(Refleksi 2023) Mana Baiknya Allah Saja

Selamat jalan waktu yang sudah banyak berlalu di 2023. Cerita-cerita yang paling berharga dan penuh dengan pembelajaran. Menguatkan, menguji iman, kebahagiaan, pertemuan, dan kesedihan mendalam karena kehilangan.

2023 merupakan tahun yang paling akan saya ingat sepanjang hidup. Ada satu buku diary berwarna merah, di dalamnya ada satu cerita yang paling berharga. Rutin saya tulis setiap waktu, dari bulan Februari hingga 12 Agustus. Satu cerita lengkap, pengalaman pertama, dan sebuah kebahagian yang akhirnya harus selesai sampai di sana dengan begitu saja.

Ada suatu malam, akhir-akhir ini, saya ingin melihat resolusi di tahun sebelumnya di dalam buku itu. Tidak sengaja saya membuka satu halaman terakhir yang membuat saya overthinking sepanjang malam. Sulit memejamkan mata.

Hem.

Dulu, saya tidak percaya mengapa seseorang bisa patah hati begitu mendalam. Tidak percaya seseorang bisa merasa kehilangan teramat besar hingga tidak memiliki nafsu makan dan kesehatan menurun. Dari yang periang menjadi tidak punya tujuan hidup.

Dulu, saya skeptis dan meragukan mengapa seseorang bisa begitu mudah mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Masalah besar apa yang gagal mereka tanggung sendiri? Hingga mendahului Tuhan dan memilih menyerah dengan masalah tersebut.

Itu dulu.

2023 ini saya mengalaminya sendiri. Namun, ada satu hal yang masih tersisa. Sejatuh-jatuhnya mental saya, pedihnya hati, runtuh di sana-sini, saya masih takut dengan kematian. Saya belum sanggup pulang dengan amal ibadah yang hanya sedikit ini.

Akhir-akhir ini pun betapa banyak peristiwa bunuh diri mewarnai sosial media kita. Saat membaca itu, saya pun tertegun. Tidak berkomentar apa-apa apalagi men-judge seperti dulu.

Saya pun sadar, dibalik kesedihan mendalam itu, Allah masih sedia hadir di sudut hati saya. Benarlah, iman dan keyakinan dengan Allah, secara tidak langsung menguatkan kita. Dengan berdzikir, setidaknya bisa menahan sedih kita agar tidak terlalu dalam. Meski setelah itu, sesuatu yang nyes di hati kembali datang. Sesuatu yang kosong dan hampa kerap hadir dan memberikan bayang-bayang.

Kita tidak bisa menjamin dan berdoa agar dijauhkan dari segala masalah. Sebab, Allah sudah berkata dari masalahlah iman manusia akan diuji. Jadi, saya memohon dengan-Nya, sebesar apapun masalah, tolong hadir di setiap waktu. Karena dengan Allah-lah, hari yang berat, hati yang tidak kuat, akan bisa tertolong.

Jujurly, saya tidak tahu mengapa, ada rasa deg-degan untuk menjalani 2024 ini. Pun ada rasa penasaran, cerita apalagi yang akan Allah suguhkan. Bakal ada banyak rintangan seperti di 2023 atau malah ada banyak hal bahagia seperti yang diharapkan.

Tapi, sama seperti harapan kita semua, saya berharap 2024 akan menjadi tahun yang lebih baik dari sebelumnya. Tetap menuliskan resolusi dan perencanaan lainnya.

–Perihal Impian

Setelah pulang dari Kelas Salaam Summit, ada semacam harapan dan doa paling dalam.

“Kira-kira masih punya kesempatan kuliah lagi tidak ya?”

“Kira-kira udah seusia ini masih ada kesempatan untuk mengembangkan diri lagi tidak ya?”

Saya mengalami di mana saya sedang meragukan apa yang sedang saya jalani saat ini. Disaat banyak orang memiliki pekerjaan dan tetap bisa mengembangkan dirinya dengan baik, sedangkan saya belum bisa menggapai itu karena beberapa hal.

Saya mengalami semacam kapan bisa merasakan wisuda dengan sakral karena mengingat saat saya lulus kuliah itu bertepatan dengan datangnya pandemi Covid-19.

Pun saya mengalami semacam rasa cemburu saat ada banyak teman telah selesai S2/S3 nya, bisa mengikuti PPG dan semacamnya. Sedangkan saya hanya bisa jalan di tempat.

Dua minggu liburan sekolah akhir Desember ini, menjadi momen saya untuk merenung dan merencanakan sesuatu. Tapi, saya tidak berharap banyak apa yang ingin saya capai. Saya ingin menjalani 2024 dengan tidak terlalu mengebu-gebu. Tapi, ada satu hal yang ingin digapai. Atau tepatnya, ingin dicoba untuk dipelajari selama satu tahun ini. Kemudian, 2025 saya akan melihat apakah ada bayang-bayang lebih jelas tentang impian saya dan kemana arah tujuan saya dalam pendidikan dan pekerjaan.

Tapi, saya menyadari, rasa lelah selepas pulang bekerja membuat saya tumbang selepas Isya. Tidak punya tenaga lagi untuk belajar atau mengembangkan diri otodidak di malam hari. Begitupun, habit yang ingin di bangun gagal berantakan karena rasa lelah. Entahlah, di tahun 2024. Akan sama seperti ini atau ada tekad yang lebih kuat untuk membuat saya istiqomah.

–Perihal Pertemanan

Seiring waktu, circle pertemanan semakin menyempit. Teman yang masih dibersamakan bisa dihitung jari. Pun teman lama yang masih terhubung apalagi. Begitulah, teman sejati itu diri kita sendiri.

Beberapa teman sudah sibuk dengan kehidupan barunya. Ada yang telah menikah, pergi merantau, dan lainnya. Tapi, kebanyakan telah menikah. Secara tidak langsung, teman yang telah menikah dan kita yang masih singelillah (seperti saya) akan ada sesuatu yang berbeda. Baik waktu bersama maupun dari segi obrolan. Hem. Tapi, sebenarnya ini bukan sebuah kendala sih untuk tetap nyambung dan sefrekuensi. Hanya saja waktu memang menjadi hal yang berbeda. Karena prioritas bukan lagi teman tapi pasangan. Hihihi.

Saya ingat sebuah perkataan dari seorang teman, Uni Dwi namanya.

“Yun, teman yang sebenar-benarnya itu ya pasangan hidup.”

Dari segi pertemanan, saya kerap merefleksikan diri. Karena ada masa di mana, apa yang diharapkan kerap membuat saya merasa kecewa. Di sana saya menyadari, di mana letak kesalahan saya. Baik dari segi memahami pertemanan, siapa yang harus lebih memahami. Lalu, saat saya masuk ke circle sebuah pertemanan, apakah saya bisa tetap menjadi diri sendiri?

Juga, terkadang, saya merasa lebih nyaman ke mana-mana sendiri. Tapi, di bagian lain, saya lebih nyaman bersama teman-teman. Memang memahami diri sendiri itu butuh waktu yang panjang. Saya sangat berterima kasih dengan teman-teman yang telah menyayangi saya dengan tulus. Sudi menerima segala sifat aneh dan kekurangan saya. Saya yang kadang memang mudah moodyan soal waktu.

Salah satu kenikmatan berteman adalah, jika seorang teman bisa membawa energi baik untuk kita. Apalagi menjadi support system dari segi apapun. Teman bermimpi, teman bertukar pendapat, bahkan teman beribadah.

— Pasangan

Wkwkw

Ini pembahasan yang sekarang sulit untuk dibahas. Hihihi. 2024 besok saya tidak tahu jodoh akan didekatkan atau belum sama sekali. Untuk soal pasangan saya angkat tangan dan menyerahkan sepenuhnya dengan Allah.

Bukan perihal mati rasa karena pernah kecewa tentang ini, tapi lebih ke;

“Mana baiknya Allah saja.”

Semoga Allah mempertemukan saya dengan sebenar-benarnya jodoh saya. Bukan lagi tentang come and go. Bukan yang datang hanya singgah dan penasaran belaka. Please. Yang dihadapi ini manusia punya hati. Jadi, mohon jangan main-main. (Wkwkw). Seorang partner hidup yang menjadi support system dalam membangun hidup bersama dunia dan akhirat.

Sebuah aamiin yang paling mendalam.

Juga menikah bukan perihal siapa yang paling duluan. Tapi, tentang kesabaran menunggu sampai dipertemukan. Memang sih, saat teman-teman kita semua telah menemukan jodohnya, di sana saya berpikir kira-kira siapa jodoh saya ya. Tapi, mana mungkin juga jodoh datang secepat kilat turun dari langit. Semua butuh proses dan kehati-hatian. Hem.

–Media Sosial dan Blog

Ada rasa lelah dan jenuh saat melihat sosial media akhir-akhir ini. Postingan teman-teman yang lulus P3K, menikah, wisuda, dan sebagainya membuat saya menjadi tidak berarti. Huft.

Lemah sekali Yunita ini ya.

Semakin banyak saya membaca quotes patah hati, semakin sulit saya melepas diri dari bayang-bayang masa lalu. Oleh karena itu, saya ingin mencoba untuk puasa instagram. Hem. Kira-kira bisa tidak ya?

Semoga bisa. Dimulai dari 2024 besok. Sebenarnya dari dua minggu yang lalu sudah mulai mengurangi membuka instagram @yuniitaaa98. Semoga awal tahun besok lebih istiqomah. Lebih privat. No update-update story. Simpan saja poto terbaik di memori HP.

Juga saya berharap segala cerita yang ingin segera ditulis, tidak lagi saya posting di story instagram. Tapi, lebih ke blog Ruang Bercerita saja dan membagikan segala potret-potretnya di sini. Ruang aman untuk bercerita apa saja.

–Harapan

moodbooster senin-jumat

Semoga 2024 menjadi tahun yang lebih menyenangkan, banyak cerita, banyak dipertemukan teman-teman baru yang membawa kebaikan. Serta, orang tua yang sehat dan bahagia. Pun, semoga doa ibu untuk saya Allah perkenankan di 2024.

Semoga dijauhkan dari orang-orang yang zalim, penuh dengki, dan tidak menyukai kita. Pun, semoga saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Tetap stay privat untuk kehidupan pribadi. Semoga.

Akhir cerita,

Semoga kegagalan di 2023 akan menjadi sebuah keberhasilan di 2024. Segala pertanyaan yang belum terjawab di 2023, Allah beri jawabannya di 2024.

2023 bener-bener ngasih tahu kalau tugas kita sebagai manusia adalah bertahan. Mau gimana pun takdirnya dijalani aja. Dibisa-bisain dan dikuat-kuatin.

Instagram//dnquote

[]

(Refleksi 2023) Bersyukur dengan Sadar

Dari sekian banyak alur 2023 yang sudah dijalani, tidak ada alasan untuk tidak bersyukur atas segala yang terjadi. Kadang, ada semacam alur berantai.

“Kalau tidak karena itu. Mungkin tidak akan terjadi seperti ini.”

Meskipun konotasi kalimat ini, bisa tentang hal baik atau hal yang dirasa tidak baik.

Misalnya,

“Kalau kita tidak dipertemukan waktu itu. Mungkin saya tidak merasakan patah hati yang sakitnya belum pulih hingga hari ini.”

Hiks.

Saya merasa 2023 ada beberapa cerita yang bermula dari alur berantai. Dari masa lalu, atau masa sekarang yang membuat kita bisa menggapai sesuatu.

Awal Mei 2023, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke Jawa (Solo dan Yogyakarta). Serta untuk pertama kalinya menaiki pesawat. Hihihi. Ada pekerjaan di sekolah yang telah saya lakukan dan qodarullaah salah satu murid yang mengikuti program sekolah yang saya ketuai itu berhasil menerima prestasi di bidang literasi. Hingga, akhirnya saya diajak oleh kepala sekolah untuk pergi ke Solo menghadiri Festival Literasi dari Nyalanesia.

Tahun 2022, saya punya satu impian, saya ingin ke Jakarta atau Yogyakarta. Tapi, tidak dengan uang sendiri. Saya rasa dengan gaji saya yang biasa-biasa saja, tidak cukup untuk membiayai perjalanan itu. Kecuali, menabung dengan niat yang kuat berbulan-bulan.

Tapi, ternyata, setelah berhasil melalui satu masalah terbesar dalam hidup saya, –di 2023– Allah mengantarkan saya untuk sejenak melihat dunia luar. Saya pikir, Allah sedang memberi hadiah terbaiknya selepas apa yang sudah saya lalui. Alhamdulillaah.

Dari momen perjalanan bersama kepala sekolah, saya semakin mengagumi beliau secara personal. Keshalihannya, kebaikannya, beberapa ujian dalam memimpin, dan masih banyak lagi. Tapi, saya punya prinsip, teman secara personal dan teman kerja itu berbeda. Saya lebih menyukai teman secara personal yang tidak menyangkut-pautkan dengan pekerjaan. Hihihi.

Sepanjang di perjalanan itu, saya benar-benar menikmatinya. Sesekali mencoba menghafal alur check in di bandara dan cara melihat nomor kursi pesawat. Momen ini saya benar-benar tidak tahu. Pengalaman berharga sih. Dalam hati saya bergumam,

“Hem, nanti kalau entah dari mana takdirnya, kalau pergi sendirian harus sudah tahu cara-caranya. Supaya tidak ndeso banget.”

Hehehe.

Tapi, kepala sekolah berkata,

“Yunita, jangan pergi sendirian. Kalau bisa ada temannya.”

“Suami.”

