menyapa,

“Kuliah di mana, nak?”

Saya tertegun. Jujur, saya sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Saya mewanti-wanti, jangan sampai diajak berbincang panjang lebar. Bukankah niat saya di jalan pulang ini untuk mengayuh doa dan tidur-tiduran hingga akhirnya tiba di rumah.

Saya jawab pertanyaan beliau masih setengah hati, “sudah selesai pak.”

Beliau masih melemparkan pertanyaan lagi. Seperti kuliah di mana, jurusan apa, kerja di mana sekarang, mau pulang ke mana, dan pertanyaan sejenis lainnya.

Ada sebuah ucapan beliau yang saya tidak habis pikir, bingung, dan ingin tertawa.

“Kalau ada bukaan PNS cari yang di Bangko saja. Kerja di Bangko saja. Atau tinggal di rumah bapak saja.”

Seorang bapak paruh baya melontarkan ungkapan itu kepada orang yang baru dijumpai dengan intonasi yang cukup antusias. Saya bingung harus membalas ucapan beliau seperti apa. Saya hanya mengucapkan kalau saya tidak terlalu betah di Bangko karena suhunya yang panas.

Saya dan beliau terus saja terlibat dalam obrolan panjang. Saya yang mulanya tidak antusias, mendadak penasaran setelah mengetahui bahwa beliau berasal dari Sijunjung. Sejak tahun 1988 setelah menerima SK PNS mengajar, beliau tinggal di Bangko.

Obrolan kami membahas banyak hal. Saat membahas tentang Padang, menambah kadar semangat saya untuk menimpali obrolan beliau. Seketika, mereda sejenak kegalauan yang meliputi diri. Obrolan asal usul keluarga, tentang Curup, perjalanan kuliah, mengajar, dan segala hal lainnya. Hingga beliau bertanya berapa usia saya sekarang.

Seorang laki-laki yang duduk di sebelah abang supir travel itu ikut menimpali,

“Kalau dilihat dari tahun tamat kuliah kelahiran 98 ya?” Ujar laki-laki itu.

“Bener,” jawab saya.

“Masuk 25 tahun pak,” Saya menjawab pertanyaan bapak paruh baya itu.

“Sudah ada ancang-ancang mau menikah?” Beliau bertanya lagi. Dan kali ini saya mulai menahan senyum. Karena ini merupakan pertanyaan yang yang yang. Yang apa coba? Heheheh.

“Kalau jodoh belum nampak di depan mata. Belumlah pak ada ancang-ancang mau menikah.” Saya jawab dengan senyuman lebar. Kan, memang lagi singelillaah. Hehehe.

Beliau tertawa mendengar jawaban saya. Kemudian, obrolan kami memasuki tahap “perihal menikah”.

Tanpa saya bertanya, beliau bercerita jika anak perempuannya sehabis kuliah di UPI Padang, memperoleh kerja sebagai pegawai Bank di Bengkulu. Qodarullaah, hingga akhirnya berjodoh juga dengan orang setempat. Sekarang, anak perempuannya telah hijrah menemani suaminya yang tengah melanjutkan pendidikan di Aceh.

Saat beliau menceritakan tentang anak perempuannya ini, seperti terdengar beliau sedang menahan rindu. Tergambar jika beliau sangat menyanyangi anak perempuan satu-satunya. Merasa kehilangan saat telah berjauhan. Tapi, akhirnya dari ungkapan beliau, sudah bisa mengikhlaskan jika pada akhirnya anak perempuannya memperoleh jodoh yang jauh dan pergi dibawa oleh suaminya.

Saya dan beliau sempat sedikit debat perihal jodoh. Saya sampaikan bahwa saya lurus-lurus saja kuliah di Padang. Tidak ada pulang membawa jodoh. Saya seraya berkelakar dihadapan beliau. Wkwkwk.

Kemudian, tiba-tiba beliau melemparkan satu ungkapan terkenal di dunia google. (Setelah saya searching lebih lanjut di rumah).

“Yunita tahu gak dengan ungkapan ini?” Tanya beliau.

“Apa pak?” Saya berbalik tanya.

