Tidak Menjadi Apa-apa Dulu

Poto pribadi

Sudah sejauh ini melalui bulan demi bulan tanpa duduk di bangku perkuliahan lagi. Tidak lagi duduk bersama perempuan-perempuan penggerak lingkungan. Tidak lagi bercengkerama, ngopi bersama, memadu kehangatan membicarakan berbagai hal seperti dulu. Semua sudah berbeda.

Jika menghitung banyak kesempatan yang hilang, sungguh pelik mengatur perasaan. Apa pun mimpi indah di masa kuliah, semua sudah terbentur oleh realita. Jauh rasa manis yang pernah dibayangkan. Tapi, hidup adalah proses belajar memilih arah jalan. Saya sudah memilih itu dengan sadar. Akhir Desember 2021 saya memutuskan untuk bekerja. Atau lebih tepatnya belajar untuk bekerja. Menghidupi diri seperti salah satu list impian setelah kuliah.

Disela menikmati rutinitas yang stagnan, pergi pagi pulang hampir petang itu, terkadang terselip rasa rindu. Datang begitu saja di tengah kesibukan. Ingatan masa kuliah, tumbuh dengan orang-orang yang membuka pikiran, serta tentang Padang dan segala kenangan.

Tidak mudah berdamai dengan diri sendiri. Menguatkan diri bahwa hari ini masih samar-samar akan masa depan. Belum terbuka mimpi untuk melanjutkan sekolah. (Salah satu list mimpi yang paling atas.)

Lalu, apakah harus melihat ke belakang? Tidak. Jangan setiap saat. Mungkin hal yang paling baik hari ini adalah untuk tidak menjadi apa-apa dulu. Biarlah segala mimpi diendapkan. Jika sudah datang waktunya, semoga mimpi-mimpi itu kembali hangat. Yang sudah terbentang sekarang pun harus disyukuri. Bisa menghirup udara dingin Kota Curup dengan iringan deru nafas pagi. Masih bisa melepas penat di langit-langit kamar bercat biru ini. Juga menikmati sebagian upah keringat (yang masih di bawah UMR), membantu menghangatkan dapur meski tidak banyak, dan masih banyak lagi. Atau setidaknya, bisa membeli kopi, buku, dan membeli makanan yang dibawa oleh bapak-bapak di pinggir jalan.

Alhamdulillah. Syukur, syukur, syukur sebanyak mungkin.

Tentunya, Sepuluh bulan ini, adalah dunia baru. Dunia kerja. Dengan selipan kisah-kisah yang tiap bulannyaย  berbeda-beda. Tapi tidak pernah jauh-jauh dari; jodoh, uang, teman, dan karir. Hih, jodoh? Kapan-kapan saya akan bercerita. ๐Ÿคญ

***

Suatu Hari Nanti

Jika suatu hari nanti, aku dapat bertemu dengan dirimu lagi. Lebih dekat, hingga bisa menatap kacamata di wajahmu, aku ingin mengulang kenangan yang makin membiru.

Masa-masa terpaku, tanpa suara, mengalihkan wajah, seakan-akan aku dan kamu adalah orang asing di tengah keramaian. Tidak pernah saling kenal. Saat bertemu hanya mematung, hanya ada gurat mata yang menembus perasaan kita.

Jika suatu hari nanti, ada kesempatan memihakku. Ada harapan yang boleh kurengguh. Aku ingin sekali bercerita padamu. Tentang lembaran catatan harian sepuluh tahun lalu. Namamu berserakan di dalam. Tak berurut, tak pernah tersentuh, tak ada defenisi jelas bagaimana aku bisa berani menulis dua kata dari namamu.

Tapi, apakah keinginan itu lekas menjadi nyata? Apakah ada ruang kosong untuk kita duduk bersama?

(Ditunggu lima tahun lagi. Kabar baik yang bisa kudengar dari kakak berkacamata.)