Sejak dahulu, saya ingin sekali ke Jawa. Bagaimana rasa dan suasananya. Ada satu impian, ingin sekali bisa kuliah lagi di Jawa. Tapi, sampai hari ini, mimpi itu belum bisa digapai.

Namun, saya bersyukur, Allah telah menghantarkan saya untuk melihat rumah-rumah penduduk yang mayoritas menggunakan genteng itu. Beda dengan kampung saya di Curup, Bengkulu. Mayoritas atap rumah menggunakan seng.

Cerita selanjutnya, akhir September, di mana saya benar-benar terpuruk karena patah hati. Berulangkali saya berkata dengan diri sendiri.

“Jangan hancur ya. Harus kuat. Meskipun sulit sekali untuk melapangkan hati.”

Secara tidak sengaja saya melihat satu postingan ajakan mengikuti Kelas Salaam Summit di instagram dan di hari terakhir saya mencoba untuk mendaftarkan diri dengan mengisi essay dengan berbagai pertanyaan tentang keberagaman dan toleransi.

Dengan niat terbesar untuk menyibukkan diri. Agar saya tidak terlalu terpuruk dibayang-bayangi kenangan. Serta hal yang tidak bisa digapai bersama seseorang yang telah terlanjur disayang dengan dalam.

Yang paling speechless adalah batas usia pendaftaran maksimal berusia 25 tahun. Usia saya telah mentok di sana. Ternyata, saya masuk menjadi 100 peserta yang akan mengikuti kelas zoom selama 2 minggu (5 pertemuan). Ada satu hari, saya izin tidak masuk kerja. Demi mengikuti Kelas Salaam Summit ini. Sebab, ada satu penilaian kehadiran, keaktifan, dll yang akan menjadi pertimbangan untuk menjadi 30 peserta yang akan diberangkatkan ke Yogyakarta mengikuti kelas Offline. Saya tergiur dan merasa tertantang dengan prinsip,

“Coba aja dulu. Pake maksimal.”

Kelas online dimulai, saya benar-benar insecure dengan peserta yang masih muda dan masih aktif kuliah. Lengkap dengan public speaking dan pengetahuan yang luar biasa. Ada rasa tidak percaya diri. Pun peserta yang seramai itu pasti kesempatan untuk bertanya sangat sedikit sekali. Karena masing-masing dari mereka saling menunjukkan keaktifan tersendiri. Saya punya akal, akhirnya saya aktif dan sibuk nimbrung di kolom chat zoom. Hihih.

Namun, di tengah jalan, saya kembali down. Di sela saya mengikuti zoom, tiba-tiba ada sesuatu yang nyes di dalam hati. Saya kembali teringat atas sesuatu yang telah patah. Saya tidak bisa konsentrasi. Huhuhu, saya benar-benar merasa menjadi perempuan bodoh karena itu. Gagal mengendalikan diri. Gagal melapangkan hati. Dihujam masa lalu setiap hari.

Menangis.

Tapi, jika saya berhenti mengikuti zoom, saya telah mengorbankan satu hari saya untuk tidak pergi bekerja. Juga hanya 2 hari lagi kelas zoom berakhir. Sayang kalau harus berhenti sampai di sini.

“Bisa yuk. Kuat yuk. Siapa tahu Allah akan menghantarkan Yunita ke Jogja lagi sebagai obat patah hati. Hihihi, lumayan kan, dua kali patah hati, dua kali ke Jogja gratis.”

Konyol.

Kelas Salam Summit via online berakhir juga. Saya lalui dengan tertatih-tatih. Semangat belajar dengan suasana diri lagi terpuruk itu nano-nano sekali rasanya. Sedang mendengarkan narasumber berbicara, tiba-tiba pikiran melayang-layang ke masa lalu. Begitu seterusnya. Sungguh, ini cobaan dua puluh lima tahun. Pertama kalinya seperti ini. Hihihi. Semoga 2024 pulih seperti sedia kala.

Kelas Salaam Summit via online ini dibagi menjadi beberapa kelompok dengan dibimbing oleh satu kakak fasilitator. Saya bersyukur dipertemukan dengan kakak fasil yang sangat menginspirasi. Setiap saya membaca postingannya di instagram, seperti ada semangat baru untuk diri saya. Namanya, Kak Santi.

Satu minggu kemudian masuk satu email dari Indika Foundation. Saya buka email ini di sekolah setelah mengawas anak-anak shalat dhuha. Masyaa Allaah. Saya menerawang jauh ke belakang. Dahulu, saat masih kuliah di semester 6 atau 7, saya pernah mencoba ikut kegiatan ini yang tepatnya di Jakarta. Namun, saya gagal. Lalu, empat tahun kemudian, kegiatan yang hampir serupa datang menghampiri saya.

Sesungguhnya, tiap-tiap kita selalu ada waktunya.

Akhirnya, saya ke Jogja kembali. Tiga hari tidak masuk kerja. Tapi, kesempatan seperti ini belum tentu datang untuk kedua kalinya. Saya bersyukur di usia 25 tahun ini, Allah masih memberikan ruang untuk bertemu teman baru. Belajar lagi yang materinya masih terkait dengan kegiatan selama kuliah dulu. Pun saya bersyukur untuk diri saya yang tiga tahun terakhir stagnan di kampung sendiri. Namun, masih memiliki pekerjaan untuk menghidupi diri.

Banyak hal yang sudah saya peroleh di sana. Ilmu baru, bertemu tokoh-tokoh hebat, dan teman baru. Terimakasih banyak Kelas Salaam Summit. Pengalaman berharga di 2023. Tidak pernah ada bayangan bahwa akan ke Jogja dua kali di tahun yang sama untuk ukuran saya yang biasa-biasa saja ini.

Ketemu Mbak Kalis dan Pak Lukman Hakim
Bersama Kak Santi
Sebelah kiri, Azizah dari Riau. Sebelah kanan Mbak Nadia dari Jawa (lupa jawa mana)

Di akhir acara, masing-masing peserta membuat surat kecil untuk dikirim ke peserta lainnya. Ada satu surat yang kalimatnya membuat saya terharu. Pun, ternyata, saya juga mengirim surat untuk beliau. Hihihi.

Surat dari Kak Misbah
Surat dari Kak Santi

Surat dari Kak Santi, langsung jlep di dalam hati. Semangat menjalani semua mimpi dan kebaikan yang kamu percaya. Kalimat ini semacam alarm untuk diri saya.

“Yunita, hatimu boleh patah karena seseorang. Karena dalam hidup ini, kita tidak bisa mengendalikan sikap seseorang atas kita. Tapi, di bagian lain, masih ada yang bisa kita kendalikan. Semua mimpi dan kebaikan yang kita percaya.”

“Kalau masih dibayang-bayangi masa lalu, bersabarlah. Insyaa Allaah, waktu akan menyembuhkan dengan cara sendirinya. Biar alam bekerja. Mungkin saat ini Allah masih ingin melihat sejauh mana Yunita bertahan. Sakit, bangkit. Begitu seterusnya.”

Kalau memang begitu ceritanya, jadikanlah rasa sakit itu sebagai penggugur dosa. Sebab, hidup ini hanya tempat singgah sementara. Patah hati, ada surga di pelupuk mata. Hihihi.

Banyak hal yang harus disyukuri secara sadar. Hal-hal kecil hingga hal terbesar. Selalu ada kemudahan dibalik kesulitan. Selalu ada hikmah di setiap yang patah. Meski, ada satu yang belum bertemu hikmahnya, semoga di 2024 hikmah dan jawaban itu tertera dengan jelas.

Tidak semua hal sulit yang datang, langsung disegerakan kemudahannya. Tidak semua pertanyaan, selalu bisa dijawab saat itu juga.

Semangat, Yunita.

[]

(Refleksi 2023) Mencintai Kehilangan

Huft. 2023, memang tahun melankolis. Tahun di mana banyak hal yang tidak disukai berubah menjadi hal yang paling berharga sebagai pembelajaran. Apapun yang tidak mengenakkan hati pasti menyimpan hal baik yang akan membentuk diri.

Tahun ini, saya belajar memaknai sebuah kehilangan. Tentang seseorang yang sudah terlanjur saya sayangi, sebagai bagian dari keluarga. Tempat mengaduh resah, tempat bercerita, dan bersenda gurau. Luruh hati saat mendengar suara beliau. Selalu ada hal baik setiap berbincang dan bertukar pikiran.

Namun, entah tanpa sebab, komunikasi kami terputus. Jarak rumah saya dengan beliau terbilang jauh. Lintas daerah. Beberapa kali saya hubungi via telepon, tapi tidak lagi terhubung.

Lagi-lagi, kehilangan.

Bahwa, tiap-tiap kita selalu ada masanya. Mungkin masa saya dengan beliau sudah berakhir. Hanya sampai di sana.

Yang fana adalah waktu, cerita kita abadi

Bersama beliau selalu saja ada gelak tawa. Sosok yang baik, yang selalu ada di masa titik terendah saya dahulu. Menguatkan saya dengan banyak nasihat. Jujurly, saya merasa sangat terbantu dengan kehadiran beliau. Dukungan moril yang tidak mungkin saya bisa membalasnya.

Meski sekarang telah jauh, tidak ada alasan untuk berhenti untuk menyayangi. Beliau selalu ada di dalam hati. Selalu disebut di tiap-tiap doa panjang. Saya selalu ingat obrolan terakhir kami;

Doa orang tua menembus langit. Begitupun doa anak untuk orang tuanya.

Apakah masih ada kesempatan untuk bertemu kembali?

Kangen.

[]

-sambil dengerin lagu Seribu Pelukan di Spotify

(Refleksi 2023) Perihal Patah Hati, Saya adalah Pemula

Kurang dari seminggu, segala cerita di 2023 akan berlalu. Tidak ada kabar baru dari masa lalu, pun tidak ada kabar pasti dari masa depan. Hidup memang misteri dan penuh kejutan. Dan sebaik-baik perencanaan, ada rencana yang lebih indah dari sang pemilik kehidupan. Allah.

Kawan, tahun ini, 2023, adalah tahun yang paling membuat saya speechless atas segala yang Allah sajikan. Ada cerita yang sama sekali tidak bisa saya kendalikan mengapa ia datang membawa banyak kesedihan.

Saya pikir, 2023 akan menjadi tahun yang sama seperti sebelumnya. Jika tidak ada pencapaian, minimal ia tidak seburuk tahun yang lalu. Tapi, ternyata, tahun ini adalah tahun yang banyak memberi pembelajaran. Mungkin, bisa saja, pembelajaran untuk membentuk diri saya menjadi perempuan tangguh di usia dua puluh lima.

Hem. Sekarang, usia saya sudah menginjak dua puluh lima tahun lebih enam bulan. Tahun 2024 sudah beranjak menuju dua puluh enam. Usia akan terus bertambah seiring bertambahnya tahun-tahun yang dijalani kita semua.

Nah, di usia dua puluh lima di 2023 ini, sepertinya Allah sungguh ingin membentuk diri saya menjadi super women yang dilatih untuk kuat apapun caranya. Tapi, yakinlah, sebesar apapun cobaan Allah, saya belum merasa menjadi pribadi yang kuat, tangguh, dan baik-baik saja saat berita buruk singgah.

Menjadi kuat mungkin harus ditempah di waktu yang panjang. Tidak bisa hanya sekali.

Januari, saya berhasil mengikuti challenge #30haribercerita. Tuntas saya isi dengan banyak cerita selama 30 hari. Followers instagram saya yang hanya 700 an, berubah menjadi 900 sekian. Banyak cerita, bertambah pula pertemanan di media sosial dengan mereka yang satu frekuensi.

Bisa dibilang, Januari 2023 merupakan awal bulan di tahun baru yang menyenangkan. Pun sejumlah perencanaan sudah dicanangkan sedemikian rapi. Berharap tahun ini akan menjadi tahun yang indah, penuh cerita, dan buku diary bisa terisi penuh hingga halaman terakhir.

Cerita yang penuh dengan warna ketangguhan pun datang di minggu pertama bulan Februari. Dari bulan ini, Allah menyuguhkan satu cerita yang sama sekali tidak pernah ada dalam bayangan hidup saya selama dua puluh lima tahun. Cobaan Allah yang paling berat, dari segala banyak cobaan yang sudah saya tempuh.

Bingung, hampa, takut, terkejut, semua mendadak kosong dan tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk menghadapinya. Setiap hari berurai air mata, tidak punya selera makan, sulit tidur, dan hampir satu bulan penuh saya batuk kering yang membuat dada saya sakit karena tekanan batuk yang datang tiba-tiba.

Enam hari absen dari tempat kerja. Bolak-balik ke Jambi. Tapi, semua tidak menyelesaikan masalah. Semakin hari, ketakutan semakin besar datang. Saya sebagai anak perempuan pertama dalam keluarga, posisi saya benar-benar diuji Allah.

Di titik terpuruk itu, saya sadar, orang tua adalah titipan Allah. Saya sebagai anak tidak pernah tahu akan dilahirkan dari orang tua seperti apa. Juga tidak bisa memilih akan dibesarkan dari keluarga yang seperti apa. Masalah keluarga, sungguh, menjadi pembelajaran paling berharga yang menguji iman saya.

Kepada siapa saya layak untuk bersandar?

Disaat itu, saya ingat, bahwa hidup kita hanyalah sementara. Masalah yang besar, apapun akhirnya nanti, kita wajib melaluinya dengan berbesar hati. Berserah kepada Allah. Dia tidak akan mungkin memberikan cobaan kepada manusia, jika manusia itu sendiri tidak mampu melaluinya.