“Asam di gunung, ikan di laut. Bertemu mereka di kuali yang sama.”

“Maksudnya, sejauh mana laki-laki dan perempuannya jika memang sudah jodohnya akan bertemu juga.” Ujar beliau dengan semangat dan senyum merekah.

Saya speechless. Hahaha. 1-0.

Hingga akhirnya travel yang kami tumpangi berhenti di Masjid Raya Sarolangun. Masyaa Allaah, saya, beliau, tiga laki-laki ini semuanya melangkahkan kaki ke masjid untuk menunaikan shalat dzuhur. Sebelum travel benar-benar berhenti, saya berujar dengan bapak paruh baya ini.

“Jarang-jarang ketemu supir travel yang tiap jam shalat berhenti di masjid pak.”

Tidak lama kemudian, ucapan saya ditimpali oleh laki-laki yang duduk di depan saya.

“Supir kita ini datuaak.” Ucapnya.

Saya seorang diri melangkahkan kaki ke ruang wudhu perempuan. Saya membuka masker sambil bercermin. Duh, kusamnya muka saya. Terbesir rasa malu di hadapan bapak tersebut. Kira-kira terbaca tidak muka saya ini kusam karena tersapu air mata sepanjang hari?

Di pemberhentian waktu shalat itu, saya punya feeling jika laki-laki yang duduk tepat di depan saya bukan anak kuliahan. Tapi, laki-laki kelahiran tahun 1992, anak bapak paruh baya yang mengajak saya berbincang di sepanjang jalan. Lupa-lupa ingat, laki-laki itu juga kerap menoleh ke belakang ke arah bapak tersebut. Juga memanggil beliau dengan sebutan, “pah.”

Jarak tempuh Bangko ke Curup sekitar 7 jam. Selama itu juga ada jeda saya tidur-tiduran atau memandang jalan ke arah jendela. Pak Edi (begitu akhirnya saya mengetahui nama beliau. Capek, sejak awal nulis selalu pake kata “beliau” heheheh) juga berbincang dengan kedua supir travel dengan bahasa Minang. Ada juga kami hanya termenung. Senyap. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Ada sebuah momen di mana saya yang kerap memandangi jalanan dari sebelah kiri jendela, juga sama halnya dilakukan oleh laki-laki yang duduk di depan saya. Dia pun beberapa menit mengarahkan kepalanya ke arah kiri. Saya mulai was-was, jangan sampai muka saya terpantul di kaca spion mobil sebelah kiri. Tapi, sepertinya tidak.

Setelah menunaikan shalat dzuhur, akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi. Terdengar, laki-laki di depan saya berbincang dengan supir travel dengan bahasa Minang, membahas tentang seluk beluk penjualan sawit.

Di Rupit, kami berhenti di sebuah rumah makan sederhana. Saya ragu, makan atau tidak. Karena memang tidak punya nafsu makan. Tapi, Pak Edi mengajak saya untuk makan bersama dan duduk di sebelahnya. Saya ragu, tapi beliau setengah memaksa.

“Sini makan sama bapak, jangan malu-malu.” Pintah Pak Edi.

Akhirnya, dengan sedikit terpaksa saya duduk di sebelah beliau. Dan agak terkejut, saat anak laki-laki Pak Edi (laki-laki yang di dalam travel duduk di depan saya itu) duduk tepat di hadapan saya. Ya Allaah. Malu. Entah mengapa ada sesuatu yang membuat saya sangat malu. Grogi. Salting. Nasi Padang dengan ayam bumbu itu seperti tidak tertelan di tenggorokan. Ditambah lagi, dengan nasinya ada dua gundukan mangkok kecil. Heheh, satu gundukan nasi tidak habis saya makan.

Di momen makan itulah, saya membuka masker. Terasa jika Pak Edi dan anak laki-lakinya langsung menoleh ke arah saya. Kan, terpaksa lepas masker. Bagaimana hendak makan kalau masker masih menutupi mulut ini. Saat sedang mengunyah nasi yang telah disiram kuah gulai, eeh seekor kucing yang sedang hamil mengelus kaki saya. Dengan penuh cinta kekucingan, saya mencuil sedikit ayam dan melemparkannya ke bawah meja.

