Setiap orang memiliki definisi berbeda-beda dalam memaknai sebuah kebahagiaan. Kapan ia akan merasa bahagia dan kapan juga ia akan merasa berduka. Sebagian memandang bahwa bahagia akan datang saat ia telah mencapai sesuatu. Umumnya sih pencapaian tentang pekerjaan, uang, impian, jodoh, dan lainnya. Tidak sedikit juga mereka akan membandingkan dirinya dengan keberhasilan orang lain.
Saya termasuk orang yang selalu membandingkan diri dengan cermin orang lain. Belum merasa bahagia kalau belum seperti mereka dengan banyak pencapaian. Sikap insequre akut ini tentu membuat saya sulit bahagia. Merasa iri dan kerap menangisi nasib. Buruknya lagi rasa ketidakpercayaan muncul sehingga saya tidak pernah bisa menghargai diri sendiri.
Saat kuliah saya harus menghemat uang pengeluaran. Uang yang dikirim ibu seratus ribu seminggu harus cukup untuk makan tiga kali sehari dan berbagai keperluan lainnya. Sehingga jika ada acara-acara yang mengharuskan untuk makan di luar saya banyak absennya. Dari sinilah saya merasa berbeda dari teman-teman. Sebagian mereka juga menganggap saya pribadi yang anti sosial begitu karena tidak mau bergabung dengan mereka.
Soal memiliki banyak buku pun saya merasa tidak percaya diri dengan teman saya di sebelah. Saya hanya bisa membeli buku jika benar-benar ada uang lebih dan beasiswa setahun sekali. Saya seperti merasa tidak menjadi mahasiswa sungguhan. Hobi baca kok tidak punya modal buku.
Belum lagi hal-hal lain yang membuat saya bukan apa-apa. Saya tidak bisa seperti A yang punya bakat ngomong di muka umum. Tidak seperti B yang punya bakat nulis dan sudah punya buku sendiri. Tidak juga seperti si C yang kabarnya tahun ini akan melanjutkan kuliahnya lagi di pulau seberang.
Sungguh sikap seperti ini tidaklah membahagiakan jika diukur hanya sekedar main perbandingan. Rumput tetangga memang selalu hijau kalau hanya dilihat dari sekilas mata saja. Hijaunya ditakdirkan untuk membuat orang-orang merasa iri dan rendah diri.
Kemarin, saya baca postingan http://tirto.id tentang perkara insequre. Sangat bermanfaat untuk dicatat ulang dan diperagakan dalam melanjutkan hidup lebih bahagia lagi.
Memang sih sikap membandingkan diri dengan orang lain adalah sikap alamiah manusia. Kita pasti pernah ngomong begini,
“Kok dia bisa, tapi aku enggak.”
Tirto ngasih dua dampak yang wajib diketahui. Pertama, dampak positif, terlaksananya kompetisi sehat dan termotivasi untuk mengejar yang lebih tinggi.
“Orang lain bisa, aku juga pasti bisa.”
Kedua, dampak negatif dari sikap itu adalah kita merasa gagal, inferior, rendah diri, dan lainnya.
“Aku ma apa sih,”
Kita dituntut untuk bisa mengolah sikap membandingkan diri seefektif mungkin. Setidaknya ada lima poin penting untuk digarisbawahi:
- Menemukan panutan di bidang masing-masing
- Memiliki kelompok sosial yang mendukung
- Memiliki rekan seperjuangan
- Mengingat pencapaian yang sudah pernah diraih
- Menghindari kompetitor negatif (verywellmind)
Mulai sekarang berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain jika itu membuat kita malah dijauhi sikap positif. Semuanya wajib berbahagia dengan caranya masing-masing. Buya Hamka pernah menyampaikan,
“bahagia itu dekat dengan kita. Ada pada diri kita.”
Jemput bahagia itu. Tetap punya pikiran yang positif. Setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Allah telah memberikan banyak kebaikan pada hamba-hamba-Nya. Temukan kebaikan itu pada diri kita. Dekap kuat dan cintai diri kita. Inget, sebelum mencintai orang lain tidak boleh tidak harus mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Ini teori cinta mencintai supaya tidak sakit hati. Hihihh.
Fastabiqul Khoirot, berlomba-lombalah dalam kebaikan. Selain menghitung banyak kegagalan kita juga perlu menghitung pencapaian meski hanya hal-hal sederhana saja. Saya pernah menang doorprize saat kegiatan Jelajah Bhineka karena aktif dan benar menjawab pertanyaan. Lumayan dapat satu kaos putih yang saya pakai saat menulis ini dan satu tumblr yang sering saya gunakan menyimpan air hangat untuk begadang.
Jangan lupa bersyukur. Kita perlu menarik kepala ke bawah. Banyak orang-orang -dalam kacamata kita- tidak beruntung. Tapi mereka mampu menikmati hidup bahagia dengan cara mereka.
Saya harus seperti orang-orang yang saya kagumi diam-diam. Setidaknya saya punya (minimal) semangat seperti mereka. Sebagai panutan, penuntun ke mana saya harus melangkah pada jalan kebaikan.
Tunggu, temani saya.
***