Sepanjang malam, saya berdoa dengan air mata yang tidak pernah berkurang meski tiap hari selalu mengalir di sudut mata. Saya meminta satu kali kesempatan kepada Allah, mohon kabulkan doa yang sangat dalam ini.

Hingga di waktu yang paling mendesak, di titik akhir masalah keluarga yang tengah saya hadapi. Jlep. Allah mengabulkan segala permohonan saya. Memberikan satu kali kesempatan yang paling berharga dari apa pun.

Satu ujian telah terlewati. Sangat berarti. Penuh pembelajaran. Dan tidak ada yang tahu, kecuali keluarga terdekat dan satu dua teman. Mungkin beberapa tetangga, namun, mereka memilih bungkam dan tidak banyak bertanya kepada saya.

Jalan hidup memang penuh misteri. Tidak ada firasat bahwa saya akan melalui cerita yang sedemikian epik konfliknya. Tidak ada firasat pun bahwa saya akan menghadapi sesuatu di luar kendali saya.

Saya sebagai manusia biasa. Hanyalah lakon yang segala ceritanya banyak dikendalikan Allah. Namun, Allah memberikan banyak daya dan kekuatan. Kembali lagi dengan saya, apakah saya berhasil menemukan kekuatan itu untuk tetap bertahan sesulit apapun medan kehidupan?

Selanjutnya, ada satu cerita lagi yang penuh dengan pembelajaran. Perihal patah hati, saya benar-benar pemula.

Di sini, sekali lagi, saya tidak bisa mengendalikan sikap orang lain terhadap saya. Apa yang ada dalam diri saya, biarlah ia yang menilai. Suka atau tidak. Nyaman atau tidak. Semuanya di luar kendali.

Begitupun dengan saya. Saya bisa mengendalikan perasaan saya untuk menyayangi seseorang atau tidak. Memberikan feedback yang baik atau tidak saat seseorang menyayangi saya.

Tapi, ternyata, saat saya mencoba belajar untuk menyayangi dan meyakini, semua harus patah begitu saja. Patah disaat semua keyakinan sudah terbentuk dari tiap sholat hajat yang dilakukan sebelum tidur.

Patah disaat tidak ada alasan yang begitu jelas untuk saya terima. Hanya bisa mengira-ngira dan itu semua tidak membuat saya bisa menerima dengan mudah. Sulit. Bahkan sampai hari ini.

Hem. Tapi, bukankah di sepanjang sholat hajat ada satu doa khusus paling dalam yang disuguhkan ke Allah?

Bisa jadi inilah jawabannya. Meski waktunya tidak tepat. Bagi saya.

Pasca itu, kesehatan saya mulai menurun, semangat berkurang bahkan hilang begitu saja. Di sepanjang jalan –pulang pergi– ke tempat kerja, dibayang-bayang oleh kenangan. Sakit. Sakitnya, bukan tentang amarah dan dendam. Tapi, sakit yang membuat hati saya tidak baik seperti dulu. Tenang dan lapang.

Kangen. Kangen saya yang dulu.

Apapun kondisinya, tetaplah jadi perempuan yang baik, rasa kecewa dan rasa sakit, tidak boleh merubahmu menjadi perempuan jahat.

Instagram//@abouthify

Tiap hari, saya meyakinkan diri. Bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah tentu ada hikmahnya. Ada sesuatu yang sedang Allah rencanakan. Hem. Tapi, memang butuh waktu untuk menerima segala yang terjadi. Selama 40 malam saya menenangkan diri dengan terus shalat hajat dan berzikir sebanyak mungkin. Menulis perasaan saya setiap hari selama 40 hari di dalam diary.

Tapi, sampai hari ini, telah empat bulan berlalu, masih tertatih-tatih saja rasanya. Hihih. Mungkin sebab tulus, hingga butuh waktu lama untuk pulih kembali.

Kita semua pernah salah langkah. Pernah salah ambil keputusan. Pernah salah merespon keadaan. Mungkin, karena kita belum tahu. Namanya juga proses. Kita tidak boleh berhenti belajar di setiap momennya.

Instagram//@dzikipratama__

Semua butuh waktu untuk menelaah semua cerita yang tidak mengenakkan hati. Tidak ada hidup yang demikian datar untuk dijalani. Apapun yang sudah terjadi –saya rasa– saya sudah berusaha menjadi fase terkuat hari ini. Pun, saya banyak belajar, apapun yang orang lakukan dengan kita secara tidak baik, itu tanggungjawab Allah dengan segala Maha Baik-Nya.

Semoga di 2024 segala hikmah nampak adanya. Bahagia lahir dari segala duka. Pelangi muncul dengan indah. Not my best year, but i learned lot.

[]

Jalur Langit

Pernah ada di momen, bahwa tidak ada yang bisa diandalkan selain Allah. Sama sekali tidak punya apa-apa, selain semuanya titipan Allah. Yang sewaktu-waktu Ia ambil lagi dari dalam pelukan.

Pernah ada di momen, bahwa saat kita dilahirkan ke dunia, orang tua hanya titipan Allah. Ada saat kita harus tetap berdiri, kuat, tanpa ada bantuan. Selain pertolongan Allah.

Pernah ada di momen, bahwa rebahan dan mudah terlelap untuk tidur adalah hal yang paling disyukuri. Di saat ingin tidur, tapi pikiran berputar-putar entah kemana. Mata enggan terpejam, sedang detak jantung mengalahkan putaran jam di tengah malam.

Pernah ada di momen, bahwa punya nafsu makan adalah hal yang paling disyukuri. Di saat kita sama sekali tidak mau makan hingga 12 jam lebih lamanya. Hanya masalah yang berat, sesuap nasi luput dari tubuh yang memiliki hak untuk tetap sehat.

Pernah ada di momen, di sudut kamar yang paling nyaman untuk bersandar, di hari-hari yang gelap tanpa harapan. Di sisa-sisa suara yang masih tersisa. Ada satu kalimat, di mana Allah terasa lebih dekat dari urat nadi kita. “Jika masih ada kesempatan sekali lagi, bolehkah berharap lebih?”

Lalu, entah dari mana perencanaan-Nya, Allah menyelipkan satu kalimat dari manusia baik pilihan-Nya. “Yang menguatkan kita hanyalah iman kepada Allah.”

Allah perintahkan untuk melepaskan apa yang memang menjadi titipan. Allah uji berapa besar kadar kepasrahan. Keikhlasan. Ketabahan. Juga kesabaran. Lalu, Allah kembalikan titipan-Nya lagi. Ditambah dengan pertemuan dan kedekatan dengan manusia-manusia baik yang memberi pembelajaran.

Benarlah, yang memang menjadi takdir tidak akan pernah melewatkan kita. Pun segala yang dijalani selalu ada campur tangan Allah. Mana yang memberi kebahagiaan. Mana yang hanya sebatas pengalaman. Juga bagian mana  yang hanya menjadi selingan. Agar hidup yang rumit ini tidak harus dijalani dengan satu arah. Satu cerita. Atau satu orang yang sama.

“Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar menurut garis edarnya.” [36:40]

Selamat merayakan hari keikhlasan dan pertambahan usia. Di Idul Adha. Bulan dua nabi mulia.

Sebuah Pertemuan di Jalan Pulang

Pinterest

Asam di gunung. Ikan di laut. Bertemu mereka di kuali yang sama.

-Pak Edi

Februari 2023 merupakan bulan paling berat dalam hidup saya di usia menginjak 25 tahun ini. Sungguh, cobaan hidup Allah kali ini begitu sulit untuk ditanggung. Menguras air mata setiap hari. Tidak nafsu makan sama sekali. Bingung, takut, tidak tahu langkah apa yang harus dilakukan untuk menghadapinya.

Minggu kedua di bulan Februari, saya absen dari tempat kerja selama tiga hari. Ada sesuatu yang harus diselesaikan. Meski, pada akhirnya tidak bertemu penyelesaian sedikit pun. Saya pergi ke Bangko (Jambi) untuk mencari secercah harapan. Berharap semoga semua cobaan ini akan segera berakhir. Namun, sepertinya Allah masih ingin melihat sejauh mana saya bisa bertahan dalam menghadapi cobaan ini.

Hari ketiga di Bangko saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Lagi-lagi berharap semoga di rumah menemukan jalan keluar. Bismillaah. Saya pulang dengan hati yang rapuh.

Bibik mengantar saya menuju loket travel di Tugu Pedang. Sekitar 30 menit dari rumah beliau. Melewati perkebunan sawit dengan jalan aspal yang masih bagus. Tapi, di setengah perjalanan menuju kota Bangko akan terbentang aspal yang mulai rusak sana-sini. Sepanjang 30 menit itu, sesekali air mata saya mengalir begitu saja.

Saya berpamitan kepada bibik dengan menahan air mata. Saya memasuki mobil dan duduk tepat di belakang supir travel. Saya lupa jenis mobil apa yang saya tumpangi kala itu. Lalu, supir menjemput tiga penumpang dan satu supir lagi di loket yang tidak jauh dari loket pertama saya dijemput.

Di sana, ternyata harus menunggu sebentar. Karena ada satu karung entah berisi apa, sedang dimuat di atas mobil. Butuh beberapa waktu sekitar 5-10 menit saya menunggu dengan berdiri. Karena saya tidak melihat ada kursi kosong yang bisa saya duduki.

Hingga akhirnya, saya dan semua penumpang masuk ke dalam mobil dan memulai perjalanan. Cukup lapang saya di dalam. Saya duduk di tengah bersama seorang bapak paruh baya. Di belakang, seorang perempuan dan satu abang supir cadangan. Di sebelah supir travel, duduk seorang laki-laki yang sempat menoleh ke arah saya sebentar. Yang mulanya saya kira anak kuliahan tapi ternyata bukan. Jadi total di dalam mobil ada empat laki-laki dan dua perempuan.

Perjalanan kali ini, merupakan perjalanan paling sendu. Dua tahun tidak berpergian, sekali berpergian dengan hati yang sedang tidak baik-baik saja. Saya mengenakan masker untuk menutupi wajah dan membuang muka ke arah jendela (sebelah kiri). Sesekali mengayuh doa, menyapa Allah dengan linangan perasaan yang sangat dalam.

Di tengah pandangan saya ke luar jendela, tiba-tiba bapak paruh baya yang duduk di sebelah saya menyapa,

“Kuliah di mana, nak?”

Saya tertegun. Jujur, saya sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Saya mewanti-wanti, jangan sampai diajak berbincang panjang lebar. Bukankah niat saya di jalan pulang ini untuk mengayuh doa dan tidur-tiduran hingga akhirnya tiba di rumah.

Saya jawab pertanyaan beliau masih setengah hati, “sudah selesai pak.”

Beliau masih melemparkan pertanyaan lagi. Seperti kuliah di mana, jurusan apa, kerja di mana sekarang, mau pulang ke mana, dan pertanyaan sejenis lainnya.

Ada sebuah ucapan beliau yang saya tidak habis pikir, bingung, dan ingin tertawa.

“Kalau ada bukaan PNS cari yang di Bangko saja. Kerja di Bangko saja. Atau tinggal di rumah bapak saja.”

Seorang bapak paruh baya melontarkan ungkapan itu kepada orang yang baru dijumpai dengan intonasi yang cukup antusias. Saya bingung harus membalas ucapan beliau seperti apa. Saya hanya mengucapkan kalau saya tidak terlalu betah di Bangko karena suhunya yang panas.

Saya dan beliau terus saja terlibat dalam obrolan panjang. Saya yang mulanya tidak antusias, mendadak penasaran setelah mengetahui bahwa beliau berasal dari Sijunjung. Sejak tahun 1988 setelah menerima SK PNS mengajar, beliau tinggal di Bangko.

Obrolan kami membahas banyak hal. Saat membahas tentang Padang, menambah kadar semangat saya untuk menimpali obrolan beliau. Seketika, mereda sejenak kegalauan yang meliputi diri. Obrolan asal usul keluarga, tentang Curup, perjalanan kuliah, mengajar, dan segala hal lainnya. Hingga beliau bertanya berapa usia saya sekarang.

Seorang laki-laki yang duduk di sebelah abang supir travel itu ikut menimpali,

“Kalau dilihat dari tahun tamat kuliah kelahiran 98 ya?” Ujar laki-laki itu.

“Bener,” jawab saya.

“Masuk 25 tahun pak,” Saya menjawab pertanyaan bapak paruh baya itu.

“Sudah ada ancang-ancang mau menikah?” Beliau bertanya lagi. Dan kali ini saya mulai menahan senyum. Karena ini merupakan pertanyaan yang yang yang. Yang apa coba? Heheheh.

“Kalau jodoh belum nampak di depan mata. Belumlah pak ada ancang-ancang mau menikah.” Saya jawab dengan senyuman lebar. Kan, memang lagi singelillaah. Hehehe.

Beliau tertawa mendengar jawaban saya. Kemudian, obrolan kami memasuki tahap “perihal menikah”.

Tanpa saya bertanya, beliau bercerita jika anak perempuannya sehabis kuliah di UPI Padang, memperoleh kerja sebagai pegawai Bank di Bengkulu. Qodarullaah, hingga akhirnya berjodoh juga dengan orang setempat. Sekarang, anak perempuannya telah hijrah menemani suaminya yang tengah melanjutkan pendidikan di Aceh.