Anak laki-laki Pak Edi, dengan lembut (hem) berujar,

“Yunita suka kucing?” Tanyanya.

“Iya.” Jawab saya. Hanya iya saja atau lengkap dengan “bang” nya, saya sudah lupa. Hahahaha.

Pak Edi berujar, melihat saya langsung mengingatkannya dengan anak perempuannya di Aceh.

“Melihat Yunita, mengingatkan bapak dengan anak perempuan bapak di Aceh. Kak Nia namanya.” Dua kali beliau melontarkan ini. Cukup membuat saya terharu.

Setelah selesai makan, saya punya feeling kalau makan ini sepertinya akan dibayarkan oleh beliau. Tapi, saya segan. Karena kami kan baru pertama kali jumpa. Sama-sama asing. Saya berusaha menyampaikan pelan-pelan, untuk yang saya, biar saya sendiri saja yang bayarnya. Tapi, Pak Edi menolaknya.

“Biar abang yang bayarin.” Ujar beliau.

“Gak papa Yunita. Sudah abang bayarkan.” Ujar Bang Rian. (Akhirnya, tahu namanya kan. Heheh.)

Di dalam travel sehabis makan, Pak Edi meminta saya untuk menyimpan nomor telepon beliau. “Simpan nomor telepon bapak. Jika Yunita butuh pertolongan hubungi saja bapak. Atau jika ke Bangko lagi jangan lupa mampir.”

Saya simpan nomor beliau. Lagi-lagi speechless. Untuk pertama kalinya sepanjang pengalaman naik travel baru pertama kali bertemu dengan teman perjalanan yang menyentuh hati dan sangat berkesan. Di tengah badai cobaan ini, Allah menghadirkan orang asing untuk menjeda sejenak kesedihan yang menyayat hati.

Di perjalanan lagi, saya berusaha untuk tidur-tiduran. Tapi, ternyata hanya tidur ayam. Masih terdengar dengan jelas, Bang Rian dan abang supir itu berbincang. Kali ini, obrolan mereka perihal jodoh. Terdengar oleh saya, jika Bang Rian belum menikah. Sepintas dan seingat saya, beliau berujar seperti ini dengan abang supir.

“Sudah sampai usia saya sekarang ini, belum juga saya menikah karena memang belum menemukan. Saya ingin menemukan yang langsung membuat hati saya bergetar. Mau diajak hidup apa adanya, sehidup semati. Bla bla.”

Hingga di kalimat sehidup semati itu dipatahkan oleh abang supir. Karena jangan sehidup semati. Tapi, sesurga. Sampai akhirnya, abang supirnyalah yang menceritakan kisah perjalanan beliau dengan istrinya. Logat Bang Rian dan abang supir kental sekali minangnya. Wkwk. Memang mereka menggunakan bahasa Minang. Di tengah obrolan mereka berdua, sepertinya Pak Edi tertidur. Karena tidak menimpali obrolan mereka.

Di jalan pulang yang sebentar lagi tiba di rumah, Pak Edi membuat hati saya sangat terenyuh.

“Sebentar lagi Yunita sampai di rumah. Bapak Yunita pasti kangen dengan Yunita.”

Jujur, mendengar beliau mengucapkan ini dengan lembut dan melihat wajahnya yang teduh lengkap dengan kacamata, saya ingin menangis sejadi-jadinya. Sebentar lagi saya akan tiba di rumah, sebentar lagi berpisah dengan beliau, sebentar lagi gejolak kesedihan datang lagi. Duka akan terbuka lebar. Menganga pedihnya.

“Bapak Yunita masih di C2, pak.” Jawab saya.

Sepertinya, beliau kaget.

Hening.

Akhirnya, saya berhenti di depan gang rumah. Pak Edi masih setengah terkantuk. Ingin bersalaman tapi segan. Saya berpamitan dan mengucapkan satu kalimat (yang diam-diam saya berharap semoga bisa bertemu lagi).

“Pak, Yunita duluan. Sampai jumpa lagi.”