***

Nb:
Seharusnya kita bisa berteman dekat. Banyak bercerita dan berbagi. Bukan asing-asingan kemudian menundukkan kepala.

Dua Teman Baru dari Tanah Melayu

Semenjak menyentuh tanah Maninjau, saya mulai mencintai Minangkabau. Meski belum seluruh daerahnya saya datangi. Cinta itu pelan-pelan datang. Mengalir setiap hari. Bisa jadi cinta akan datang saat kita telah bertemu. Bertukar rasa dan mendengar suara saat bicara. Karena dari sanalah, kita bisa memastikan apakah ia benar-benar menerima kita sepenuh rasa atau tidak. Begitulah Maninjau yang saya rasakan dulu.

Selanjutnya, saya mulai menaruh hati di Tanah Melayu. Riau dan sekitarnya. Bukan tanpa sebab, semenjak kepulangan study tour dua tahun lalu, beberapa kenangan menjelma keinginan untuk mengunjungi tanah itu lagi. Karena terbatas waktu, semua perjalanan tiga hari itu terasa begitu singkat. Hanya meninggalkan jejak tidak terlalu banyak.

Jejak itu ditandai dengan kehadiran dua teman baru yang masih bersama hingga hari ini. Hubungan jarak jauh, berbagi kabar, bertanya seputar perkuliahan, dan hal-hal lainnya.

Irma, menjadi teman yang sering menghubungi saya. Awal-awal dulu, kami sering menghabiskan malam untuk membalas pesan-pesan WA. Bercerita apa saja. Paling banyak bercerita soal perasaan. Sebagai sesama perempuan, hal itu bisa menghabiskan waktu panjang. Cinta selalu makan waktu tanpa ada penyelesaian.

Satunya lagi, Ardi, laki-laki yang sebelumnya juga pernah bertemu saat kegiatan Limfisa di Palembang. Sayangnya, kami tidak pernah mengobrol barang sepatah pun selama di sana. Saya hanya melihat dia berbicara dalam lingkaran bersama teman-teman dari UIN Raden Fatah. Sedangkan saya hanya duduk diam di tepian. Tidak berselera untuk bergabung dan menunjukkan suara.

Hanya sejam sebelum kepulangan, dia dan Bang Hamzah temannya berbicara dengan teman saya. Menunggu kedatangan kami di UIN Suska dua minggu lagi. Saya hanya tersenyum saja. Tanpa mau berbasa-basi. Kan sudah diwakilkan oleh ketum HMJ saya. Entahlah, selama di Palembang itu mood saya benar-benar kurang baik. Malas sekali mengeluarkan suara. Akibatnya, banyak orang tidak mengenali saya. Hanya satu dua saja.

Setelah dari negeri mpek-mpek itu, saya semakin sibuk mengurus seluruh administrasi keberangkatan kami menuju Pekanbaru. Saya pun mengontak Ardi, selaku pengurus HMJ di sana. Karena WA telah dimodif bisa berbagi story, saya pernah menggunggah pin HMJ. Ardi melihat dan meminta saya untuk membawakannya nanti.

Perjalanan kami pun tiba. Sangat menyenangkan. Saya pun bahagia sekali. Mandi hanya sekali dalam sehari. Makan bersama, tidur di dalam bus, dan segala hal gokil yang membuat seisi bus bersuara dan tertawa. Jujur, perjalanan kali ini lebih indah dari pada di Palembang dulu.

Kami disambut oleh tabuhan rebana dan shalawat. Beberapa orang yang memakai baju Melayu mengalungkan rangkaian bunga pada bunda Kajur dan Ketum HMJ. Lagi-lagi saya berdiri di belakang. Sambil mengamati sekitar dan mengabadikan momen penyambutan itu.

Tidak lama kemudian mata saya beradu pandang dengan Ardi. Dia tersenyum menyapa saya pelan,

“Kak,”

(Kami belum tahu kalau kami sepantaran. Jadi masih pakai kak dan bang).