Saat beliau menceritakan tentang anak perempuannya ini, seperti terdengar beliau sedang menahan rindu. Tergambar jika beliau sangat menyanyangi anak perempuan satu-satunya. Merasa kehilangan saat telah berjauhan. Tapi, akhirnya dari ungkapan beliau, sudah bisa mengikhlaskan jika pada akhirnya anak perempuannya memperoleh jodoh yang jauh dan pergi dibawa oleh suaminya.

Saya dan beliau sempat sedikit debat perihal jodoh. Saya sampaikan bahwa saya lurus-lurus saja kuliah di Padang. Tidak ada pulang membawa jodoh. Saya seraya berkelakar dihadapan beliau. Wkwkwk.

Kemudian, tiba-tiba beliau melemparkan satu ungkapan terkenal di dunia google. (Setelah saya searching lebih lanjut di rumah).

“Yunita tahu gak dengan ungkapan ini?” Tanya beliau.

“Apa pak?” Saya berbalik tanya.

“Asam di gunung, ikan di laut. Bertemu mereka di kuali yang sama.”

“Maksudnya, sejauh mana laki-laki dan perempuannya jika memang sudah jodohnya akan bertemu juga.” Ujar beliau dengan semangat dan senyum merekah.

Saya speechless. Hahaha. 1-0.

Hingga akhirnya travel yang kami tumpangi berhenti di Masjid Raya Sarolangun. Masyaa Allaah, saya, beliau, tiga laki-laki ini semuanya melangkahkan kaki ke masjid untuk menunaikan shalat dzuhur. Sebelum travel benar-benar berhenti, saya berujar dengan bapak paruh baya ini.

“Jarang-jarang ketemu supir travel yang tiap jam shalat berhenti di masjid pak.”

Tidak lama kemudian, ucapan saya ditimpali oleh laki-laki yang duduk di depan saya.

“Supir kita ini datuaak.” Ucapnya.

Saya seorang diri melangkahkan kaki ke ruang wudhu perempuan. Saya membuka masker sambil bercermin. Duh, kusamnya muka saya. Terbesir rasa malu di hadapan bapak tersebut. Kira-kira terbaca tidak muka saya ini kusam karena tersapu air mata sepanjang hari?

Di pemberhentian waktu shalat itu, saya punya feeling jika laki-laki yang duduk tepat di depan saya bukan anak kuliahan. Tapi, laki-laki kelahiran tahun 1992, anak bapak paruh baya yang mengajak saya berbincang di sepanjang jalan. Lupa-lupa ingat, laki-laki itu juga kerap menoleh ke belakang ke arah bapak tersebut. Juga memanggil beliau dengan sebutan, “pah.”

Jarak tempuh Bangko ke Curup sekitar 7 jam. Selama itu juga ada jeda saya tidur-tiduran atau memandang jalan ke arah jendela. Pak Edi (begitu akhirnya saya mengetahui nama beliau. Capek, sejak awal nulis selalu pake kata “beliau” heheheh) juga berbincang dengan kedua supir travel dengan bahasa Minang. Ada juga kami hanya termenung. Senyap. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Ada sebuah momen di mana saya yang kerap memandangi jalanan dari sebelah kiri jendela, juga sama halnya dilakukan oleh laki-laki yang duduk di depan saya. Dia pun beberapa menit mengarahkan kepalanya ke arah kiri. Saya mulai was-was, jangan sampai muka saya terpantul di kaca spion mobil sebelah kiri. Tapi, sepertinya tidak.

Setelah menunaikan shalat dzuhur, akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi. Terdengar, laki-laki di depan saya berbincang dengan supir travel dengan bahasa Minang, membahas tentang seluk beluk penjualan sawit.

Di Rupit, kami berhenti di sebuah rumah makan sederhana. Saya ragu, makan atau tidak. Karena memang tidak punya nafsu makan. Tapi, Pak Edi mengajak saya untuk makan bersama dan duduk di sebelahnya. Saya ragu, tapi beliau setengah memaksa.

“Sini makan sama bapak, jangan malu-malu.” Pintah Pak Edi.

Akhirnya, dengan sedikit terpaksa saya duduk di sebelah beliau. Dan agak terkejut, saat anak laki-laki Pak Edi (laki-laki yang di dalam travel duduk di depan saya itu) duduk tepat di hadapan saya. Ya Allaah. Malu. Entah mengapa ada sesuatu yang membuat saya sangat malu. Grogi. Salting. Nasi Padang dengan ayam bumbu itu seperti tidak tertelan di tenggorokan. Ditambah lagi, dengan nasinya ada dua gundukan mangkok kecil. Heheh, satu gundukan nasi tidak habis saya makan.

Di momen makan itulah, saya membuka masker. Terasa jika Pak Edi dan anak laki-lakinya langsung menoleh ke arah saya. Kan, terpaksa lepas masker. Bagaimana hendak makan kalau masker masih menutupi mulut ini. Saat sedang mengunyah nasi yang telah disiram kuah gulai, eeh seekor kucing yang sedang hamil mengelus kaki saya. Dengan penuh cinta kekucingan, saya mencuil sedikit ayam dan melemparkannya ke bawah meja.

Anak laki-laki Pak Edi, dengan lembut (hem) berujar,

“Yunita suka kucing?” Tanyanya.

“Iya.” Jawab saya. Hanya iya saja atau lengkap dengan “bang” nya, saya sudah lupa. Hahahaha.

Pak Edi berujar, melihat saya langsung mengingatkannya dengan anak perempuannya di Aceh.

“Melihat Yunita, mengingatkan bapak dengan anak perempuan bapak di Aceh. Kak Nia namanya.” Dua kali beliau melontarkan ini. Cukup membuat saya terharu.

Setelah selesai makan, saya punya feeling kalau makan ini sepertinya akan dibayarkan oleh beliau. Tapi, saya segan. Karena kami kan baru pertama kali jumpa. Sama-sama asing. Saya berusaha menyampaikan pelan-pelan, untuk yang saya, biar saya sendiri saja yang bayarnya. Tapi, Pak Edi menolaknya.

“Biar abang yang bayarin.” Ujar beliau.

“Gak papa Yunita. Sudah abang bayarkan.” Ujar Bang Rian. (Akhirnya, tahu namanya kan. Heheh.)

Di dalam travel sehabis makan, Pak Edi meminta saya untuk menyimpan nomor telepon beliau. “Simpan nomor telepon bapak. Jika Yunita butuh pertolongan hubungi saja bapak. Atau jika ke Bangko lagi jangan lupa mampir.”

Saya simpan nomor beliau. Lagi-lagi speechless. Untuk pertama kalinya sepanjang pengalaman naik travel baru pertama kali bertemu dengan teman perjalanan yang menyentuh hati dan sangat berkesan. Di tengah badai cobaan ini, Allah menghadirkan orang asing untuk menjeda sejenak kesedihan yang menyayat hati.

Di perjalanan lagi, saya berusaha untuk tidur-tiduran. Tapi, ternyata hanya tidur ayam. Masih terdengar dengan jelas, Bang Rian dan abang supir itu berbincang. Kali ini, obrolan mereka perihal jodoh. Terdengar oleh saya, jika Bang Rian belum menikah. Sepintas dan seingat saya, beliau berujar seperti ini dengan abang supir.

“Sudah sampai usia saya sekarang ini, belum juga saya menikah karena memang belum menemukan. Saya ingin menemukan yang langsung membuat hati saya bergetar. Mau diajak hidup apa adanya, sehidup semati. Bla bla.”

Hingga di kalimat sehidup semati itu dipatahkan oleh abang supir. Karena jangan sehidup semati. Tapi, sesurga. Sampai akhirnya, abang supirnyalah yang menceritakan kisah perjalanan beliau dengan istrinya. Logat Bang Rian dan abang supir kental sekali minangnya. Wkwk. Memang mereka menggunakan bahasa Minang. Di tengah obrolan mereka berdua, sepertinya Pak Edi tertidur. Karena tidak menimpali obrolan mereka.

Di jalan pulang yang sebentar lagi tiba di rumah, Pak Edi membuat hati saya sangat terenyuh.

“Sebentar lagi Yunita sampai di rumah. Bapak Yunita pasti kangen dengan Yunita.”

Jujur, mendengar beliau mengucapkan ini dengan lembut dan melihat wajahnya yang teduh lengkap dengan kacamata, saya ingin menangis sejadi-jadinya. Sebentar lagi saya akan tiba di rumah, sebentar lagi berpisah dengan beliau, sebentar lagi gejolak kesedihan datang lagi. Duka akan terbuka lebar. Menganga pedihnya.

“Bapak Yunita masih di C2, pak.” Jawab saya.

Sepertinya, beliau kaget.

Hening.

Akhirnya, saya berhenti di depan gang rumah. Pak Edi masih setengah terkantuk. Ingin bersalaman tapi segan. Saya berpamitan dan mengucapkan satu kalimat (yang diam-diam saya berharap semoga bisa bertemu lagi).

“Pak, Yunita duluan. Sampai jumpa lagi.”

Saya sedikit kesulitan membuka pintu mobil. Bang Rian mencoba membantu dan sedikit berbasa-basi,

“Siapa tadi namanya? Yusita?” Ujarnya.

“Salah.” Jawab saya singkat.

“Eeh.” Ujarnya.

“Yunita.” Jawab saya pada akhirnya.

Pertemuan dan perkenalan berakhir seiring mobil travel hilang di ujung jalan. Entah, percakapan apa lagi yang terjadi di dalam mobil travel tersebut. Ada perasaan nyes di hati. Perasaan sedih karena harus berpisah. Pertemuan dengan Pak Edi yang sebentar ini begitu berkesan di hati.

Sosok laki-laki pensiunan guru berusia 65 tahun yang menenangkan hati. Bertemu beliau, seperti kembali teringat sosok Pak Amril semasa kuliah. Orang yang tidak memiliki ikatan darah dan keluarga, tapi terasa nyaman seperti bapak sendiri.

Sesampai di rumah, saya langsung membuat instastory instagram, menulis singkat pertemuan kami. Agar bisa tersimpan di jejak digital. Betapa saya sangat bersyukur telah dipertemukan dengan orang baik, supir travel yang religius, dan perjalanan yang bermakna ini.

Keesokan pagi, hati saya masih tidak tenang. Masih memikirkan Pak Edi. Ternyata nomor teleponnya tidak terhubung ke WhatsApp. Saya seperti ada dorongan untuk mengirim pesan SMS ke Pak Edi. Siapa tahu masih terhubung. Tapi, harapan untuk terhubung lagi itu tipis. Atau bahkan tidak ada sama sekali.

Meski begitu, saya tetap mengirimkan satu pesan SMS melalui nomor Telkomsel yang tidak terhubung via WhatsApp. Wkwkw. Ya Allah. Karena jika saya SMS beliau dengan nomor IM3, tidak sejalur dengan nomor beliau yang Telkomsel.

Bismillaah,
Assalamu’alaikum, Pak Edi.

Ini yunita yang kemarin ditraktir bapak makan di jalan. Ini no yunita pak. Siapa tahu kalo bapak main ke bengkulu dan lalui curup, bisa singgah ke rumah yunita.

Kalau no WA ini pak, 0857********

Ternyata, saking grogi atau perasaan yang campur aduk, saya salah mengetik nomor WhatsApp. Wkwkkw. Akhirnya saya SMS kedua kalinya membenarkan nomor WhatsApp. Aaah ribet.

Dari jam ke jam, tidak kunjung dibalas. Berusaha mencari sosial media dengan kata kunci nama Pak Edi, tapi tidak kunjung bertemu.

Mungkin, memang benar. Pertemuan dan perkenalan mungkin hanya sebatas di perjalanan.

***

Angdes dan Jejak Bisu Kita

Ini adalah angkutan desa yang paling andal untuk berangkat dan pulang sekolah. Juga menjadi alat transportasi untuk pergi kemana-mana sebelum akhirnya bisa mengendarai motor sendiri.

Angdes yang titik awalnya di Lubuk Linggau menjadi angdes favorit di pagi hari. Karena mamang supir terbiasa membawa mobilnya secepat kilat dengan cukup lihai. Dibanding angdes yang titik awalnya di Simpang Bukit Kaba. Perbandingan keduanya bisa selisih 5 sampai 10 menit.

Lumayan kan?

Semakin hari, penumpang angdes semakin sepi. Kecuali pagi hari atau jam pulang anak sekolah. Kita tahu, sudah jarang orang mau naik angdes. Sudah dibabat habis dengan roda dua. Termasuk saya. Tapi, alasan saya adalah mengendarai motor lebih menghemat pengeluaran. Saya harus mengeluarkan uang 20 ribu (pulang pergi) jika naik angdes ke tempat kerja. Karena saya juga harus nyambung naik ojek agar sampai di lokasi. Lumayan, sebulan bisa 600 ribu. Hihih.

Angdes ini adalah angkutan masa lalu, masa sekarang, juga masa depan. Punya kenangan tersendiri saat masih duduk di bangku sekolah. Mamang supir dengan para penumpang dibatasi dengan kaca (jendela) dan di sebelah mamang supir ada satu kursi yang bisa diduduki oleh 1 atau 2 penumpang. Biasanya, kalo zaman sekolah dulu, diisi oleh anak laki-laki.

Nah, saat beberapa hari menjadi siswi SMP, saya melihat seorang anak laki-laki bersama temannya duduk di sana. Sesekali saya juga meliriknya melalui kaca spion. Tapi, tidak berlangsung lama karena ia lebih dulu keluar dari angdes. Waktu itu, saya bergumam dalam hati,

“oh ternyata kita satu sekolah.”

Jejak penasaran dengan dia itu masih terasa hingga dewasa ini. Huft. Tentu ini bukan alur cerita fiksi yang dipastikan berujung bahagia.