Saya sedikit kesulitan membuka pintu mobil. Bang Rian mencoba membantu dan sedikit berbasa-basi,

“Siapa tadi namanya? Yusita?” Ujarnya.

“Salah.” Jawab saya singkat.

“Eeh.” Ujarnya.

“Yunita.” Jawab saya pada akhirnya.

Pertemuan dan perkenalan berakhir seiring mobil travel hilang di ujung jalan. Entah, percakapan apa lagi yang terjadi di dalam mobil travel tersebut. Ada perasaan nyes di hati. Perasaan sedih karena harus berpisah. Pertemuan dengan Pak Edi yang sebentar ini begitu berkesan di hati.

Sosok laki-laki pensiunan guru berusia 65 tahun yang menenangkan hati. Bertemu beliau, seperti kembali teringat sosok Pak Amril semasa kuliah. Orang yang tidak memiliki ikatan darah dan keluarga, tapi terasa nyaman seperti bapak sendiri.

Sesampai di rumah, saya langsung membuat instastory instagram, menulis singkat pertemuan kami. Agar bisa tersimpan di jejak digital. Betapa saya sangat bersyukur telah dipertemukan dengan orang baik, supir travel yang religius, dan perjalanan yang bermakna ini.

Keesokan pagi, hati saya masih tidak tenang. Masih memikirkan Pak Edi. Ternyata nomor teleponnya tidak terhubung ke WhatsApp. Saya seperti ada dorongan untuk mengirim pesan SMS ke Pak Edi. Siapa tahu masih terhubung. Tapi, harapan untuk terhubung lagi itu tipis. Atau bahkan tidak ada sama sekali.

Meski begitu, saya tetap mengirimkan satu pesan SMS melalui nomor Telkomsel yang tidak terhubung via WhatsApp. Wkwkw. Ya Allah. Karena jika saya SMS beliau dengan nomor IM3, tidak sejalur dengan nomor beliau yang Telkomsel.

Bismillaah,
Assalamu’alaikum, Pak Edi.

Ini yunita yang kemarin ditraktir bapak makan di jalan. Ini no yunita pak. Siapa tahu kalo bapak main ke bengkulu dan lalui curup, bisa singgah ke rumah yunita.

Kalau no WA ini pak, 0857********

Ternyata, saking grogi atau perasaan yang campur aduk, saya salah mengetik nomor WhatsApp. Wkwkkw. Akhirnya saya SMS kedua kalinya membenarkan nomor WhatsApp. Aaah ribet.

Dari jam ke jam, tidak kunjung dibalas. Berusaha mencari sosial media dengan kata kunci nama Pak Edi, tapi tidak kunjung bertemu.

Mungkin, memang benar. Pertemuan dan perkenalan mungkin hanya sebatas di perjalanan.

***

Angdes dan Jejak Bisu Kita

Ini adalah angkutan desa yang paling andal untuk berangkat dan pulang sekolah. Juga menjadi alat transportasi untuk pergi kemana-mana sebelum akhirnya bisa mengendarai motor sendiri.

Angdes yang titik awalnya di Lubuk Linggau menjadi angdes favorit di pagi hari. Karena mamang supir terbiasa membawa mobilnya secepat kilat dengan cukup lihai. Dibanding angdes yang titik awalnya di Simpang Bukit Kaba. Perbandingan keduanya bisa selisih 5 sampai 10 menit.

Lumayan kan?

Semakin hari, penumpang angdes semakin sepi. Kecuali pagi hari atau jam pulang anak sekolah. Kita tahu, sudah jarang orang mau naik angdes. Sudah dibabat habis dengan roda dua. Termasuk saya. Tapi, alasan saya adalah mengendarai motor lebih menghemat pengeluaran. Saya harus mengeluarkan uang 20 ribu (pulang pergi) jika naik angdes ke tempat kerja. Karena saya juga harus nyambung naik ojek agar sampai di lokasi. Lumayan, sebulan bisa 600 ribu. Hihih.