Saya berbalas senyum, ternyata dia masih ingat wajah saya. Oh, iya, lupa. Saya kan sering mengunggah poto di story WA. Tentu kentara wajah saya saat berhadapan langsung dengannya.

Akhirnya, saya dan teman-teman berkumpul di ruang pertemuan. Setelah acara formal berlangsung, masing-masing dari kami saling berkenalan. Antar HMJ AFI. Tibalah perkenalan dari saya. Jujur, saya paling tidak suka memperkenalkan diri. Di satu sisi, saya grogi, suara saya lembut selembutnya perempuan (lain waktu saya ceritakan betapa jelek suara saya), dan saya lebih suka kalau kenalan itu tidak di ruang publik begitu.

Saya mengawali dengan salam. Suara kecil, lembut mendayu, yang awalnya grogi lalu entah ada bisikan dari mana saya mendadak membuat lelucon sampai orang-orang di ruangan itu tertawa. Oh, Yunita. Tutup muka. Beuuh! Malu-malu kucing, tapi akhirnya malu-maluin beneran.

Mungkin sejak saya memperkenalkan diri, saya merasa ada yang sedang memperhatikan saya. (Lagi kepedean). Saya lebih banyak menunduk sambil main HP dan mengabaikan perasaan itu. Di belakang ada Bang Hamzah. Dia sibuk memperkenalkan makanan yang ada di depan saya.

“Kalo kue ini ada enggak di Padang?”

Begitulah, basa basi agar tidak kelihatan diam-diam baek.

Acara ini memang dikejar-kejar waktu. Setelah makan siang, duduk lagi di taman FU, akhirnya datang sesi poto bersama. Ini momen paling banyak menghabiskan waktu. Semuanya lebur jadi satu. Setiap teman-teman saya dipastikan pulang dengan membawa nomor WA baru. Termasuk saya.

Karena sudah lelah, saya duduk dipinggir taman bunga. Di sanalah saya berkenalan dengan Irma dan saling bertukar no WA. Selanjutnya hubungan kami makin dekat dan sempat bertukar kado dengan perantara orang ketiga. Ada teman Irma yang kuliah di UIN IB. Melalui dia, paket kami datang.

Roni, teman sekelas saya, memanggil agar saya mendekat. Dia sedang berbicara dengan Ardi. Lalu, dia menyampaikan keinginan Ardi yang ingin berpoto dengan saya. Jlep!

Duh, sejak kapan laki-laki asing melirik saya yang lecek begini. Saya menerima ajakan itu. Berdirilah saya dengan Ardi sejajar. Dibidik kami berdua melalui HP teman Ardi.

Proses berpoto ini lama sekali. Bunda Kajur Ardi melirik kami sambil tersenyum. Sebenar-benarnya grogi. Bus sudah menunggu saya. Saya berpamitan dan sedikit berlari kecil menuju bus. Sesampai di dalam, Roni menyampaikan sesuatu lagi. Ardi meminta pin HMJ. Saya sangka Ardi telah melupakan pin itu. Ternyata dia masih menginginkannya sebagai kenangan. Diantarlah pin itu oleh Roni keluar. Saat itu bus masih memanaskan mesin. PHP kan, saya kira bakalan cus, eh masih jalan di tempat.

Sepanjang jalan, ada satu buah pesan WA masuk dari Ardi.

“Hati-hati ya. Gak mabuk kan?”

Bla bla, basa basi yang tampak basi sekali. Maklum, saya tidak pernah dibasa basi in sama laki-laki. Jadi pas baca seperti itu sudah saya vonis, basa basi.

***

Ternyata cerita masih berlanjut sampai dua minggu sejak kepulangan dari Pekanbaru. Saya seperti punya sahabat pena. Meski penanya sudah diganti dengan kecanggihan teknologi. Mengirim pesan, tidak sampai satu menit sudah sampai tergantung kecepatan sinyal saja. Hem, kalau saya hidup di masa di mana berkirim surat adalah hal tren dan barang yang paling ditunggu-tunggu, saya bakalan bahagia sekali. Lembaran surat bisa diabadikan. Setiap kalimat yang ditulis melalui jari dan pikiran yang sungguh-sungguh. Bisa jadi jauh dari berbasa basi. So sweet.