Ststs. Sudah.

Pake rumus kehidupan, “Jika yang terbaik, maka dipertemukan. Jika terbaik tidak berimbang, maka berusahalah di sepertiga malam. Jika tidak didekatkan, maka lanjutkanlah roda kehidupan (bersama orang lain).” []

—–
Poto, 17 April 2022 (sehat-sehat ya pak. Semoga rezeki kita selalu dicukupkan oleh Allah. Aamiin)
—–

Curupers

Ada satu perasaan yang tiba-tiba nyees di hati. Saat pulang dari rumah Icaa setahun yang lalu. Hari itu kami menghabiskan waktu berdua cukup lama. Beberapa hal diobrolkan hingga ke ranah pribadi yang selama ini tidak saya tahu sama sekali sejak berteman dengan Ica di awal kuliah.

Takut kehilangan. Perasaan itu tiba-tiba menjalari diri. Karena tidak lama kemudian Ica akan kembali lagi ke Padang. Padahal belum tentu kalau kami masih sekampung, akan lebih sering bertemu. Tapi, perasaan sedih itu tidak bisa dibohongi. Entahlah.

Perasaan itu pun timbul kembali. Saat baru-baru ini kami menghabiskan waktu bersama hingga pulang larut senja. Sebelum tidur, ada sesuatu yang mengganjal di hati. Tentang pertemuan ini. Yup. Kadang, untuk beberapa hal (saya) mudah sekali baper. Mudah terenyuh. Mudah takut (kehilangan) teman yang akan pergi. Padahal, kan masih bisa bertemu atau berhubungan via pesan elektronik.

Pun, andai bertemu setiap hari, apakah bisa memiliki perasaan seperti ini? Pasti akan ada cekcok, selisih paham, dan hal lainnya sebagai bumbu-bumbu pertemanan.

Hem.

𝑱𝒂𝒖𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒋𝒆𝒅𝒂. 𝑱𝒆𝒅𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒏𝒊𝒂 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊. 𝑳𝒂𝒍𝒖 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒖𝒌𝒂𝒓 𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒌𝒆 𝒉𝒂𝒕𝒊.

See you next time, Ummi Icaa. Sehat-sehat dan semoga selalu dipenuhi cinta dan kesabaran di Padang Panjang. []

—–
Poto, 4 Januari 2023
—–

Bersama Perempuan Hebat dengan Pengalaman Berharga

30 Juni 2020, saat suasana pandemi Covid-19 sedang hangat-hangatnya. Saya dan teman-teman (Sinta dan sepupunya, Dian, Puput, Ikke) mengadakan pertemuan dengan orang-orang hebat di Balai Desa Karang Jaya. Kami diajak untuk membuat komunitas yang diisi oleh para perempuan dengan kegiatan tulis-menulis seputar lingkungan.

Panjang waktu mendiskusikan nama komunitas baru itu. Tapi, akhirnya, disepakati kami akan melanjutkan komunitas yang sempat vakum yang dirintis oleh Mbak Intan dkk. Kami melanjutkan yang sudah ada dengan beberapa anggota baru seperti kami. Nama komunitas itu, Komunitas Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia atau disingkat KPPSWD.

Jujurly, saat itu bahagia sekali bergabung dengan mereka. Orang-orang hebat seperti Mbak Intan, Bang Dedek, dan Bang Harry dengan ilmu menulis dan sepak terjang pergerakannya dalam menebar manfaat untuk sekitar. Alam dan perempuan. Kebanggaan tersendiri pernah mengenal, bercengkerama, diajarkan ilmu menulis, diajak membaca problem perempuan hubungannya dengan pengelolaan alam.

Seiring waktu, banyak agenda yang diikuti bersama mereka. Sesekali ke Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) untuk pengukuran lahan yang boleh diolah oleh ibuk² KPPL. Sering juga kami pergi ke Hutan Madapi di Pal 8. Berinteraksi bersama perempuan-perempuan hebat. Lalu, malam harinya, pusing bagaimana mengolah data dan hasil wawancara kami menjadi sebuah tulisan ciamik.

Soal menulis, saya jatuh bangun mengatur semangat dalam diri. Tulisan saya berulang kali harus direvisi. Melakukan wawancara ulang dan kekurangan bahan. Disitulah saya berpikir saya tidak berbakat menulis. Selain menulis catatan harian tanpa kaedah. Wkwk.

6 bulan di KPPSWD, dan akhirnya beranjak pergi karena memilih untuk beralih. Belajar di sekolah ‘Aisyiyah bersama anak-anak. Tapi, meskipun begitu,  sangat bersyukur telah diberi pengalaman berharga dari KPPSWD di saat pandemi. Sosok Mbak Betty, founder media non profit “Bincang Perempuan” salah satu sosok perempuan super hebat yang saya kagumi pergerakannya diam-diam. []

—–
Poto, paruh akhir 2020
—–

Overthinking

Suatu hari, membaca pesan WA dari seseorang. Jlep! Mendadak hati menjadi panas. Bukan panas hendak marah. Tapi ingin menangis sejadi-jadinya. Langsung badmood dan tubuh lemas tidak bersemangat. Akhirnya, meminta seorang teman membaca pesan itu.

Ternyata, isi pesan WA itu dimaknai berbeda antara saya dengan teman saya. Sudut pandang kami berbeda. Teman saya dengan segala positive thinking-nya. Dan saya dengan segala pikiran buruk yang berakhir dengan kepanikan.

Pernah menghubungi seseorang melalui pesan WA, tapi hanya dibaca saja. Pernah coba-coba rusuh di grup WA agar tidak sepi, tapi tidak ditanggapi. Lalu, berujung overthinking dan merasa diri tidak dihargai. Duh. Rumit. Padahal, setiap orang punya kesibukan masing-masing lho. Tidak hanya berkutat perkara balas-balasan WA. Ya Allaah, harus banyak-banyak istighfar untuk diri sendiri.

Pernah juga, saat berjumpa dengan seseorang ia menyuguhkan sikap cuek atau ketika sedang menimpali candaan saya malah diacuhkan. Lagi-lagi overthinking, “sepertinya beliau tidak suka dengan saya.”

Padahal, bisa jadi ia banyak pikiran hingga terbawa saat berjumpa dengan saya. Bisa jadi ia tidak mendengar candaan saya yang bersuara pelan ini. Ah, saya sudah kadung menyimpulkan hal buruk untuk diri  sendiri.

Huft. Overthinking kerap terjadi dan sulit dihilangkan. Memperumit perasaan. Juga melelahkan badan. Padahal apa yang saya pikirkan belum tentu begitu adanya. Belum tentu terjadi. Belum tentu semua orang akan membenci apa yang saya lakukan. Belum tentu mereka akan mencemooh. Toh, kalau pun dicemooh, hidup mana yang semua akan disukai banyak orang? Hidup apa kata orang?

Yang tidak bisa kita kendalikan atas orang lain adalah persepsi mereka kepada kita. Hari ini mungkin kita dibanjiri pujian, bisa jadi suatu hari saat kita melakukan secuil kesalahan mereka datang dengan segudang cacian.

Please, kurang-kurangi overthinking. Bukankah hidup ini fana dan absurd. Jadi, apa yang perlu dikhawatirkan selain amal kebaikan di hadapan Tuhan?

—–
Poto, 26 Mei 2019
—-
#30haribercerita

Belajar Membaca Keberagaman di SCPK

Saat sedang melaksanakan kegiatan KKN di Dhamasraya, saya ikut program Short Course Pengelolaan Keberagaman (SCPK) angkatan pertama selama tiga hari di Bukittinggi bersama Kak Silmi, Kak Ain, dan Zikra.

Pengalaman SCPK ini pengalaman yang sangat berkesan selama kuliah. Bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang hebat dengan pemikiran luas mengenai toleransi dan keberagaman, selalu membuat speechless. Kagum pake banget. Mereka diantaranya ada Pak Zainal Bagir, Pak Trisno, Pak Jamek dan Pak Darto yang super ramah dan penuh lawak. Jadilah, homestay yang dingin itu jadi hangat karena banyak suara tawa.

Kegiatan dimulai dari pagi hingga malam hari dengan materi-materi berkelas yang sulit saya pahami. Heheh. Pembahasan soal-soal ketimpangan, bagaimana minoritas selalu mengalami diskriminasi baik itu muslim maupun non muslim. Misalnya saja, Muslim Rohingya.

Ada suatu pernyataan dari pemantik yang masih saya ingat, “kalau bikini tidak boleh di pantai Padang, maka burkini tidak boleh di Perancis.”

Bikini tentu tidak diperbolehkan di ranah Minang, karena masyarakat Minangkabau berprinsip pada Adat Basandi Syarak. Syarak Basandi Kitabullah. Sedangkan di Perancis dengan umat muslim yang sangat minoritas, pemerintahnya melarang mereka pergi ke pantai dengan memakai baju renang muslimah atau burkini.

Diskusi ini sepertinya tidak ada jawaban. Karena masing-masing pasti punya argumennya sendiri. Hingga akhirnya ditutup dengan nobar film Bajau. Film dokumenter ini menggambarkan bagaimana Islam dan adat istiadat di sana hidup berdampingan dengan selaras.

Dihari puncak, saya dan teman-teman mengunjungi sebuah wihara di Bukittinggi. Terletak di tengah-tengah toko dan tepat berada di lantai dua. Di lantai bawah, dibuka ruang diskusi. Saya sempat terenyuh saat seorang cece menceritakan pengalaman ‘diskriminasi’ yang pernah ia alami sebagai keturunan Cina dan keyakinan yang ia anut. []

“Esensi Islam adalah keesaan Tuhan dan universalitas kemanusiaan.” (Syed Hussein Nasr).

Menulis Caption Panjang Lebar di Postingan

Siapa yang suka membuat caption panjang lebar di setiap postingannya? Caption story WA yang penuh selayar handphone? Heheh, saya salah satu orangnya. Entah mengapa, kalau lagi posting poto dengan seseorang, keluar saja kalimat per kalimat untuk mendeskripsikan semua kebaikannya.

Tapi, kadang malu juga menulis panjang lebar. Toh, siapa juga yang akan baca. Lalu, belum lagi bakal dianggap, “eh, lagi curhat ya?” Wkwkw. Tapi, bukankah memang sedang curhat? Tapi, kenapa saya tersinggung? Hohoh. Coba pake ilmu hermeneutika menafsirkan ucapan seseorang yang lagi ngomong, “eh, lagi curhat ya?”

Semenjak mengenal Kak Silmi, perasaan malu untuk membuat caption panjang lebar itu perlahan hilang. Hitung-hitung kita lagi belajar menulis. Belajar mengumpulkan pembendaharaan kosakata di kepala. Belajar meluapkan cerita yang telah dijalani.

Lalu, Kak Silmi menyarankan untuk memfilter pertemanan di sosial media. Cobalah follow teman-teman yang suka menulis caption panjang lebar. Cobalah follow orang-orang hebat yang suka membagikan kisahnya dengan caption panjang lebar. Supaya ketularan dan punya teman yang sefrekuensi soal caption panjang lebar. Heheh.

Akhirnya, saya filter pertemanan di Fb yang sudah saya buat sejak kelas 3 SMP. Hehe, dulu awal-awal lagi hijrah penampilan, saya banyak add akun-akun Islami. Yang pas saya buka enam tahun kemudian sudah berubah menjadi akun yang provokatif atau yang dulunya berisi kata mutiara Islami, berubah jadi lain isi. Nah, itu salah satu yang di unfollow.

Sejauh ini yang masih selalu saya ikuti, postingan Ig Phutut EA  yang captionnya panjang lebar. Tulisannya seputar kejadian sehari-hari dengan makna tersirat. Ada juga Kalis Mardiasih dan Agus Mulyadi.

Soal menulis dengan tema kehidupan sehari-hari tapi berisi. Kak Silmi, adalah sosok panutan. Sudah banyak artikel lepasnya mentereng di sejumlah media online. Di voxpop.id misalnya. Kagum pake banget sampai hari ini dengan beliau yang pergerakannya semakin bersinar. []

“Aku menulis, maka aku ada” -Kak Silmi

Menghimpun Cerita Sederhana

Tidak banyak poto estetik untuk diunggah di momen #30haribercerita. Juga tidak banyak cerita indah yang bisa dibagi untuk dibaca. Hanya ada beberapa poto kenangan yang sudah blur. Dan beberapa cerita dengan ingatan yang sudah buram di kepala.

Tapi, menyimpannya dalam arsip instagram dan menceritakannya lagi siapa tahu bisa memaknai setiap potret yang sudah dilalui. 𝑴𝒆𝒏𝒄𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒚𝒖𝒌𝒖𝒓 𝒂𝒕𝒂𝒔 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒔𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏. Meski bukan dengan banyak tempat dijelajahi atau dengan banyak orang yang pernah disinggahi.

Mungkin cerita ini bisa jadi tidak istimewa bagi sebagian orang. Lebay. Nyepam. Dan sebagainya. Hihihi, itu tidak masalah.

Sebab sedikit banyaknya saya ingin mencoba menghimpun cerita lama. Menggali lagi dari sekian banyak yang menarik hati. Seperti Agustinus Wibowo. Sosok backpacker dan penulis bestseller yang saya kagumi sejak membaca bukunya, Titik Nol di Ipusnas. Bahwa memotret setiap momen sangatlah penting. Menulis dan memaknainya juga tak kalah penting. Dari awal kita berjalan, berhadapan dengan alam, dan kembali pulang.