Angdes ini adalah angkutan masa lalu, masa sekarang, juga masa depan. Punya kenangan tersendiri saat masih duduk di bangku sekolah. Mamang supir dengan para penumpang dibatasi dengan kaca (jendela) dan di sebelah mamang supir ada satu kursi yang bisa diduduki oleh 1 atau 2 penumpang. Biasanya, kalo zaman sekolah dulu, diisi oleh anak laki-laki.

Nah, saat beberapa hari menjadi siswi SMP, saya melihat seorang anak laki-laki bersama temannya duduk di sana. Sesekali saya juga meliriknya melalui kaca spion. Tapi, tidak berlangsung lama karena ia lebih dulu keluar dari angdes. Waktu itu, saya bergumam dalam hati,

“oh ternyata kita satu sekolah.”

Jejak penasaran dengan dia itu masih terasa hingga dewasa ini. Huft. Tentu ini bukan alur cerita fiksi yang dipastikan berujung bahagia.

Ststs. Sudah.

Pake rumus kehidupan, “Jika yang terbaik, maka dipertemukan. Jika terbaik tidak berimbang, maka berusahalah di sepertiga malam. Jika tidak didekatkan, maka lanjutkanlah roda kehidupan (bersama orang lain).” []

—–
Poto, 17 April 2022 (sehat-sehat ya pak. Semoga rezeki kita selalu dicukupkan oleh Allah. Aamiin)
—–

Curupers

Ada satu perasaan yang tiba-tiba nyees di hati. Saat pulang dari rumah Icaa setahun yang lalu. Hari itu kami menghabiskan waktu berdua cukup lama. Beberapa hal diobrolkan hingga ke ranah pribadi yang selama ini tidak saya tahu sama sekali sejak berteman dengan Ica di awal kuliah.

Takut kehilangan. Perasaan itu tiba-tiba menjalari diri. Karena tidak lama kemudian Ica akan kembali lagi ke Padang. Padahal belum tentu kalau kami masih sekampung, akan lebih sering bertemu. Tapi, perasaan sedih itu tidak bisa dibohongi. Entahlah.

Perasaan itu pun timbul kembali. Saat baru-baru ini kami menghabiskan waktu bersama hingga pulang larut senja. Sebelum tidur, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Tentang pertemuan ini. Yup. Kadang, untuk beberapa hal (saya) mudah sekali baper. Mudah terenyuh. Mudah takut (kehilangan) teman yang akan pergi. Padahal, kan masih bisa bertemu atau berhubungan via pesan elektronik.

Pun, andai bertemu setiap hari, apakah bisa memiliki perasaan seperti ini? Pasti akan ada cekcok, selisih paham, dan hal lainnya sebagai bumbu-bumbu pertemanan.

Hem.

𝑱𝒂𝒖𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒋𝒆𝒅𝒂. 𝑱𝒆𝒅𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒏𝒊𝒂 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊. 𝑳𝒂𝒍𝒖 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒖𝒌𝒂𝒓 𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒌𝒆 𝒉𝒂𝒕𝒊.

See you next time, Ummi Icaa. Sehat-sehat dan semoga selalu dipenuhi cinta dan kesabaran di Padang Panjang. []

—–
Poto, 4 Januari 2023
—–

Bersama Perempuan Hebat dengan Pengalaman Berharga

30 Juni 2020, saat suasana pandemi Covid-19 sedang hangat-hangatnya. Saya dan teman-teman (Sinta dan sepupunya, Dian, Puput, Ikke) mengadakan pertemuan dengan orang-orang hebat di Balai Desa Karang Jaya. Kami diajak untuk membuat komunitas yang diisi oleh para perempuan dengan kegiatan tulis-menulis seputar lingkungan.

Panjang waktu mendiskusikan nama komunitas baru itu. Tapi, akhirnya, disepakati kami akan melanjutkan komunitas yang sempat vakum yang dirintis oleh Mbak Intan dkk. Kami melanjutkan yang sudah ada dengan beberapa anggota baru seperti kami. Nama komunitas itu, Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia atau disingkat KPPSWD.