Suatu malam Ardi bercerita, dia sering memandangi meja saya saat pertemuan itu. Menurutnya, ada sesuatu yang menarik dalam diri saya. Maka dari itu, ia menyampaikan keinginannya melalui Roni agar bisa berpoto dengan saya.

Menarik seperti apa?

Saya bertanya dengan rasa curiga yang dalam. Ini laki-laki maunya apa sih.

“Perasaan gak bisa dijelaskan. Apalagi ditulis pakai kata-kata.”

Dia hanya mengirim pesan ngalor ngidul tidak berujung. Sampai hari ini pun saya tidak tahu apa maksudnya. Dengan Irma saya ceritakan itu. Irma lebih tahu banyak dari pada saya yang hanya bertemu dua kali.

Bulan-bulan selanjutnya kami sudah jarang berkirim pesan. Sesekali, untuk urusan perkuliahan. Lebih dari itu, tidak. Saya atau pun Ardi memiliki kesibukan dan kehidupan sendiri.

Satu tahun yang lalu, dari sekian banyak panggilan telepon yang tidak saya jawab. Sekali lagi, suara saya jelek saat ditelepon. Lebih jelek dari mendengar langsung. Sehingga saya paling enggan ditelepon laki-laki. Saat KKN di Koto Baru, untuk pertama kalinya kami bertukar suara selama 45 menit dengan meminjam HP dan paket nelpon gratis teman saya. Soalnya, jaringan internet (telepon via WA) lola (loading lambat).

Saya benar-benar lupa suaranya.

“Ini benarkan Ardi? Bukan orang lain?”

Ujar saya dengan dipenuhi rasa buruk sangka kadar tinggi.

“Iya benar, ini Ardi yang kita poto bersama dan ada bunda Kajur di belakang.”

Barulah saya percaya. Tidak ada obrolan yang penting. Cuma berbalas kata-kata. Seperti balas puisi begitu. Hadeeuh. Cukup sekali ini saja. Teman-teman saya yang mendengar obrolan kami, suara saya ding, tertawa terbahak-bahak.

***

Lalu, apa yang ingin saya sampaikan dari cerita ini? Perjalanan selalu memberikan hal-hal indah yang tidak terduga. Selama ini saya datar-datar saja dengan Melayu. Tapi, semenjak pertemuan itu dan bertambahnya teman baru, maka rasa tertarik muncul begitu saja. Irma dari Rokan Hulu, di sana masih sedikit-sedikit berbahasa Minang. Sedangkan Ardi dari ujung Riau, Indra Hilir, benar-benar berbahasa Melayu. Tapi tidak sama dengan bahasa Melayu Upin Ipin.

Sebuah kebahagiaan bagi saya jika datang teman baru yang tidak sungkan untuk bertukar cerita. Menerima dan sedia mendengar meski berjauhan jarak. Bertambah teman maka bertambah lah relasi kita di luar. Jika sewaktu-waktu saya datang lagi ke sana, ada Irma dan Ardi sebagai teman/saudara yang bisa “menyambutsaya.

Irma sosok yang welcome, baik hati, dan suka memasak. Hihihih. Begitu pun Ardi, dia punya cara tersendiri untuk memulai sebuah pertemanan. Hal ini dijelaskan juga oleh teman saya dari Bukittinggi yang sama ikut acara Limfisa di Palembang dulu. Ia lebih banyak bertukar pikiran selama dua hari dengan Ardi.

Banyak teman, membuka pikiran. Teman maya atau pun juga teman nyata. Tapi, paling penting dari pertemanan adalah pertemuan. Bagi saya.

***