Juga seperti buku Jalan Panjang untuk Pulang yang ada di poto ini. Himpunan cerita dengan gejolak yang luar biasa. Tidak semua perjalanan bisa dilewati dengan mudah, tepat sasaran sesuai harapan. Adakalanya harus bertentangan. Selisih jalan dengan berbagai resiko yang tak kalah besar.

Agustinus mengajak kita menyelami makna perjalanan melalui bukunya itu. Tidak hanya perjalanan fisik tapi juga perjalanan batin. Dari melihat dunia luar hingga pulang ke dalam diri. Dari pencarian hingga penemuan makna yang hakiki. Sungguh, buku ini sebuah buku ciamik akhir tahun yang saya baca saat hibernasi (baca: rebahan, wkwkw) selama liburan sekolah.

Saya percaya, hal pahit di masa lalu, bisa jadi hal manis yang diingat kembali dengan rasa syukur di hati. Pun, hal sederhana bisa jadi istimewa untuk beberapa orang yang menyimpannya sepenuh cinta. Menceritakan ulang sembari mendengarkan lagu di spotify dan menyeruput secangkir cappucino di rumah sendirian. []

Bismillaah.
—–
Poto, Desember 2022
—–

[Review Buku] Wanita yang Merindukan Surga




Heeem, apa kabar? Sudah malas baca buku dan nulis ringkasannya (reviewe) ya? Sudah mau habis tahun 2022, tapi mageran masih juga belum punah. Astaghfirullah.

Akhirnya, buku yang bacanya nyicil-nyicil tidak beraturan selesai dibaca sampai halaman terakhir. Buku epik untuk setiap wanita yang ingin memulai hijrah, atau sedang dalam tahap memperbaiki diri karena Allah.

Wanita yang Merindukan Surga adalah sebuah buku yang ditulis oleh Esty Dyah Imaniar. Sebuah buku panduan berisi lima jalan hijrah yang tak perlu ‘kau’ takutkan, Ukhti. Hihihih. Hijrah itu sulit loh, juga kadang terselip hal ‘menakutkan’nya. Tapi, kali ini buku yang saya baca menampilkan warna dan sudut pandang berbeda. Open minded tapi masih searah untuk memperbaiki diri dengan kaca mata luas.

Btw, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan hijrah?

Hijrah jika dikaitkan dengan kisah Rasulullah adalah perpindahan Nabi Muhammad bersama para sahabat dari Makkah ke Madinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy. Sedangkan pengertian di luar konteks itu ialah berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya). (Hlm. Xvi)

Di buku ini, penulis berbagi perjalanan hijrahnya ke dalam lima aspek. Pertama, hijrah penampilan. Di sini penulis menyampaikan pandangannya bahwa tidak ada hubungannya perubahan penampilan dengan perubahan identitas seseorang. Tapi, dalam keseharian hal ini berbanding terbalik. Because you are what you wear. (Hlm. 3)

Disaat semua orang sibuk hijrah penampilan, tidak sedikit yang lupa untuk mengembangkan potensi diri. Banyak orang yang memulai hijrah hanya didoktrin untuk ‘memperbaiki bungkus tapi tidak dengan mutu isi kepala.” (Hlm. 22)

Bagaimana bisa naik kelas ngomongin hijrah dan peradaban kalau diajak berprestasi setelah hijrah saja banyak alasan?

Kedua, hijrah pergaulan. Tema ini menyampaikan bahwa ketika ada seorang teman yang hijrah, kita tidak bisa memaksanya untuk nyaman bersama kita dalam proses hijrahnya. Bisa jadi ia nyaman hijrah dengan teman hijrahnya yang lain. Seperti para seleb yang hijrah lalu membuat kelompok hijrah bersama-sama. Sebagaimana perasaan, persaudaraan juga tidak bisa dipaksakan. (Hlm. 32)

Meskipun sudah hijrah, kita harus tetap melakukan kebaikan yang tidak hanya bersama kelompok hijrah saja. Kalau sudah hijrah, perbanyak senyum dan sapa. Tapi, yang disapa jangan hanya teman hijrahnya. Kalau sudah hijrah, perbanyak sedekah. Tapi, yang disedekahi jangan hanya teman hijrahnya. (Hlm.53)

Ketiga, hijrah perasaan. Menurut Esty, saat melakukan proses hijrah, jangan langsung kebelet nikah dengan dalih agar punya teman hijrah atau dalih nikah adalah ibadah. Karena banyak hal yang perlu dipelajari sebelum akhirnya masuk ke tahap nikah.

Ketika seseorang sudah berhijrah, sudah mengaji, orientasi pernikahannya mestinya lebih dari sekadar “menghindari zina”. Sebab visi misi pernikahan Islam adalah membangun peradaban. (Hlm. 77)

Keempat, hijrah pekerjaan. Selama kita belum benar-benar yakin akan pekerjaan kita sudah seratus persen bersih dan suci, kita hanya bisa berharap ikhtiar pencarian nafkah kita diridhai Allah sebagai ibadah, apa pun itu. (Hlm. 128)

Kelima, hijrah pengajian. Atmosfer lain dari pengajian yang menggelisahkan adalah ketika para guru mulai menjelek-jelekkan jemaah lain, menyebutnya sesat dan kafir, hanya demi bisa melabeli pengajian sendiri satu-satunya yang benar dan diridhai Allah untuk masuk surga. (Hlm. 138).

Perbedaan penafsiran syari’at dalam Islam itu banyak sekali. Terlalu energy consuming kalau semua harus ditanggapi dengan urat tegang. (Hlm. 42).

Akhir kata, hijrah adalah sebuah proses bertahap, step by step. Perjalanan hijrah setiap orang berbeda-beda. Tidak perlu merasa paling benar dalam berhijrah. Menyampaikan boleh, memaksakan jangan. Berperilaku tawadhu’, ketika kita berjumla dengan seseorang dan menganggapnya lebih utama dari kita. (Hlm. 177).

Sepertinya buku ini harus dibaca lebih dari satu kali. Agar bisa lebih dipahami untuk daya paham yang masih rendah seperti saya. Heheh. Ingat, review atau tepatnya ringkaaan ini ditulis seringkas mungkin. Bisa jadi ada bagian penting yang terpotong lalu jadi gagal fokus. Tapi, lepas dari itu, buku dengan tebal 182 halaman ini akan membuka perspektif baru kita sebagai umat Islam. []

Menjadi Perempuan Berdaya di Sekolah ‘Aisyiyah

Dok. 09 November 2022

‘Aisyiyah merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak pada pemberdayaan perempuan. Berdiri pada 19 Mei 1917, ‘Aisyiyah telah lebih dari satu abad berdakwah dan menebar kebermanfaatan untuk perempuan Indonesia. Bagian yang saya rasakan secara pribadi adalah melalui salah satu amal usahanya, yakni di bidang pendidikan.

Ada ribuan taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan perguruan tinggi yang dikelola ‘Aisyiyah di seluruh penjuru Indonesia. Di amal usahanya ini, ribuan lapangan pekerjaan untuk perempuan terbuka lebar. Bekerja di lingkungan yang setara dan mendukung pergerakan perempuan untuk berkarya.

Pun, melalui bidang pendidikan inilah, ‘Aisyiyah mengajak kaum perempuan untuk tidak lagi berdiam diri di rumah. Perempuan harus bergerak tanpa batas. Menempuh pendidikan, meraih impian, berdaya, dan bebas bekerja. Entah sebelum ia menikah atau sesudah menikah ia boleh menentukan pilihan hidupnya tanpa tekanan dari siapapun. Apalagi tekanan dan dominasi dari laki-laki. Prinsip kesetaraan ini membuat saya mengagumi ‘Aisyiyah sebagai lembaga pemberdayaan perempuan yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam.

Sudah kewajiban setiap manusia, laki-laki dan perempuan untuk beramal saleh sebanyak-banyaknya. Tidak dibedakan jerih amal usaha yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Karena bagi Allah swt., di dalam diri mereka hanya ada satu pembeda saja, yaitu ketakwaan. Hal ini sesuai yang disinggung oleh-Nya melalui Q.S. al-Hujurat ayat 13 (yang artinya), “sesungguhnya yang paling mulia dihadapan Allah diantara kalian adalah yang paling bertakwa”.

Melalui bidang pendidikan, perempuan bisa bekerja di dalamnya dan mencari banyak pahala dari segala dedikasinya di sekolah ‘Aisyiyah. Belajar, mengajar, dan menebar kebermanfaatan.

Menjadi Perempuan Berdaya

Dua tahun belakangan ini, saya menjadi bagian dari keluarga ‘Aisyiyah yang bergerak di bidang pendidikan. SD Unggulan ‘Aisyiyah Taman Harapan Curup yang ada di Provinsi Bengkulu menjadi tempat saya belajar untuk menjadi perempuan mandiri dan berdaya.

Saya mulai tertarik dan jatuh hati pada ‘Aisyiyah di setiap momen yang menyentuh perasan saya. Mengamati setiap guru perempuan yang selalu semangat datang ke sekolah pagi hari, antusias mereka bertemu keluarga saat selesai mengajar dan pulang di sore hari, serta dua amal dengan pahala berlipat ganda di hadapan mata mereka menanti. Pahala mendidik ratusan siswa juga mendidik penuh cinta buah hati di rumah.

Dahulu, melalui konstruksi sosial masyarakat, perempuan tidak dianjurkan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Juga tidak dianjurkan bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Bagi masyarakat, perempuan bisa baca tulis itu saja sudah cukup. Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi yang memakan banyak biaya. Lebih baik biaya pendidikan itu dialokasikan kepada saudara laki-laki. Dengan dalih bahwa seorang laki-laki membutuhkan pendidikan lebih tinggi agar kelak ia bisa memperoleh pekerjaan terbaik untuk menghidupi keluarganya.

Perempuan hanya perlu mengembangkan kemampuannya dalam perkara urusan rumah tangga saja. Dapur, sumur, dan kasur. Lebih dari itu, semuanya adalah tanggung jawab dan pekerjaan laki-laki.

Inilah tantangan yang dihadapi hampir semua perempuan di Indonesia yang mayoritasnya masih menggunakan cara pandang patriarki. Tapi, seiring berjalannya waktu, dengan akses pendidikan yang lebih mudah dan informasi kesetaraan yang masif, tantangan ini mulai pudar. Perempuan mulai memunculkan diri di ruang-ruang publik dengan sederet riwayat pendidikan yang cukup mendukung mereka untuk terus berkarya.

Seperti yang saya amati di sekolah ‘Aisyiyah, tempat saya sehari-hari menghabiskan waktu dari Senin hingga Jumat. Dengan mayoritas perempuan yang bekerja di sekolah menjadi seorang guru, saya akui, mereka perempuan hebat dan berdaya. Meskipun begitu, mereka masih dibebani dengan peran ganda. Menjadi perempuan pekerja sekaligus menjadi ibu rumah tangga. Kesibukan mengurus anak-anak dan rutinitas di sekolah membuat saya berpikir, “bagaimana bisa mereka menikmati ini semua?”.

Jawabannya adalah komunikasi dan kesepakatan. Tidak ada yang bisa menghalangi perempuan yang sudah berumah tangga untuk berhenti bekerja. Kecuali, jika itu adalah pilihannya sendiri dan kesepakatan dengan pasangan hidupnya. Bebas memilih itulah hak setiap manusia tanpa mengenal jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Semuanya bebas memilih dan menentukan jalan hidupnya.

Sekolah ‘Aisyiyah tempat saya bekerja memberi dukungan sepenuhnya untuk perempuan yang sudah berumah tangga. Seperti jam menyusui jika ada salah satu gurunya yang memiliki balita. Juga disediakan tempat penitipan anak di salah satu area sekolah. Agar apapun peran yang dilakukan oleh perempuan ‘Aisyiyah tidak menutup akses mereka dalam bekerja dan meningkatkan potensi diri. Cuti melahirkan, cuti menikah, dan berbagai keringanan lainnya, meyakini bahwa sekolah ‘Aisyiyah adalah sekolah ramah perempuan.

Sederet program pemerintah baru-baru ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, seperti pelatihan Sekolah Penggerak dan Pendidikan Profesi Guru (PPG), bebas diakses bagi semua guru perempuan di sekolah ‘Aisyiyah tempat saya bekerja. Sekolah mendukung penuh dan memberikan waktu untuk mereka bisa meningkatkan kualitas diri.  Konsep pemberdayaan perempuan dengan Islam berkemajuan yang dimiliki ‘Aisyiyah membuat saya terus semangat memacu diri; bebas bermimpi dan meraih harapan setinggi mungkin.

Harapan

Bekerja atau tidak lagi-lagi adalah pilihan hidup seorang perempuan. Terpenting, ia melakukan itu dengan kesadaran penuh tanpa tekanan. Sebagian perempuan tidak bisa hanya berdiam di rumah, mengurus rumah tangga, dan kesibukan stagnan lainnya.

Seperti yang dikisahkan oleh Cho Nam-Joo, penulis kisah Kim Ji-Yeong lahir tahun 1982, betapa Kim Ji-Yeong merindukan dirinya di masa lalu. Bekerja dan berkarya. Meski penghasilannya tidak sebanyak suaminya, tapi ia merasa sangat bahagia dengan tetes keringatnya sendiri.

“Alasan aku bekerja karena aku suka bekerja. Aku menyukai pekerjaanku dan uang yang kudapatkan,” ujar Kim Ji-Yeong. Tapi, semua mendadak berubah saat ia memutuskan untuk resign dari pekerjaannya. Pilihan yang berat saat ia memilih harus bekerja atau di rumah mengurus anak perempuannya. Ia mulai bertingkah aneh dan mengalami depresi.