Jujurly, saat itu bahagia sekali bergabung dengan mereka. Orang-orang hebat seperti Mbak Intan, Bang Dedek, dan Bang Harry dengan ilmu menulis dan sepak terjang pergerakannya dalam menebar manfaat untuk sekitar. Alam dan perempuan. Kebanggaan tersendiri pernah mengenal, bercengkerama, diajarkan ilmu menulis, diajak membaca problem perempuan hubungannya dengan pengelolaan alam.

Seiring waktu, banyak agenda yang diikuti bersama mereka. Sesekali ke Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) untuk pengukuran lahan yang boleh diolah oleh ibuk² KPPL. Sering juga kami pergi ke Hutan Madapi di Pal 8. Berinteraksi bersama perempuan-perempuan hebat. Lalu, malam harinya, pusing bagaimana mengolah data dan hasil wawancara kami menjadi sebuah tulisan ciamik.

Soal menulis, saya jatuh bangun mengatur semangat dalam diri. Tulisan saya berulang kali harus direvisi. Melakukan wawancara ulang dan kekurangan bahan. Disitulah saya berpikir saya tidak berbakat menulis. Selain menulis catatan harian tanpa kaedah. Wkwk.

6 bulan di KPPSWD, dan akhirnya beranjak pergi karena memilih untuk beralih. Belajar di sekolah ‘Aisyiyah bersama anak-anak. Tapi, meskipun begitu,  sangat bersyukur telah diberi pengalaman berharga dari KPPSWD di saat pandemi. Sosok Mbak Betty, founder media non profit “Bincang Perempuan” salah satu sosok perempuan super hebat yang saya kagumi pergerakannya diam-diam. []

—–
Poto, paruh akhir 2020
—–

Overthinking

Suatu hari, membaca pesan WA dari seseorang. Jlep! Mendadak hati menjadi panas. Bukan panas hendak marah. Tapi ingin menangis sejadi-jadinya. Langsung badmood dan tubuh lemas tidak bersemangat. Akhirnya, meminta seorang teman membaca pesan itu.

Ternyata, isi pesan WA itu dimaknai berbeda antara saya dengan teman saya. Sudut pandang kami berbeda. Teman saya dengan segala positive thinking-nya. Dan saya dengan segala pikiran buruk yang berakhir dengan kepanikan.

Pernah menghubungi seseorang melalui pesan WA, tapi hanya dibaca saja. Pernah coba-coba rusuh di grup WA agar tidak sepi, tapi tidak ditanggapi. Lalu, berujung overthinking dan merasa diri tidak dihargai. Duh. Rumit. Padahal, setiap orang punya kesibukan masing-masing lho. Tidak hanya berkutat perkara balas-balasan WA. Ya Allaah, harus banyak-banyak istighfar untuk diri sendiri.

Pernah juga, saat berjumpa dengan seseorang ia menyuguhkan sikap cuek atau ketika sedang menimpali candaan saya malah diacuhkan. Lagi-lagi overthinking, “sepertinya beliau tidak suka dengan saya.”

Padahal, bisa jadi ia banyak pikiran hingga terbawa saat berjumpa dengan saya. Bisa jadi ia tidak mendengar candaan saya yang bersuara pelan ini. Ah, saya sudah kadung menyimpulkan hal buruk untuk diri  sendiri.

Huft. Overthinking kerap terjadi dan sulit dihilangkan. Memperumit perasaan. Juga melelahkan badan. Padahal apa yang saya pikirkan belum tentu begitu adanya. Belum tentu terjadi. Belum tentu semua orang akan membenci apa yang saya lakukan. Belum tentu mereka akan mencemooh. Toh, kalau pun dicemooh, hidup mana yang semua akan disukai banyak orang? Hidup apa kata orang?

Yang tidak bisa kita kendalikan atas orang lain adalah persepsi mereka kepada kita. Hari ini mungkin kita dibanjiri pujian, bisa jadi suatu hari saat kita melakukan secuil kesalahan mereka datang dengan segudang cacian.

Please, kurang-kurangi overthinking. Bukankah hidup ini fana dan absurd. Jadi, apa yang perlu dikhawatirkan selain amal kebaikan di hadapan Tuhan?

—–
Poto, 26 Mei 2019
—-
#30haribercerita