Kim Ji-Yeong bukan seorang perempuan yang bisa bahagia dengan pilihannya untuk di rumah saja. Dia perlu ruang untuk mengekspresikan diri. Ruang tersebut ia temukan manakala ia bisa bekerja di luar seperti sebelum ia menikah. Novel sensasional berlatar Korea Selatan ini memberitahu kita bahwa praktik misoginis masih relevan bagi kita semua, serta menjadi PR besar kita untuk terus berdakwah dan mengkampanyekan kesetaraan melalui pemberdayaan perempuan. Inilah yang dilakukan ‘Aisyiyah melalui amal usahanya. Baik di bidang kesehatan, ekonomi, atau khususnya di bidang pendidikan.

Perempuan yang berdaya memiliki peran yang penting dalam membangun karakter anak-anak di sekolah, karena dari perannya menjadi seorang guru lahirlah seorang pemimpin yang kelak menjalankan berbagai kebijakan-kebijakan. Diharapkan kebijakannya mendukung penuh misi ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan sebagai khalifatul ardh yang berdasarkan pada Islam rahmatal lil’alamin.

Tulisan ini sudah pernah ditayangkan di https://suaraaisyiyah.id/menjadi-perempuan-berdaya-di-sekolah-aisyiyah/ pada tanggal 27 September 2022.

Aamiin Paling Serius (Bag 2)

Pertanyaan lebaran yang paling mengena di hati untuk orang yang dianggap telah dewasa adalah;


“Kapan menikah?”


Jujur, untukku sendiri pertanyaan ini tidak terlalu sering dilontarkan orang-orang kepadaku. Hanya beberapa teman di sekolah sebagai bahan candaan. Berhubung yang sendiri (jomblo) masih banyak, aku kadang malah menimpali candaan kapan menikah ini. Supaya tidak senyap saja obrolan kami. Tidak ada yang tersinggung, karena usia kami hanya selisih satu atau dua tahun saja. Sama-sama belum dipertemukan jodohnya.


Lain halnya, jika diantara kami sudah menikah satu per satu, maka ungkapan kapan menikah harus bisa diucapkan sesuai waktu dan kondisinya. Karena tidak semua orang bisa berlapang dada saat ditanya kapan menikah. Pertanyaan kapan menikah juga area privasi seseorang yang tidak boleh sembarang diutarakan.

Ada sebuah nasihat yang kuambil dari buku Menjadi Manusia Menjadi Hamba yang ditulis Fahruddin Faiz,

Marriage is not a destination, it is a journey.

Pernikahan itu bukan tujuan atau sebuah tempat pemberhentian, tapi ia adalah sebuah perjalanan. Yups. Menikah adalah perjalanan yang dilakukan dua manusia untuk mencapai visi dan misinya berdua. Makanya, salah satu alasan seseorang bisa menikah, karena telah menemukan kecocokan satu sama lain. Jiaah. Ungkapanku ini benar atau salah sih? (Sok bijak, padahal belum menikah. Hehehe.)

Aku merasa sangat bahagia saat mengetahui seorang teman akan menikah. Berarti dia telah menemukan separuh hidupnya. Laki-laki atau perempuan yang telah didekatkan Tuhan. Makanya, aku masih semangat sekali menghadiri kondangan teman selain ingin menikmati makanannya di prasmanan. Hihihih. Plus kalau pergi kondangan ada teman. Belum pernah coba datang ke pernikahan teman seorang diri. Dah, kelihatan sekali jomblonya. Wkwkw.

Hem, usiaku sekarang sudah menginjak 24 tahun. Sayangnya, belum bisa melanjutkan kuliah lagi. Tapi, bukan masalah, jalani saja usia ini dengan belajar membentuk kebiasaan baik setiap hari. Semoga bisa dan istiqomah. Di manapun tempat adalah sekolah. Setiap orang yang memberi ilmu kebaikan adalah guru. Kita sekolah alam setiap hari. Siang dan malam sepanjang waktu.

Dulu, aku pernah membuat planning usia 25 tahun adalah waktu untuk menikah. Tapi, kembali lagi kepada rencana Tuhan. Kembali juga dengan kesiapan diri lahir dan batin. Bukankah, hukum pernikahan secara fiqih bermacam-macam? Mulai dari wajib, sunnah, makruh, hingga haram. Untuk penjelasaannya bisa di searching via google (cara instan wkwk). Jangan tanya aku ada di level yang mana ya. Terlepas empat hukum secara fiqih/agama tersebut, menikah atau tidaknya seseorang adalah pilihan hidup yang bebas ditentukan oleh dirinya sendiri.

Aku memilih dan memiliki keinginan untuk menikah. Menjalin hubungan dengan kesalingan (mubaadalah). Saling cinta, saling terbuka, saling mendukung satu sama lain dalam bahtera bernama rumah tangga.

Sampai hari ini aku tidak dekat dengan seorang laki-laki sama sekali. Memang, dari dulu, punya prinsip untuk tidak menjalin hubungan yang penuh dengan keterikatan kepada laki-laki selain pernikahan. Tidak pacaran. Hanya ingin berteman saja. Kecuali, kalau memang berniat untuk serius ingin menikah dengan jeda perkenalan tidak terlalu lama atau bertahun-tahun. Eits, tunggu, itu jika sejak pandang pertama memiliki kecocokan satu sama lain. Baru berlanjut. 

Ah, aku omdong alias omong doang. Karena secara kenyataan memang tidak ada laki-laki yang mengajak serius sih. Wkwkw. Paling-paling hanya berteman.

Saat kuliah, hanya fokus belajar dan mengembangkan diri saja. Tidak kepikiran untuk menjalin hubungan. Bahkan chattingan teman laki-laki yang sudah agak aneh-aneh (gombal atau bertanya yang tidak jelas seperti “lagi ngapain”) saja aku sudah ilfeel sungguhan. Besoknya sudah jarang kubalas chat-nya lagi. Ini laki-laki lagi gabut tidak punya teman chattingan atau lagi cari perhatian? Wkwkw.

Itu dulu. Lalu, sekarang? Sedang mengayuh doa. Aku yakin setiap orang akan menikah tepat pada waktunya. Tuhan tahu waktu terbaik kapan kita akan menikah. Bukan pasrah kepada takdir Tuhan, tapi aku juga sedang berusaha mengayuh doa di setiap melakukan ibadah.

“Semoga jodoh datang tepat waktunya. Didekatkan dengan laki-laki yang baik agamanya, baik akhlak, dan baik pekerjaan.”

(Sebuah doa)

Aamiin paling serius.

Bagiku, baik agamanya berarti dia menjalankan perintah Tuhan. Baik dalam hal ibadah maupun sosialnya kepada manusia. Lalu, dia baik akhlaknya, tahu mana perkara yang baik atau tidak baik dari ukuran agama dan masyarakat pada umumnya. Tidak memukul, tidak berkata kasar, tidak berbohong, atau tidak selingkuh dan poligami.

Di bagian sana, banyak yang baik agamanya, tapi minus akhlak. Sudah diberitahu Kartini, berapa banyak laki-laki berpoligami mengatasnamakan agama? Berapa banyak suami memukul istri hanya karena membaca dalil Al Qur’an dengan tafsir patriarki?


Boleh juga meniru prinsip Nietzsche,

“the best friend will probably acquire the best wife, because a good marriage is founded in the talent for friendship.”


Menikahlah, saat telah bertemu dengan orang yang nyaman diajak ngobrol seperti sahabat sendiri. Jadi, menjalin pernikahannya bisa menggunakan konsep persahabatan. Selain, dengan setumpuk cinta yang menggunung di dalam hati.

Jangan menikah karena terburu-buru. Menikah saat memang hati sudah digerakkan dan memiliki visi dan misi yang sama untuk mengarungi kehidupan rumah tangga. Menjadi sufi bisa dimulai dengan menikah. Mengikuti sunnah Nabi. Biar waktu yang menjawab kapan waktu menikah akan tiba.[]

Nikmati masa sendiri. Kuat memapah hidup di kaki sendiri.

=================πππ===================

Aamiin Paling Serius (Bag 1)

Masjid Agung (Curup, Bengkulu)

Selamat berlebaran dan merayakannya penuh keramaian. Segala khilaf dan salah yang dilakukan ternyata diam-diam menyakiti diri sendiri, mohon dimaafkan. Tidak ada yang bisa merengkuh ke’aku’an selain kita yang punya badan. Mencintai diri, melakukan dialog diri setiap hari.

Apa saja doa yang dirapal di malam Ramadhan?

Segenap ingin dari sekian banyak keinginan dalam hati. Baik untuk dunia maupun akhirat. Semoga keduanya selamat. Segala kesulitan selalu menemui kemudahan. Setiap keinginan ada doa yang terkabulkan. Setiap pandangan yang gelap selalu menemui cahaya terang. Selalu ada kebaikan dari semua bagian yang tidak sesuai harapan.

Aamiin paling serius yang terpampang sebagai judul tulisan ini, aku ambil dari salah satu chat teman saat kuliah. Jebi Kamil, aku tulis nama kontaknya. Jebi itu kepanjangan dari jelajah bineka, kegiatan yang mempertemukan kami berdua. Kamil, itu nama panggilannya sendiri. Kamil, setelah melihat story ig-ku, ia langsung mengirim pesan via WA untuk mengucapkan selamat lebaran. Sehingga terciptalah obrolan basa-basi sebagai teman yang sudah dua tahun ini tidak bertemu. Lalu iring-iringan doa memperhangat obrolan malam lebaran ke empat.

Kamil tidak sendiri, sebagai teman kuliah di luar jurusan yang tiba-tiba mengirim pesan, ada dua teman yang lainnya juga. Aku respect sekali dengan mereka, karena masih care atau setidaknya mengingatku untuk sekedar bertanya kabar atau keberadaan sekarang. Tidak mengirim pesan melalui balasan story. Tapi, lebih mencari nama di kolom kontak lalu mengirim pesan.

Panjangkan umur dan mudahkan urusannya, untuk teman-teman yang masih sedia menyambung tali pertemuan. Baik bertemu mata atau hanya lewat dunia maya.

Berikan waktu yang bermanfaat untuknya, sebab telah meluangkan waktu untuk bertanya kabar teman yang berjauhan. Juga telah meluangkan waktu untuk mengirim atau membalas pesan.

Aamiin paling serius.

Aku sadar, semakin bertambahnya usia aku tidak terlalu banyak memiliki teman. Ditambah lagi, rutinitasku dua tahun belakangan ini hanya ada di rumah atau pergi ke sekolah. Dua tempat itu saja. Teman-teman bisa dihitung jari. Beberapa teman mengajar di sekolah (teman dekat), teman SMP dan SMA yang masih terhubung tapi tidak lebih dari lima orang, teman-teman seperjuangan yang dulu kuliah di Padang, dan beberapa teman yang sudah dekat sejak kecil.

Dari teman yang sedikit itu, aku selalu menyelipkan nama mereka di setiap doa. Bersyukurnya, meski sedikit, tanpa mereka aku akan merasa sepi saat liburan datang. Apalagi lebaran seperti saat ini. Kehadiran mereka setidaknya menggerakkanku untuk keluar dari rumah. Melakukan pertemuan dan bertanya kabar yang sangat bisa dihitung jari karena kesibukan masing-masing.

Dalam seminggu terakhir ini, ada beberapa kali pertemuan dengan teman-teman yang berbeda. H-2 lebaran aku berbuka bersama dengan teman-teman seperjuangan saat kuliah. Tidak banyak dihadiri teman-teman. Sebagian mungkin sibuk atau masih diperantauan. Lebaran ketiga, aku bertemu teman SMPku. Erlin. Kami kerap menghabiskan waktu hanya berdua.

Lebaran keempat, menemui Yulia. Adik kelas saat SMA. Ini pertemuan kedua setelah satu tahun setengah tidak berjumpa. Tulisan tentang Yulia pernah kutulis awal Januari 2021 lalu. Setelah menemui Yulia dengan ngobrol di Al Baik selama tiga jam, aku berpamitan dan mengunjungi rumah Dina. Teman sebangku dua tahun saat SMA. Menanyakan kabar dan tentunya mendengar cerita baru darinya. Sebab lebih nyaman mendengar ia bercerita secara langsung dibandingkan mengirim pesan via WA. Kadang ia jarang membalas pesanku.

Selanjutnya, lebaran kelima, aku nongkrong bersama teman-teman yang sudah dekat sejak kecil. Makan beberapa cemilan dan bersenda gurau. Terpenting, adalah bertemu. Meski satu desa bahkan salah satu temanku berdekatan rumah denganku. Aku jarang menghabiskan waktu bersama.

Dengan teman-teman yang berbeda, juga banyak waktu yang harus disediakan untuk bertemu. Temanku sedikit, tapi ada di mana-mana. Tidak dalam satu tempat atau komunitas tertentu. Bagian ini yang bisa kusyukuri. Semoga tahun depan temanku bertambah lagi. Atau setidaknya meski tidak dekat tapi jika sekali bertemu ada satu kebaikan yang bisa menyelamatkanku untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Disekitar kita ada kawan yang selalu hadir sebagai pahlawan

Andrea Hirata

Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Ia butuh teman, meski sedikit. ‘Teman’ pun tidak hanya sosok manusia, bisa jadi buku atau binatang peliharaan. []

(Mengganti tulisan dengan saya menjadi aku. Sepertinya lebih nyaman dengan kata ganti “aku” sejak mulai belajar mengisi wattpad. Heheh.)

Menyontek

Berkahnya sebuah ilmu bukan terletak seberapa tinggi nilai yang diperoleh. Bukan juga seberapa hebat kita diantara teman-teman yang lain. Nilai atau IPK hanya sederet angka-angka yang bisa diperoleh dengan segala macam cara. Tidak terkecuali dengan menyontek. Budaya yang satu ini terus tumbuh dan belum menunjukkan tanda-tanda untuk punah. Apa pun zamannya, seberapa canggih teknologi dan media belajar hari ini, menyontek tetap solusi untuk meningkatkan nilai yang paling banyak dipilih. Menyontek adalah cara menghamba kepada nilai yang kedudukannya lebih tinggi dari Tuhan.


Kembali lagi dengan keberkahan ilmu, sesuatu yang dilakukan dengan niat karena Tuhan dan mendatangkan kebaikan adalah salah satu dari keberkahan. Bagaimana bisa nilai yang diperoleh dari hasil mencontek memdatangkan kebaikan bagi penuntutnya? Inilah yang disinggung oleh salah satu guru terbaik yang saya miliki, Bapak Kiai Taufik Anshori, “ilmu itu biarpun sedikit tapi berkah.” Jadi usahakan setiap ijazah yang diperoleh memang hasil dari keringat sendiri. Bukan dari hasil contekan yang jauh dari nilai kebaikan.


Belajar untuk tidak membudayakan nyontek ketika ujian di sekolah mengharuskan kita untuk memiliki nyali kuat. Ada dua posisi yang terlibat langsung dari budaya ini, menjadi pecontek atau dicontek. Saya teringat juga dengan guru favorit di SMP, Pak Awal mengucapkan satu kalimat yang terus terngiang di kepala, “Mencontek, dicontek, dan orang yang menyaksikan kegiatan ini sama-sama jeleknya.”


Sikap idealis bagi orang yang memiliki komitmen untuk tidak mencontek tidak mudah dilakukan. Karena kita akan berdiri di dua jalur, jika kita tidak mencontek, kita pun didesak untuk memberi contekan saat teman memintanya dengan bahasa tubuh (kedipan mata, kode tangan, dan hal-hal yang tidak terlalu blak-blakan). Jika kita tidak mau melakukannya segala ghibahan akan tertuju kepada kita. Sok suci (bersih), pelit, egois, mau menang sendiri, dan tidak punya rasa setiakawanan.


Itu terjadi juga dengan saya. Saya belajar untuk tidak melakukan hal ini sejak duduk di bangku SMP, bagi saya biar pun nilainya rendah jika diperoleh dari hasil usaha sendiri itu jauh lebih berharga. Mencontek sama saja berbohong terhadap diri sendiri. Saya merasa tidak menjadi diri sendiri dan resah sepanjang hari. Hal yang paling saya takutkan, saya takut memperoleh ijazah yang bercampur dengan hal-hal yang tidak saya kehendaki.

Ada yang mengatakan begini, “kamu kan pintar jelas dong tidak menyontek. Tidak belajar juga pasti dapat nilai tinggi. Kalau aku ini tidak pintar. Tanpa menyontek mana bisa aku lulus.” Kalau sudah begini saya tepok jidat. Untuk memperoleh nilai yang memuaskan perlu belajar, baca, memahami, sampai kadang menghapal. Tidak blek nilai turun dari langit. Semua butuh usaha. ujian tanpa belajar sebelumnya itu bunuh diri. kecuali kalau benar-benar punya ingatan cemerlang.


Kalau boleh memilih saya ingin ujian di ruang kosong yang hanya diisi oleh saya sendirian. Agar saya tidak terganggu saat melihat aksi teman menyontek di kelas. Pemandangan saling lempar kopelan, bisik-bisikan, dan hal lainnya sangat mengganggu konsentrasi. Terlebih lagi hati saya akan menjadi panas saat tahu hasil ujian mereka jauh lebih tinggi. Saya tidak ingin memiliki hati yang tidak ikhlas saat memperoleh nilai yang tidak memuaskan. Keinginan lainnya, jika memang tidak bisa dihindari dan guru tidak bisa mengatasi budaya nyontek ini, lebih baik izinkan saja semua mahasiswa untuk ujian openbook. Semua kebagian berkah ilmu. Tanpa harus main kucing-kucingan seperti itu.


Sedangkan di bangku kuliah, selain mencontek saat ujian ada juga istilah titip absen. Dia tidak datang tapi absennya tetap terisi penuh dan ditandatangani. Kadang saya harus mengelus dada. Masalah dosa atau tidak memang urusan pribadi. Tapi, ketidakjujuran yang dilakukan ini adalah kegiatan proses belajar yang melibatkan banyak orang. Mengapa ada dusta di bangku sekolah? Apakah sekolah bisa memastikan jika sikap ketidakjujuran hanya terbatas pada aksi menyontek dan titip absen saja? Yakin jika tidak menjalar pada hal lain saat dia tidak lagi bersekolah?


Seseorang pernah menyampaikan sesuatu yang menohok hati saya, “jangan terlalu idealis. Jika banyak orang yang menyelam dalam lumpur, ya kita ikut aja. Jangan sendirian begitu. Orang memperoleh emas, kamu dapat batuya.” Lebih nyelekitnya, “jangan terlalu polos.”


Tapi, hidup dengan memiliki idealisme sendiri itu sangat berarti. Idealis tapi realistis. Begitu juga dengan sikap memilih untuk tidak mencontek dan memberi contekan, salah satu bagian untuk membangun self efficacy (efikasi diri). Keyakinan terhadap kemampuan diri dalam melakukan sesuatu untuk mencapai hasil tertentu. Belajar dan berdoa sebelum belajar. Tinggi rendahnya nilai urusan belakangan. Terpenting adalah usaha yang telah dilakukan.


Semoga kita selalu dilimpahi keberkahan atas segala sesuatu yang telah dilakukan. Ilmu yang telah dituntut bisa mendatangkan keberkahan, berkah untuk diri sendiri dan makhluk lain.

(Review Buku) Ketika Perempuan Merebut Informasi

Dok. Pribadi


Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) merupakan salah satu mitra dari The Asia Foundation (TAF) di Aceh, yang mendorong pada keterbukaan informasi khususnya dalam pengelolaan SDA seperti dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), izin lingkungan, peta konsesi, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup-Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), hingga pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. Dengan pendekatan penguatan akses perempuan di dalamnya. Buku ini menjelaskan bagaimana nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender menjadi hal yang paling penting dalam memperoleh informasi publik.

Mengapa harus perempuan, mengapa tidak laki-laki saja? Pertanyaan ini akan terlintas begitu saja dalam pikiran kita. Mengapa mesti perempuan yang diberdayakan dalam hak-hak untuk memperoleh informasi tersebut?

Jawabannya, karena hidup perempuan tidak pernah bisa lepas dari SDA. Saat hutan rusak maka yang paling terdampak adalah perempuan. Pemenuhan kebutuhan rumah tangga seperti menyiapkan makanan, memandikan anak, dan lain-lainnya yang selalu dibebankan terhadap perempuan akan menimbulkan masalah besar jika air bersih tidak lagi bisa diperoleh.

Selama ini, peran laki-laki lebih dominan dalam melakukan berbagai penentuan kebijakan. Seperti yang dirasakan oleh MaTA sendiri saat melakukan dampingan di lima kabupaten, yaitu: Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kabupaten Tamiang. Setiap kebijakan selalu diputuskan oleh pihak laki-laki dalam upaya menyelesaikan masalah, khususnya yang disebabkan oleh perusahaan.

Padahal perempuan jika diberikan akses dan ruang untuk terlibat maka akan banyak hal yang mampu dirubahnya. Perempuan-perempuan itu nyata dalam banyak situasi malah melampaui apa yang selama ini dipikirkan dan dikerjakan laki-laki. Inilah yang kemudian dijelaskan oleh Abdullah Abdul Muthaleeb sebagai editor buku ini, ketika suara perempuan didengar maka kita akan menyaksikan perubahan sebenarnya. Perubahan yang dilandasi oleh semangat untuk mewujudkan rasa adil dan setara bahwa setiap manusia punya hak yang sama dalam merumuskan dan menentukan pilihan kebijakan dalam agenda pembangunan, termasuk ditingkat desa (hlm. vii).

Buku ini menceritakan banyak perjalanan yang tidak mudah yang dilalui oleh perempuan-perempuan Aceh di dalam komunitasnya. Saat mereka bergerak ke pemerintahan mengantarkan surat permohonan untuk mengakses informasi salah satunya tentang dokumen AMDAL berkaitan dengan perusahaan sawit yang telah mencemari lingkungan mereka, perempuan-perempuan itu justru mengalami intimidasi dari orang-orang birokrasi yang tidak memihak.

“Apa ini, ibu-ibu ini mau melawan perusahan? Ibu-ibu ini mau masuk penjara ya? Itu ada warga yang melawan perusahaan, tujuh orang sudah dalam penjara. Apa ibu-ibu mau seperti itu? Kalau mau, biar kami urus sekarang juga surat-surat ibu ini.” Demikian kata-kata yang dilontarkan oleh seorang pegawai (entah berstatus PNS atau cuma sekedar tenaga honorer) (hlm. 72).

Kacimah, salah satu perempuan yang mengajukan surat permohonan informasi itu malah berbuntut pada pemanggilan dirinya oleh pihak PT. Socfindo. Kacimah meminta dokumen AMDAL. Ia ingin mengakses informasi itu karena ia dan beserta hampir seluruh warga menyadari kondisi lingkungan mereka telah tercemar dari pengoperasian pabrik kelapa sawit perusahaan tersebut.

Air di Krueng Geutah berubah warna menjadi kehitam-hitaman, menyebabkan biota di dalamnya mati, ditambah lagi pencemaran udara yang disebabkan cara pemupukan kelapa sawit dengan menggunakan blower. Proses ini menimbulkan polusi udara dengan debu yang beterbangan sampai ke pemukiman warga. Seharusnya kasus ini diatur penanganannya dalam dokumen AMDAl (hlm. 86).

Masalah pelik pun menghinggapi Kacimah, mengingat anak laki-lakinya yang sedang magang di dalam perusahaan tersebut. Sebentar lagi akan menjadi pekerja tetap di sana. Tentu aksi yang dilakukan Kacimah akan mempengaruhi kebijakan perusahaan untuk menerima anak laki-lakinya bekerja atau tidak sebab lantaran sang ibu dianggap telah mengganggu stabilitas atau kenyamanan perusahaan.

“Sudah ya, bu. Kalau ibu mau anaknya tetap bekerja di sini, baiknya ibu jangan ikut lagi kegiatan seperti itu. Janganlah ibu mau dimanfaatkan oleh LSM. Dan tolong sampaikan kepada ibu-ibu yang lain, jangan lanjutkan lagi kegiatan akses informasi ini itu, karena mereka sedang diperalat oleh LSM itu.” (hlm. 91).

Suhani, perempuan yang berasal dari Aceh Barat ini juga mengalami intimidasi dari masyarakat sekitar yang masih belum menyadari peran perempuan di ranah publik. Budaya patriarki menjadikan setiap perempuan yang sibuk berkegiatan di luar dianggap perempuan tidak baik.

“Apa itu perempuan Cot Lada. Bolak-balik ke Banda Aceh, katanya buat cari informasi, biar ada keadilan ini itu. Padahal tidurnya di hotel. Kalau sudah di hotel, lalu apa lagi, jika bukan untuk jual diri.” (hlm. 110.)

Tapi, akhir pekan kedua bulan Oktober 2017, terdengar suara perempuan dari balik corong pengeras suara meunasah menyampaikan sebuah pengumuman dengan begitu lantang.

“Ibu-ibu, bapak-bapak, ini dokumen informasi yang kami minta ke pemerintah dulu sudah kami bawa pulang hari ini. Semuanya sudah ada pada kami. Siapa saja yang dulu tidak percaya, yang bilang kami jual diri ke Banda Aceh, juga kepada semua warga desa, boleh pergi ke meunasah untuk melihatnya bersama.” (hlm. 151).

Di akhir cerita, buku ini menjelaskan beberapa keberhasilan yang diperoleh oleh para perempuan di lima kabupaten tersebut. Tetapi, ada dua perempuan yang mengundurkan bahkan tidak menyelesaikan perjuangannya “merebut” informasi karena himpitan dan tekanan yang mereka alami. Sehingga dengan berat hati mereka menyudahinya sampai di sini.

Tapi, kita tidak tahu tentang perasaan mereka sesungguhnya. Kemungkinan mereka sangat ingin memperjuangkan ini hingga selesai dan ingin terus tampil menyuarakan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di desa mereka. Keputusan pahit tetap harus ditentukan. Kacimah dan Aisyah, bagi saya sebagai seorang pembaca, tetaplah perempuan hebat. Tidak mengurangi sedikit pun kekaguman saya saat mereka berdua tidak lagi tergabung di komunitas perempuan yang didampingi oleh MaTA.


***


Membaca buku Ketika Perempuan Merebut Informasi berhasil mengetuk perasaan saya. Membuka mata untuk terus menempa diri dan berproses menjadi perempuan tangguh. Baik untuk dirinya sendiri maupun tangguh saat tampil di luar. Lalu, datang lagi pertanyaan di benak saya, “apa yang bisa saya lakukan selain memikirkan perut sendiri?” “apa yang bisa saya berikan untuk makhluk lain?” Entahlah.


(Dibaca tepat saat Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan DPR dan kawan-kawannya enam hari yang lalu.)